webnovel

Raksa Mahawira

Raksa Mahawira kecil ingin menjadi orang besar dimasa depan. Menjadi santri adalah yang terpikir dibenaknya. Namun hal itu pula yang menjauhkan Aksa dari orang-orang terdekat--khususnya kedua orang tuanya. Ia tidak masalah dengan itu begitupun kedua orang tuanya. Bertahun-tahun ia menjadi santri, menyadari secara perlahan ada yang berbeda dari kedua orang tuanya. Ia benar-benar merasakan kejanggalan. Aksa menjalani hari-hari dengan gelisah semakin menumpuk kian hari. Apakah ia bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Aksa mampu mengendalikan pikirannya sementara hatinya benar-benar risau?

Ade_Mawaddah · Realistis
Peringkat tidak cukup
6 Chs

Sorry

^Aksa POV

Pengen tidur; ngantuk; capek huft!

"Guys, itu pengurus[1] bukan? Itu dari jauh kayaknya iya deh. Ngapain sih mau ngumumin apa ?" Haidar seperti biasa, berisik. Tapi buat apa pengurus datang jam 11 malam? Apa nggak bisa ngumumin besok?

"iya, ayok buruan" Re menimpali.

Kirain bisa langsung tidur, hari pertama di pondok benar-benar luar biasa.

Re menginterupsi, menyela ucapan pengurus berkemeja hitam dengan ketukan di pintu.

"Assalaamualaikum" ucap kami bersamaan. Dalam sekejap seluruh mata berpindah kepada kami.

"Waalaikumsalaam"

"Dari mana kalian?" salah satu pengurus berkemeja hitam bertanya. Aku heran sungguh. Apa penghuni di pondok ini punya kemampuan untuk mengintimidasi lawan bicara? Kenapa dengan nada rendah seperti itu bisa membuat lawan ketar-ketir sih?

"Dari lapangan bang, eh mas" jawaban polos Haidar membuatku hampir menyemburkan tawa sebelum aku ingat kalau kami sedang tidak baik-baik saja.

"Maksudnya kita bertiga habis menyelesaikan hukuman dari Ustad Azam mas" selaku untuk menjelaskan lebih jelas.

"Wah hebat, baru hari pertama uda kena hukuman. Santri baru lagi. Bisa yah ada santri macam kalian ck ck ck" dari tiga pengurus di sini, dia! Entah siapa namanya pria berkokoh biru! dari mukanya saja sudah terlihat menjengkelkan. Apalagi setelah mendengar kata-kata dari mulut licinnya. Lagian apa-apaan katanya? Merasa hebat udah senior? Belagu amat jadi pengurus. Tentu saja kami hanya diam, merasa dipermalukan, disudutkan. Namun, sebuah suara terdengar dalam dan tegas menyelamatkan harga diri kami yang tersisa.

"Hei, jangan begitu" hanya seperti itu saja pengurus berkokoh biru langsung mengiyakan dan mengunci rapat mulut licinnya. Luar biasa! Kali ini yang berbicara adalah pengurus berkemeja flanel biru dongker. "kalian silakan duduk" akhirnya sebelum menyerahkan kembali kepada pengurus berkemeja hitam.

^author POV

Aksa memandang langit-langit kamar, lampu masih menyala terang. Santri lain ada yang sudah sibuk dengan dunia mimpinya, ada yang masih mengatur posisi tidur, dan ada pula yang berusaha saling mengenal satu sama lain.

"Kamu serius kamar ini Re?" Aksa menelengkan wajahnya ke samping, menatap teman bulenya.

"Hm, kan udah bilang tadi"

"Kau tidak pernah bilang, dasar!" Aksa hampir mengumpat sebelum ingat apa yang diumumkan oleh tiga pengurus tadi. Pesantren adala area 3 bahasa: Indonesia, Inggris, Arab. Dilarang keras berbicara kotor; dan mengumpat. Penggunaan Lo-Gue juga tidak boleh! Namun, sebagai santri baru masih bisa pakai bahasa Indonesia keseluruhan, karena masih bisa dianggap maklum. Setidaknya, untuk satu bulan dimulai dari malam ini.

Lagi-lagi Re menjadi pemisah antara Re dan Haidar, namun sosok tengil itu sudah berkelana entah ke mana. Terlihat ia tertawa, orang lain sekitarnya juga terhibur dengan guyonannya. Mengobrol dengan banyak orang adalah hal menyenangkan baginya. Berada dikerumunan seperti ini seperti menambah energi dan semangatnya. Lagi-lagi perasaan ini muncul, Aksa berharap memiliki kemampuan seperti Haidar. Ia menggeleng keras menyadarkan diri.

"Ngapain Sa geleng-geleng gitu, tidur-tidur aja. Nggak usah pake pemanasan" Re menangkap basah Aksa sedang bertingkah konyol, Aksa mendapati itu hanya mendengus dan mengalihkan atensinya kepada apa yang dilakukan Re.

"Kamu, nulis...diary?" Aksa bertanya dengan ragu-ragu.

"Yap" jawabannya mantap, seolah itu adalah hal biasa. Seharusnya memang hal biasa kan? merasakan tatapan Aksa Re bertanya. "kenapa, Sa?"

"nggak papa, jarang aja liat anak laki-laki nulis hal begituan" mendengar ucapan jujur Aksa Re hanya terkekeh.

"Ini hari spesial Sa, perlu diabadikan. Beberapa tahun mendatang 10 atau 20 tahun lagi ini akan menjadi kenangan yang bagus" matanya berbinar. Lalu ia melanjutkan "ini adalah hari pertama masuk pesantren, hari pertama aku mengenal kalian—kau, Haidar, dan Agam. Dan lebih hebatnya lagi, pada hari ini juga kita mendapat hukuman keliling lapangan seluas itu���.

Baik, itu alasan yang bagus sebenarnya, namun Aksa tidak bisa berhenti mengerutkan kening "Re, alasanmu bagus. Tapi, untuk alasan yang terakhir itu bukan sesuatu yang membanggakan".

Re tersenyum maklum, "Memang bukan hal yang membanggakan sih" ia menggarukkan kepala yang tidak gatal, "tapi percaya deh, hukuman tadi yang bikin seru buat diceritain kekeluarga, anak kamu nanti, atau siapa aja deh."

Melihat respon Aksa yang hanya diam, Re pun juga menutup mulutnya, ia kembali menulis catatannya yang terjeda. Sementara Aksa memejamkan matanya mencoba tidur. Tak berselang lama Haidar bergabung bersama mereka, mengobrol sepatah dua kata dengan Re. Aksa mengabaikan itu dengan tetap memejamkan mata, setelahnya ia mulai tertidur, tenggelam dalam mimpi.

Sudah tiga hari hubungan antara Aksa dan Haidar begitu-begitu saja, bahkan walaupun mereka berada di kelas reguler yang sama pun masih seperti itu. Nazril yang telah mengetahui hal itu membuka obrolan tatkala mereka bertiga membuang sampah kelas menuju sudut lapangan, cukup jauh dari gedung sekolah.

"ehm, tadi vocabnya apa aja ya?"

"Tadi_" bagus! Mereka kompak menjawab tapi ucapan keduanya terputus, kecanggungan melanda. Lagi-lagi pertanyaan Nazril diabaikan dan dilupakan. Ia mengira ia bisa memancing interaksi keduanya, karena itu Nazril jadi keki sendiri.

"Kalian, bukan anak kecil kan yang harus dipancing buat minta maaf" woah! ia baru saja mengatakan itu, padahal ia sendiri merasa gelisah. Respom keduanya sama, langsung menoleh kepada Nazril dan merapatkan bibir. Setelah itu Haidar mengelak.

"kenapa bahas itu, lagian siapa yang lagi berantem?"

"Are we?" Aksa angkat suara.

Sementara Nazril mendengus kesal "Hanya orang idiot yang tidak menyadarinya"

Keduanya tertohok dengan ucapan Nazril, selama 3 hari Aksa mengenalnya, Nazril memang suka berterus terang. Tapi kali ini kejujuran pedasnya untuk Aksa.

"Guys, minta maaf itu bukan perkara siapa yang salah siapa yang benar. Tapi soal betapa rendah hatinya orang yang meminta maaf duluan" ucapan Nazril datar, namun, terselip perhatian di sana. Baik Aksa dan Haidar merasa harus meminta maaf terlebih dahulu, sehingga...

"Aksa, im so sorry"

"Haidar im so sorry"

What the_

"aku dulu yang minta maaf" Aksa menyela.

"nggak aku dulu yang ngomong" Haidar tentu tak ingin kalah.

"aku dulu yang njulurin tangan berarti aku dulu yang minta maaf"

"nggak bisa, aku yang ngomong duluan. jadi aku yang minta maap"

Nazril yang berbeda di antara mereka memijit pelipis dan tiba-tiba tertawa, mengagetkan kedua lelaki yang meributkan hal yang absurd.

"hah suka-suka kalian lah, asal uda saling bicara itu bagus" ia berjalan memimpin.

Sementara Haidar Aksa berada di belakang saling terdiam dan 1...2... 3...menyemburkan tawa keduanya.

"Oke-oke Sa aku minta maaf dan aku memaafkanmu, selesai"

"Aku juga minta maaf dan kesalahanmu kumaafkan. Impas! "

Ketiganya berjalan dialiri dengan obrolan ringan. Aksa sebenarnya tidak habis pikir malam itu ia seperti habis kesabarannya, dan akhirnya menumpahkan kekesalannya pada Haidar. Aksa masih merekam jelas bagaimana hawa perang begitu kuat di antaranya dan Haidar. Walaupun Re sudah mengingatkan berkali-kali untuk saling memaafkan, mereka berdua tidak mengindahkannya. Bahkan semakin larut dalam hawa permusuhan yang mereka ciptakan sndiri. namun Nazril sekali berbicara dengan patuhnya kedua laki-laki itu menurut dan menurunkan ego masing-masing.

[1] Seperti anggota komite santri untuk membuat, mengawasi, dan mengatur sistem dan peraturan pondok pesantren