Dian dan Dina sangat panik saat melihat hidung Zea mengeluarkan darah. Lagi-lagi darah sial itu keluar tanpa diminta. Zea takut jika penyakitnya itu benar-benar sudah parah. Bukan takut mati, melainkan takut belum bisa membalas kebaikan Bundanya. Jangankan membahagiakan, komunikasi saja jarang. Sekali komunikasi malah bikin nyesek.
Dina berlari ke dalam rumah untuk mengambil tisu. Untung saja persediaan tisu di ruang tamu masih ada sehingga dia tidak perlu susah payah untuk mengambilnya di kamar tidur. Setelah itu, dia berlari mendekati Zea.
"Ya ampun, Ze. Lo kenapa? Pucat banget gini. Lo sakit ya?" Tanya Dina menyodorkan tisu.
Zea menerima tisu itu. Kemudian dia membersihkan darah sial itu secara perlahan. Dia berusaha tersenyum agar terlihat baik-baik saja. Setelah terasa sudah bersih, dia menatap Dina.
"Terimakasih, Din. Gue nggak tahu lagi mau bilang apa sama lo. Ternyata lo itu benar-benar teman yang setia. Gue bangga punya teman kayak lo," jawab Zea tersenyum sambil menepuk bahu Dina.
"Lo ngomong apa sih?" Tanya Dina sebal.
Kedua mata Zea terus menatap Dina. Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Tentu saja itu semakin membuat Dina sebal.
"Diem deh! Nggak ada yang lucu tahu nggak?!"
"Santai dong. Gue tuh cuma ngeprank lo saja kok. Bentar gue mau kasih lihat lo."
Zea mengambil tasnya. Dia mencari obat merah untuk luka. Obat itu sengaja dia bawa karena tadi ada pertandingan bola basket. Obat tersebut dijadikan cadangan bila dirinya terluka. Siapa tahu lawan mainnya ada yang main curang. Semuanya tidak ada yang tahu.
"Ini dia!" Teriak Zea menunjukan obat merah. "Nih obatnya tadi gue taruh di bawah hidung. Salah kalian sendiri kelamaan di dalam. Gue nunggunya lama. Ya sudah deh gue nyoba iseng saja. Hahaha."
Dian menggelengkan kepala. Dia yakin betul jika itu adalah akal-akalan Zea. Seribu kebohongan akan Zea lakukan untuk menutupi satu luka.
Dian pun ikut tersenyum seolah-olah tidak tahu apa-apa. Sebenarnya dia sendiri tidak tega melihat sandiwara Zea. Apalagi wajahnya yang terlihat agak pucat membuatnya semakin khawatir. Selagi masih ada Dina, Dian berusaha menahan dirinya agar bisa tenang.
"Candaan lo nggak lucu!" Protes Dina kesal. Dia juga menyentil kepala Zea. Kemudian kedua tangannya bersedekap di depan dada.
"Ya kalau mau lucu panggil badut atau kalau perlu panggil pelawak terkenal."
"Bodoamat, gue kesal sama lo!"
"Ya sudah. Ayo, Yan, kita pergi sekarang."
Kedua mata Dina membulat sempurna nyaris akan keluar. Napasnya juga naik turun dengan cepat. Dia tidak terima dengan ini semua. Zea sungguh menyebalkan. Jika saja bukan teman akrab, Dina akan mensledingnya.
"Ya sudah sana pergi! dasar nyebelin."
"Ya sudah. Bye!"
Mereka berdua meninggalkan rumah Dina. Ditengah-tengah Zea dan Dian digunakan untuk meletakkan barang-barang pesanan. Dian tidak mempermasalahkan itu, walaupun dia hanya kebagian tempat duduk sedikit karena yang terpenting adalah kebahagiaan Zea.
Kapan lagi Zea akan bahagia jika bukan di luar rumah. Dian tahu itu semenjak Zea cerita tentang kehidupannya. Bahkan dia juga tahu kalau hampir tiap malam Zea menangis dalam diam.
"Kita cod dimana, Ze?!" tanya Dian berteriak.
"Di Jalan Flamboyan deket sekolah lo!" teriak Zea tak kalah kerasnya.
Dian menganggukkan kepala tanda mengerti. Tak lama kemudian mereka sampai di Jalan Flamboyan. Sebab jarak rumah Dina ke Jalan Flamboyan itu dekat. Zea memang senang cod di sana agar tidak terlalu capek.
Mereka berdua berhenti tepat di bawah pohon mangga. Zea segera mengambil ponselnya untuk menghubungi pembeli. Tiba-tiba saja perutnya bunyi minta diisi.
"Hehehe," tawa Zea menahan malu.
"Lapar?" Tanya Dian.
Zea menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mata Dian menyapu jalanan untuk mencari penjual makanan. Tepat di pengkolan Jalan Flamboyan ada penjual mie ayam.
"Kita makan mie ayam di sana gimana? Sambil nunggu pembeli lo datang, kita makan. Jadi, nggak bakal bosen deh."
Zea tersenyum. "Ayo."
Dian menjalankan motornya lagi untuk menuju ke penjual mie ayam. Tidak membutuhkan waktu lama, sebab jaraknya sangat dekat. Apalagi mereka berdua menjangkaunya dengan motor sehingga tambah cepat sampai.
Setelah sampai, Zea turun dari motor sambil membawa barang-barang pesanan. Dia menunggu Dian memarkirkan motor. Tempat penjual itu sangat simpel. Bukan seperti rumah makan pada umumnya yang cukup mewah. Namun hanya dengan meja plastik dan duduk menggunakan tikar. Tidak menggunakan atap, namun tidak panas. Karena ada 2 pohon mangga besar yang menjadikan hawa sejuk. Apalagi saat ada angin lewat. Rasanya sangat segar.
"Ayok," ajak Dian menarik tangan kanan Zea. "Bang, mie ayam 2, yang satu saosnya dipisah. Minumnya aqua botol saja dua."
"Oke," jawab penjual mie ayam.
Mereka berdua duduk di tempat yang benar-benar tidak ada panas. Sebab ada tempat duduk yang ada panasnya sedikit. Sambil menunggu mie ayam jadi, mereka juga menunggu balasan chat dari pembeli.
"Ze, lo sudah nggak apa-apa kan?" Tanya Dian.
Kedua alis Zea menyatu. "Hah? Emang gue kenapa?"
"Tadi lo pura-pura nggak sakit di depan Dina. Padahal gue tahu lo itu baru saja mimisan."
"Gue nggak apa-apa kok. Santai saja kali."
Tangan kanan Zea memegang tangan kiri Dian untuk memberikan ketenangan. Dian juga tersenyum saat tangannya dipegang Zea. Padahal Zea sendiri tidak merasa khawatir terhadap kesehatannya. Dia hanya khawatir jika orang lain tahu penyakit sialan yang selama ini sudah menyusahkan hidupnya.
"Lusa jadwal kemoterapi gue. Dian, lo mau kan ngantar gue kemoterapi?" Tanya Zea dengan wajah memelas.
Tiba-tiba saja hati Dian terasa perih saat melihat wajah Zea seperti itu. Dia wanita kuat yang bisa menghadapi kepahitan hidup. Dia wanita yang selalu berusaha baik-baik saja. Dia wanita penuh canda tawa namun menyimpan banyak luka. Tapi dia tidak pernah putus asa untuk menjalani hidup. Katanya hidup itu seperti alur dalam cerita. Sebagai manusia, kita hanya bisa mengikuti jalannya takdir.
"Zea, dengerin gue baik-baik," ujar Dian memegang kedua tangan Zea. Kedua mata Zea pun memandang tangannya sendiri.
Tiba-tiba saja ponsel Zea berbunyi. Di sana tertera nama pembeli. Zea melepaskan tangannya dari tangan Dian. Dia segera menjawab panggilan itu.
"Hallo!" Sapa seseorang di sebrang sana.
"Iya, hallo."
"Mbak, saya sudah sampai di Jalan Flamboyan."
"Lurus dikit saja, Mbak. Saya di pengkolan jalan, Di penjual mie ayam."
"Oke, saya ke sana sekarang."
Panggilan pun di matikan. Tak lama kemudian pembeli pun datang. Zea bangkit dari tempat duduk dan membawa 15 kaos sesuai dengan pesanan.
"Ini, Mbak. 15 kaosnya ya. Bisa dicek dulu biar lebih jelas," ujar Zea.
Pembeli itu pun mengecek jumlah kaos. "Pas, Mbak. Seluruhnya tiga ratus kan, Mbak?"
"Iya."
"Ini uangnya, Mbak."
Zea tersenyum saat menerima uang itu. "Terimakasih, Mbak."
"Sama-sama."
Rasanya sangat senang sekali bisa menerima uang hasil jerih payah sendiri. Barang dari Dina memang sangat murah-murah sehingga Zea sangat mudah untuk menjualnya dengan harga yang relatif murah juga.
Dia kembali duduk di depan Dian. Senyumnya pun tidak luntur. Dia menatap Dian sambil senyum-senyum sendiri.
"Alhamdulillah, Yan. Do'ain gue ya biar banyak yang beli terus."
"Amin."
"Oh ya, tadi lo mau ngomong apa?" tanya Zea sambil memasukan uang ke dalam tas.
"Oh itu. Gue cuma mau ngomong, bagaimana pun keadaan lo, gue akan selalu ada buat lo. Jangan khawatir, lo itu nggak sendiri," ujar Dian memegang kedua tangan Zea.
Zea menatap Dian kemudian tersenyum. "Terimakasih, Yan. Gue sayang sama lo."
"Gue lebih."