webnovel

Ratu Sejati

Terlahir nyaris sempurna tidak serta merta membuat Regina Shima Atmaja, putri sulung keluarga Atmaja itu bahagia sentosa. Tidak semudah itu. Bahkan banyak sekali tekanan, tuntutan, dan kesulitan yang ia lalui tapi tak terlihat oleh mata orang-orang. Yang masyarakat tau, Regina adalah gadis paling beruntung yang lahir dengan rupa, isi kepala, dan harta yang lebih dari rata-rata. Yang orang-orang tau, Regina adalah gadis bak puteri raja yang terlahir begitu beruntung dan bahagia selamanya. ... Prabu Adhinatha, anak tunggal yang diberi tanggung jawab mewarisi takhta kerajaan bisnis ayahnya itu ingin sekali memiliki kebebasan dalam hidupnya. Sekali saja, tanpa bayang-bayang keluarga dan orangtuanya. Suatu hari dia ditawari sebuah pernikahan. Itu bahkan bukan penawaran tapi perintah. Yang mana tak ada pilihan selain untuk merima. Awalnya, dia pikir hidupnya benar-benar berakhir. Tapi ... setelah dia pikir-pikir justru ini jalan untuknya lepas dan mereguk bahagia. ... Apakah keduanya akan menemukan bahagia yang mereka damba?

etdauncokelat · perkotaan
Peringkat tidak cukup
124 Chs

Tak Ada Pilihan

Regina menatap mobil milik Adhinatha yang semakin menjauh meninggalkan area proyek pembangunan itu.

Tubuhnya baru berbalik saat mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat. Dimas –sekretarisnya, datang dengan langkah cepat juga raut yang terlihat amat lega.

"Ibu akhirnya kembali juga. Saya sudah siap sedia padahal kalau saja ibu tiba-tiba membutuhkan saya untuk jemput ibu."

Regina mengangkat alis. "Sekalipun saya akhirnya berantem dengan Adhinatha, saya bisa pulang sendiri, Dimas. Kenapa kamu terlihat khawatir sekali, huh?"

Pria itu mencebik. "Gimana saya tidak khawatir, Bu Gina? Terakhir kali Ibu menelepon saya malam-malam, Ibu dalam keadaan mabuk bersama Pak Adhi. Tentu saja saya takut hal itu akan terulang."

"Saya tidak mungkin minum-minum siang bolong begini. Bahkan malam pun saya juga enggan untuk minum-minum.Toleransi tubuh saya terhadap alcohol sangat rendah." Sepasang manik kecoklatan itu membulat saaat menyadari sesuatu.

"Mabuk? Saya?" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan tampang bodoh seolah yang Dimas baru saja katakan adalah lelucon yang sangat gila.

Melihat itu, Dimas melotot terkejut menatap bossnya itu. "Ibu tidak ingat kejadian malam itu?"

Regina menjelingkan bola matanya ke atas. Berusaha mengingat-ingat kejadian mana yang Dimas maksud. Akan tetapi sekeras apapun dia berpikir, tidak ada satupun yang berhasil dia ingat.

"Kejadian mana yang kamu maksud?"

"Ya Tuhan. Bu Gina, saya mohon teramat sangat, lain kali jangan pernah minum dengan pria asing, ya? Itu akan membahayakan juga merugikan Ibu karena setiap kali ibu mabuk ibu selalu begini, tidak bisa mengingat apapun yang terjadi."

Regina menatap sekretarisnya itu dengan tatapan jengkel. "Sebenarnya siapa bossnya di sini? Kenapa kamu cerewet sekali, huh?"

"Ini demi kebaikan ibu," balas Dimas tanpa merasa bersalah. Ini alasan Regina menerima pria itu saat mendaftar sebagai sekretaris dua tahun lalu. Dia tidak sungkan menegur Regina jika wanita itu sudah dalam mode mengkhawatirkan. Tapi, terkadang Regina juga sebal dengan keberanian Dimas itu. Pria itu tidak sungkan untuk menceramahinya sedangkan Regina jelas bukan tipe orang yang suka diceramahi apalagi dipojokkan.

"Baiklah, baiklah. Berhenti menasehatiku, oke? Sini, berikan aku helm proyek milikku. Aku ingin melanjutkan meninjau pembangunan Gedung ini."

Pria dengan kemeja biru bergaris itu menatap jam di pergelangan tangannya. "Bu, jam istirahat masih tersisa dua puluh menit lagi."

"Terus?"

"Saya belum makan."

"Kenapa belum?" cecar Regina membuat Dimas menatapnya dengan tatapan 'seriously?'.

"Saya … menunggu ibu dari tadi. Takut ibu di sana bertengkar dengan Pak Adhi dan berakhir dengan perut kosong yang tidak jadi diisi." Pria itu tersenyum getir, "dan siapa yang tahu kalau ternyata pertemuan kali ini berjalan lancar?"

Sebenarnya tidak lancar sama sekali. Regina bahkan nyaris seperti yang Dimas katakan, pulang dalam keadaan perut kosong. Kalau saja Adhi tidak membelikannya sandwich tadi, itulah yang terjadi. Hanya saja, yang Regina tidak habis pikir adalah kenapa Dimas sampai sebegitu setianya? Sampai rela menahan lapar demi menunggunya? Bukankah profesionalitas kerja cukup dalam pekerjaan saja? Makan siang jelas tidak termasuk. "Saya tidak meminta kamu menunggu, Dimas. Lagipula, kita juga tidak punya kebiasaan makan bersama, bukan?"

Regina menghela napas lelah. "Baiklah, ayo makan. Karena kamu menunggu sampai kelaparan begini, saya akan temani kamu makan."

"Ibu … serius?"

"Apa saya terlihat bercanda, Dimas?"

***

"Wah, yang tadi habis makan siang bareng." Regina yang baru saja pulang langsung mendapati adik lelakinya tengah duduk di sofa kamarnya dengan senyum mengejek.

"Apa, sih?" tanya Regina sebal seraya melepas jas yang melapisi kemejanya.

"Mama yang cerita tadi. Katanya Nyonya Wulan bilang ke mama kalau putranya habis makan siang dengan putri keluarga ini."

Regina melepas kancing di pergelangan kanan dan kirinya. Melepas stiletto hitam dan menaruhnya di rak sepatu sebelum akhirnya bergabung dengan adiknya ikut duduk di sisi sofa lainnya.

Wanita itu mendesah lega begitu bisa menyandarkan punggungnya pada sofa yang empuk itu. Otot-otot punggungnya yang tadinya tegang dan lelah akhirnya bisa sedikit relaks dan bersantai.

"Jadi?" Darwin masih menunggu penjelasan kakaknya. Sayangnya yang ditunggu malah sibuk menyamankan posisi punggung pada sandaran sofa alih-alih memuaskan rasa penasaran adiknya itu dengan memberi penjelasan seperti yang Darwin mau.

"Kak!"

"Apa, sih?!" tanya wanita itu ikut jengkel.

"Jadi kalian itu semakin dekat atau apa?" desak Darwin membuat Regina yang masih memejamkan mata itu akhirnya membuka matanya dan menoleh menatapnya.

"Apanya yang dekat, sih?" Regina mendecak sebal. "Aku tidak dekat dengan pria itu, kalau itu yang ingin kamu tahu."

"Tapi Adhinatha sudah mengklaim itu,Kak. Dia bilang pendekatannya berjalan lancar, kalian semakin dekat."

"Yang bilang dia, 'kan? Ya … itu urusannya, bukan urusanku."

"Jadi tidak dekat?"

"Serius, kamu ke sini cuma mau menanyakan itu?"

Darwin mengangkat bahunya. "Mama cerita dengan raut yang sangat berbinar dan happy. Kalau sampai itu hoax bukankah sama saja seperti melambungkan tinggi sebelum menghempaskan ke bumi? Kalau tidak berencana memenuhi keinginan para orangtua, jangan beri angin segar."

"Bicaramu itu … seolah aku memiliki kesempatan untuk memilih saja, Dik." Regina tersenyum pahit.

"Kamu lupa kalau wanita di keluarga kita memang selalu begini? Harus menerima siapapun calon suami yang dipilihkan para orangtuanya. Karena ini memilih calon suami, pemimpin keluarga dan penerus perusahaan. Harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya."

"Dan kamu yakin pilihan mereka tidak pernah salah?"

Regina diam untuk waktu yang lama. Dalam hatinya bertanya-tanya, benarkah ini tepat? Apakah pilihan para orang tua itu sudah benar? Apakah kehidupan pernikahanku aka naman, damai dan tentram seperti pernikahan papa dan mamanya?

"Mau benar atau salah, yang penting sudah menurut, 'kan?"

Darwin membuang napas kasar. "Terserah kakak saja, lah. Aku lelah bicara denganmu." Pria itu bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu dan menghilang di balik sana.

Regina memejamkan mata dengan helaan napas pelan. Dia juga lelah, lelah dengan segal tuntutan juga tanggung jawab. Tapi, dia bisa apa selain menerima ini semua? Bukankah sikap menurutnya itu sepadan dengan segala fasilitas, kemudahan yang dia dapatkan selama ini? Seharusnya dia bersyukur,'kan? Seharusnya dia tidak boleh mengeluh, 'kan?

Tapi Regina juga manusia. Dia punya limit dan terkadang dia ingin mengeluh. Mengeluhkan banyak hal, segala hal. Dia ingin sekali saja menjadi Regina yang manja yang bisa mengeluh dan mengumpati apa saja. Dia ingin memiliki seseorang yang bisa menjadi tempatnya pulang saat lelahnya sudah tidak tertahan. Dia ingin seseorang yang mencintainya tanpa syarat.

Tapi bagaimana bisa dia memiliki itu semua, kalau segalanya sudah ditentukan dan direncanakan? Seperti papanya yang memilih Adhi karena bibit, bebet, dan bobotnya, dirinya pun sepertinya sama. Keluarga Adhi pasti memilihnya juga karena bibit, bebet, dan bobotnya, 'kan? Karena privillage yang dirinya punya juga, 'kan?

Halo, apa kabar?

Maaf ya lama updatenya.

Tapi diusahakan ke depannya, bakal update setiap hari, kok. So, ikutin terus ya cerita ini. Jangan lupa vote and comment.

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

etdauncokelatcreators' thoughts