webnovel

"Kerjasama"

"Lo kenapa berhenti disini?"

"Lapar."

Alanna menahan tawanya, ia pikir seorang Raka tidak akan merasa lapar, karena dari prilakunya tidak menampakkan ia orang yang mudah berkata apa adanya.

"Turun."

"Oke."

Mereka masuk ke dalam sebuah rumah makan kecil, Alanna sedikit terkejut sekaligus kagum, karena pasalnya seorang Raka yang memiliki rumah mewah yang ia tempati seorang diri ternyata saat ia lapar ia tidak memilih tempat berdasarkan penampilan bangunan tersebut.

"Lo makan juga?"

"Boleh, lagian gue baru pertama kesini, jadi pengen nyoba."

Raka mengangguk pelan, ia lantas menyuruh Alanna untuk memesan menu nya sendiri.

Mereka memilih salah satu meja yang berada di ujung.

"Ini tempat makan favorite lo?"

"Salah satunya."

"Jadi lo sering kesini ya?"

"Begitulah."

Alanna manggut-manggut, tempatnya memang sangat sederhana, tapi saat suapan pertama masuk ke mulutnya, Alanna harus mengakui jika menu masakan yang ia pesan begitu terasa nikmat di lidah sesuai seleranya.

"Eh Nak Raka ya ini? Wah udah besar banget! Mana ganteng sekarang," ucap sosok wanita yang Alanna tebak ia adalah pemilik rumah makan kecil ini.

"Ah, iya Bu. Begitulah, ngomong-ngomong Bapak-Bapak yang selalu sama Raka dulu, masih sering berkunjung kemari?"

"Masih kok, tapi lagi kebetulan aja waktunya gak pas sama kedatangan Nak Raka."

"Oh, begitu."

Wanita tersebut menganggukan kepalanya. "Baiklah, makan dulu kalian yang banyak, karena Ibu kedatangan tamu spesial, Ibu buatkan jus alpukat ya? Tolong diterima."

"Makasih banyak Bu," ucap Raka sambil menoleh pada Alanna dan memberi isyarat.

"Terimakasih," ucap Alanna setengah berbisik.

Jujur saja, sebelum ada insiden yang terjadi di antara mereka dan waktu yang diputar ke masa dimana Alanna masih awal masuk sekolah, cewek tersebut tidak pernah sebersit pun punya pikiran untuk bisa berinteraksi sedekat ini dengan tetangga sebayanya.

Hanya berbeda satu tahun ia anggap mereka sebaya. Lagipula Raka terlihat sama sekali tidak masalah saat Alanna memanggil langsung namanya, dan tidak ada rasa sopan sedikitpun dari Alanna untuknya.

Mereka berdua makan tanpa ada yang membuka suara sedikitpun. Sampai 15 menit kemudian, keduanya sudah selesai menghabiskan menu pesanan masing-masing.

"Gue bayar dulu."

Alanna mengangguk pelan, tidak lama Raka membayar pesanan mereka dan cowok itu datang kembali ke mejanya dan Alanna.

"Ka, sebenarnya ada yang pengen gue tanyain sama lo."

"Tanyain aja."

"Lo, kenapa pindah ke kompleks perumahan gue trus cuman tinggal sendirian?"

Raka terdiam, sepertinya ia tidak berniat untuk menjawabnya.

"Raka?"

"Bokap gue punya istri baru, seminggu setelah masa berkabung atas kematian Nyokap gue. Dia datang dan tinggal di rumah sama anak cowoknya yang sepantaran gue juga. Menurut lo wajar gak kalo gue milih buat hidup mandiri karena situasi kayak gitu?"

"W-wajar banget lah. Gue minta maaf jadi ngusik personal lo."

"Gue jawab biar lo gak nanya lagi."

"Tapi, mereka tau kemana lo pindah?"

Raka menggeleng.

Pantas saja Raka menjadi pribadi yang pendiam. Karena nyatanya ada hal menyesakkan yang sudah terjadi dan mengubah hidupnya cukup besar.

Rasa iba mendadak menjalari perasaan Alanna, ia hanya tidak bisa membayangkan kesulitan yang Raka pikul sendiri dan bagaimana akhir hidup cowok itu yang begitu tragis, mungkin ia mati di tangan orang yang sangat ia ketahui dengan baik.

Apa Alanna harus sedikit bersyukur? Karena meskipun ia dan Tirto sering ada masalah, tapi kedua orang tuanya tetap membesarkan puteri semata wayang mereka dengan begitu kompak dan selalu bersama.

"Lo udah selesai kan? Ayo kita balik sekarang."

"Ayo.." jawab Alanna bergumam.

~¤~

"Ka."

"Apa?"

"Rumah gue kosong sampai sebulan ini, cuman ada gue dan Bibi, gak ada cowoknya. Lo gak mau gitu nemenin gue selama Bokap dan Nyokap gue belum balik? Masih ada kamar tamu kok.."

Raka tampak berpikir beberapa saat. "Gue gak bisa. Lagian depan rumah lo itu rumah gue, dan di rumah gue juga sendiri."

"Tapi -"

"Gue pantau lo dari jauh."

"Raka plis, gue lebih baik memastikan sendiri lo ada di depan mata gue daripada gue bela-belain buat terus mantau balik keadaan lo!"

"Lo mantau gue? Buat apa?"

"Gak buat apa-apa, gue cuman pengen memastikan lo tetap baik-baik aja."

Raka yang tadinya sudah menutup kaca helm kembali membukanya. "Lo, seperhatian ini sama gue, apa untungnya?"

"Lo salah, gue bukan bermaksud perhatian sama lo juga Ka, tapi karena kasus pembunuhan lo itu ngelibatin gue juga, jadi seharusnya kita naruh dendam yang sama ke orang yang bunuh lo dan gue. Gue pikir kalo gue bisa menjaga lo untuk tetap hidup pasti gue juga selamat, dan kalo lo mati, gue juga akan mati karena takdir kita yang sama bagaimana pun cara kematiannya."

Semakin lama semakin mendengar ucapan tidak masuk akal yang Alanna katakan, cukup membuat Raka mulai menaruh sedikit kepercayaan padanya.

"Jam tujuh gue datang ke rumah lo."

"Oke."

~¤~

Suara bel rumah yang ditekan beberapa kali, membuat Alanna berangsur turun dari dalam ruang kamarnya menuju ke arah pintu utama.

Memang benar, tepat jam 7 malam Raka memenuhi ucapannya dengan datang ke rumah tetangga sebayanya tersebut.

"Buruan masuk," ucap Alanna sembari menarik sebelah tangan Raka agar ia cepat masuk ke dalam rumahnya.

Rumah orang tua Alanna ini sama besarnya dengan rumah yang Raka tempati seorang diri.

"Ikut gue, kita ke rooftop."

"Kenapa harus di rooftop? Disini aja gila."

"Gue gak enak sama Bi Ida yang bisa aja dengar obrolan gue sama lo nanti. Kita gak mungkin gak ngobrol kan?"

Raka diam, tapi ia juga membenarkan dan setuju atas ajakan Alanna. Akhirnya mereka berdua menuju ke rooftop rumah Alanna dengan menggunakan lift kecil.

Sesampainya di rooftop, Alanna menuju ke salah kursi santai dimana kursi tersebut menghadap langsung ke arah langit malam.

"Lo mau diem aja disitu?"

"Sebelum lo persilahkan gue duduk, gue gak punya hak buat milih kursi."

"Ya ampun, tinggal duduk aja Ka. Lagian cuman ada kita doang disini."

Raka mengangguk pelan, ia lalu menuju ke kursi yang bersebelahan dengan Alanna.

"Lo lihat langit malam ini? Tumben banyak banget bintang disana."

"..."

Alanna menghela nafasnya. "Kayaknya sekarang lo udah mulai percaya sama omongan gue ya Ka?"

"Emangnya lo bohong?"

"Nggak! Gue justru senang, karena itu artinya gue bisa bekerjasama sama lo."

Raka kembali diam tidak menanggapi apapun.

"Hari itu.. ada Freya, teman gue yang datang ke rumah gue buat liat lo dan teman-teman lo juga yang lagi pada berkunjung ke rumah lo.." Alanna menengadahkan kepalanya.

"Kapan?"

"Gue lupa tepatnya itu kapan."

"..."

"Setelah gue diminta buat nganter Freya ke rumahnya, gue juga langsung pulang ke rumah gue, tapi sebelum benar-benar nyampe rumah, gue lihat ada belasan motor yang orang-orangnya sama, pakai stelan jaket hitam."

"Lo datangin gue?"

Alanna menganggukan kepalanya. "Hanya tersisa satu mobil sedan di depan rumah lo. Dan gue pikir itu orang tua lo. Jadi gue berniat buat tetap balik ke rumah gue, tapi karena gue liat pintu rumah lo yang terbuka lebar, gue jadi penasaran. Dan gue mastiin buat cek rumah lo sendiri."

"Gak ada satupun tetangga?"

"Setiap rumah punya ruang kedap suara, ingat?"

Raka kembali diam.

"Gue masuk ke dalam rumah lo berbekal keberanian, gue cari di ruang tamu gak ada siapa-siapa, di ruang tengah masih kosong, sampai gue nemu jejak sepatu yang mengarah ke arah ruang karaoke di rumah lo."

"Lo masuk kesana dan liat gue yang udah mati?"

Alanna kini mengarahkan tatapannya ke arah Raka dan tersenyum miris. "Lo masih hidup saat gue masuk, dan kayak yang sekarang lo tau kelemahan gue cuman satu, gue paling gak bisa liat ada orang dalam keadaan tragis di depan mata gue apalagi itu karena ketidakadilan."

"Jadi maksud lo saat masuk ke ruang karaoke gue lagi sekarat?"

"Iya. Lo sekarat, dan karena teriakan gue orang misterius itu langsung nembak gue juga tepat disini," tunjuk Alanna pada bagian jantungnya.

"Lo ikut mati?"

Alanna menatap kembali ke arah langit malam yang mulai menggelap seperti akan turun hujan. "Gue jatoh dan tergeletak di atas lantai, posisi kita jadi sama. Lalu lo natap ke arah gue dan bilang maaf sambil nangis."

"Gue nangis?"

"Iya, gue bisa liat air mata lo yang jatuh ke atas lantai,"

Alanna menundukan kepalanya. "Gue pikir itu interaksi pertama sekaligus terakhir kita yang paling berkesan. Karena buat pertama kalinya juga lo ngasih gue senyuman tulus. Setelah itu, gue rasa kita sama-sama mati."

"Apa yang buat lo yakin hal itu adalah nyata?"

"Sakit. Sakit yang gue rasain di jantung gue dan suara tembakan yang masih terngiang di telinga gue itu, semuanya nyata."

"Benarkah?"

"Bahkan rasanya gue masih bisa ngerasa suara parau lo bilang maaf meskipun itu sangat pelan. Dua hal itu gue tau sangat nyata."

Raka termenung, ia lalu menghela nafasnya sendiri.

"Oleh karena hal yang tadi gue bilang, gue harap lo bisa bekerjasama sama gue untuk ngeubah alur takdir kita sama-sama, saat gue diberi kesempatan dengan berbekal ingatan buat mencegah hal yang udah tau endingnya gimana."

"Gue terima, ajakan kerjasama lo ini."

●●●