"Pagiiiiii!!!" sapa Liza ceria pada Peni dan Asya. "Lizaaaa!!!" keduanya membalas serempak dan merekapun saling berpelukan seperti Teletubbies di kamar ganti perawat. "Apa kabar Liz? kamu sudah baikan?" tanya Asya. "Luka-luka fisik sih udah oke Sya, tapi terus terang aku masih takut dengan pria asing. Semoga kak Mira mengerti. Semalam kami sudah berbicara saat ini aku di tempatkan di bagian kandungan dulu yang mayoritas ibu-ibu, kalaupun ada pria pasti bersama istrinya kan? hehehehe.."kata Liza sambil nyengir masam. "Sudah tidak usah dipaksakan, masih ketemu psikolog kan Za?" tanya Peni. "Justru karena sudah bertemu beliau makanya aku berani kerja lagi, aku akan baik-baik saja selama tidak bertemu satu lawan satu dengan pria." kata Liza. "Kecuali Mas Bram ya?" goda Asya. "Hahahaha, kalau dia sih lain Sya. Pagi tadi saja Mas Bram yang jemput aku kemari, padahal dia juga belum bisa naik motor, jalan pun masih dengan tongkat, jadi kami berdua sama-sama naik taksi online." jawab Liza. "Duuh mesranyaaaa. Jadi iri niihhh.. kalian bahagia dengan pasangan masing-masing.. nanti kalau ngumpul lagi aku jadi nyamuk dong!" kata Peni cemberut. "Makanya, gerak cepat dengan si Briptu ganteng Pen! Hahahaha.. eh tapi seriusan kamu mau sama dia, bukannya dia ngejar-ngejar Raissa?" tanya Liza. "Yahh.. kita lihat seberapa serius si Briptu ngejar Raissa, soalnya tiap malam kami saling kirim pesan-pesan gombal gitu deh.." kata Peni. "Lagipula Briptu Agus juga sudah tahu sekarang Raissa sama siapa ya kan?" kata Asya. Tiba-tiba Marisa muncul dari balik pintu yang memang tidak tertutup rapat. "Oh Raissa dengan siapa sekarang? memangnya dia sudah punya pacar?" sambar Marisa. "Ya ampun Mar, Nyamber aja kayak geledek.. kaget tahuuuu!!" kata Peni. "I...i..iiyaaa.. aku juga kageeettt.. haduuh.. aku belum bisa dikejut-kejutkan kayak gini.. aduuhh a..a..ku.. harus duduk.."kata Liza memegang dada dan kepalanya. "Eh.. aduuh maaf Liza.. aku tidak bermaksud mengagetkan mu, aku hanya mencari ehm.. aku ambilkan minum dulu yaa.. sebentar.." kata Marisa lalu segera keluar ruangan sementara Peni dan Asya memapah Liza ke tempat duduk. "Sstt.. aku cuma pura-pura kok, supaya teralihkan si Marisa. Kita pura-pura saja waktu dia kembali." bisik Liza pelan. Asya dan Peni mau cekikikan tapi ditahan karena mendengar langkah orang mendekat. Marisa segera muncul membawa segelas air ditangan diikuti dengan Mira. "Ini airnya Liz, maaf yaa.. ehmm aku sebaiknya segera ke atas.. ini aku sudah panggilkan kak Mira. Daahh!!" kata Marisa dan langsung melesat pergi dari sana. "Ada apa Liz?" tanya Mira cemas. "Tidak apa-apa kak, hanya kaget saja. Aku tidak apa-apa kak, sudah berlalu kok serangan rasa cemasnya. Aku sudah tidak apa-apa, sungguh!" kata Liza meyakinkan kak Mira. "Hmm, baiklah, hari ini santai dulu lah, kamu di poli kandungan yaa.. seharusnya tidak terlalu banyak laki-laki disana dan unsur kejutan seharusnya sedikit. Tapi disana lumayan sibuk karena hari ini dr. Vita praktek. Kamu siap Liz?" tanya Mira. "Siap kak!" kata Liza cepat. "Bagus, bersiaplah kalau begitu. Kalian juga Peni, Asya. " kata Mira. "Siyyaaaapp kakak!!" kata Peni. Asya hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah Mira keluar baru ketiganya cekikikan. "Gara-gara Marisa niih.. hihihi.." kata Peni. "Iya.. tapi dia ngapain coba nguping kita kayak gitu?" tanya Liza. "Iya..ya..apa dia curiga?"tanya Peni. "Mungkin, kita lihat saja perkembangannya, nanti malam kita laporkan pada Raissa. Dia masih cuti dua hari lagi karena harus menjalani hipnoterapi." kata Asya. "Iya, ada-ada saja si topi biru ini yaaa.. bikin susah kita semua!!" kata Liza kesal. Asya menepuk pundak Liza, diikuti Peni. "Yang penting kita semua selamat Za.. Sudahlah yuk kerja. Semangat Liza, Peni!!" kata Asya. "Semangaatt!!!" keduanya membalas serempak.
Peni dan Asya meninggalkan Liza untuk menuju ke ruang kerja masing-masing. Liza melangkahkan kakinya ke poli kandungan dan langsung sibuk disana. Mulai dari mempersiapkan alat-alat untuk pemeriksaan, memperhatikan kebersihan ruangan, membereskan ruang tunggu, memastikan ada bahan bacaan yang terbaru untuk pasien yang menunggu antrian. Tak lama kemudian pasien mulai berdatangan, kebanyakan ibu-ibu yang sedang hamil, mulai dari yang perutnya masih datar hingga yang sudah sebesar semangka dan berjalan lambat seperti pinguin. Liza mengukur berat badan dan tekanan darah pasien-pasiennya. Beberapa didampingi suaminya, tetapi Liza tidak mengalami kecemasan karena para suami itu perhatiannya tertuju pada istri mereka sehingga Liza bisa bernapas lega. Satu jam lagi menuju makan siang, Liza mulai kelelahan dan merasa harus buang air kecil. "Dian, aku ke toilet sebentar yaaa.." katanya. "Oke Liz, santai kok sekarang." balas Dian. Untuk ke toilet ia harus melewati poli jantung dan poli kulit. Liza ke toilet tanpa gangguan. Ketika kembali, di depan poli jantung ia melihat seorang pria sedang kebingungan, keadaan disekitarnya sedang sepi. Jantung Liza mulai berdegup kencang, tangannya mulai terasa dingin. Pria tersebut melihatnya, Liza melambat dan akhirnya terdiam, ia ingin lari tetapi tidak bisa. Matanya melihat pria tersebut menanyakan sesuatu, tetapi Liza tidak dapat mendengar pertanyaannya, Pria tersebut mengulang pertanyaannya kali ini lebih keras. Sepertinya mulai tidak sabaran, karena Liza tidak menjawab. keringat dingin bercucuran dari keningnya. Pria tersebut mengerutkan kening, melihat Liza menatap nanar dirinya dengan keringat sebesar biji jagung mengalir dari keningnya dan mukanya pucat pasi. "Mbak.. mbak.. haloo.. mbak gak apa-apa mbak?" tanya si pria itu, ia mengulurkan tangan hendak menolong Liza duduk. Tetapi begitu tangannya menyentuh lengan Liza. Liza berteriak histeris, "Tidaaaaaaakkkkkkk!!!!! jangaaaaannnnnn!!!! toloooongggg!! mas Braaaaaaaammmmmmm!!!!! Ibuuuuuuu!!! Ayaaaahhhhhh!!!! tidaaaaaakkkkkk.. jangaaaaaannn!!!"teriak Liza. Teriakannya membuat pria di depannya panik. Bukannya menjauh, pria tersebut malah semakin memegang erat Liza. "Tenang.. tenang.." kata Pria itu sambil terus memegang Liza yang malah membuat Liza semakin kencang berteriak dan mulai memukul membabi buta. Beberapa dokter, pasien dan perawat membuka pintu, Asya yang kebetulan berada di poli jantung bersama dr Faizal langsung menghampiri Liza. "Pak lepaskan dia pak.."pinta Asya. "Tapi bukan salah saya mbak.. dia tiba-tiba begini, mbak bilang mbak.. saya gak ngapa-ngapain looh.." kata si pria itu berusaha menjelaskan dengan meminta bantuan Liza yang masih histeris. Tangannya masih tetap memegangi Liza. Apalagi saat itu beberapa staff lain datang termasuk dr. Satya dan Mira. "Pak lepaskan dia sekarang!!" kata Asya tegas. dr. Faizal langsung melepaskan paksa lengan pria tersebut dari Liza dan membawanya ketempat lain bersama dengan dr. Satya. Sedangkan Mira dan Asya berusaha menenangkan Liza. Bram datang tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. "Lizaaa!!" kata Bram begitu mendekat. Liza mendongak dan mengenali Bram, ia langsung menghambur ke dalam pelukan Bram dan memeluk Bram erat-erat sambil terisak-isak. "Kita bawa ke IGD saja Mas." kata Mira. "Baik kak" Bram langsung memapah Liza menuju IGD. Asya membantunya karena kaki Bram juga tidak boleh menerima beban berat. Beriringan bersama Mira mereka menuju IGD. Liza tetap terisak sambil menyembunyikan wajahnya di dada Bram. Beberapa pasien yang penasaran melongokkan kepala mereka. Begitu juga dengan rekan sejawat mereka. Begitu rombongan tersebut lewat maka merekapun kembali bekerja. Di IGD Peni sudah menyiapkan segelas air untuk Liza. dr. Satya datang dan langsung menangani Liza. Ia memberi Liza obat penenang sehingga Liza tertidur. "Pasien pria itu bagaimana?" tanya Mira. "Baik-baik saja, hanya kaget, dia hanya minta petunjuk ke toilet dan mulai marah saat Liza hanya diam saja. Dia mengaku nadanya meninggi saat itu, mungkin itu penyebab Liza menjadi histeris. Mengapa Liza sendirian?" tanya Satya. "Karena ia habis dari toilet. Ngomong-ngomong Peni, bisa tolong bantu Dian di poli kandungan? biar aku yang jaga IGD. "kata Mira. Peni mengangguk dan langsung melesat ke poli kandungan menggantikan Liza. "Padahal pagi ini berjalan lancar menurut Dian." sambung Mira. "Iya, kebetulan sekali pasien pria itu bertemu Liza yang sedang sendirian. Apa untuk sementara Liza harus ditemani kemanapun agar tidak sendirian?"tanya Satya. "Ya mau bagaimana lagi, kecuali mau menempatkan Liza dibelakang meja? tapi meja mana? semuanya pasti berhubungan dengan pasien laki-laki." tanya Mira. "Kita pikirkanlah nanti kak Mira. Biarkan mereka istirahat dulu." kata Satya sambil menengok ke arah Liza yang tetap memegang tangan Bram dengan erat walau dalam tidurnya. Mira mengangguk lalu berjalan ke arah tempat tidur Liza. "Kapan diresmiinnya Bram, udah lengket banget kayaknya.." goda Mira. "Hehehe.. maunya secepatnya kak.. biar halal!"kata Bram sambil tertawa. "Sebar undangan ajalah langsung, tentukan tanggal!" Satya ikutan menggoda Bram. "Iya dok, hehehe, sudah dapat lampu hijau kalau dari orangtua kami, tinggal mempelai perempuan nih!" kata Bram. "Kalau dari reaksinya tadi sih, kayaknya sudah lampu hijau terang benderang ni Bram!" kata Mira. "Benar kak? waahh.. nanti kalau sudah sadar langsung saya lamar aja deh kak!" kata Bram. "Sabar.. jangan langsung juga mas Bram.. baru trauma, ajak makan malam romantis dulu, berdua aja. Kalau habis peristiwa traumatis gini, ntar jangan-jangan lupa kalau dilamar." kata Satya memberi saran. "Romantis juga kamu dok!" kata Mira. "Iya dong kak, usia boleh muda, tapi pengalaman gak kalah!" kata Satya bangga. "Ckckck.. anak zaman sekarang" kata Mira geleng-geleng kepala. "Baiklah, aku kembali ke ruangan ku dulu ya, kabari kalau sudah sadar, soalnya aku sedang mengerjakan laporan buat Mas Aditya. Bisa diamuk lagi kalau laporannya salah." kata Satya lalu pergi dari sana dan melanjutkan pekerjaannya. Begitupun dengan Mira, ia pergi mengecek pasien lain. Sedangkan Bram tetap menemani Liza sampai sadar. Tidak peduli dengan pesan di ponselnya, dari dua rekan medical sitenya yang mulai kalang kabut di ruangan mereka karena ditinggal Bram tiba-tiba.