Aku berjalan berdampingan dengan Zenna, tadi saat teman-temannya Ibu datang menjenguk Ibu, mereka memberitahu jika salah satu teman Ibu, Tante Lasmi juga masuk rumah sakit.
Ibu memintaku dan Zenna untuk menjenguk Tante Lasmi yang berada di ruangan ICU rumah sakit yang sama dengan Ibu.
"Kak, kira-kira Tante Lasmi sakit apa ya Kak? kok sampai di rawat di ICU."
"Coba nanti Kakak tanya ke susternya."
"Kalau ke ICU bawaanya ngeri deh Kak. Bayangan orang-orang yang sakit parah tuh ada di kepalaku, alhamdulillah Ibu gak masuk ke sana ya Kak. Amit-amit Ibu masuk ruangan itu, gak bisa bayangin Zenna."
Aku menatap Zenna, adikku itu belum tahu tentang penyakit Ibu, rasanya tak tega aku memberitahu Zenna hal ini. Apa lagi mendengarkan kata-kata Zenna tadi.
Setelah sampai di ruangan ICU ternyata hanya satu orang yang boleh masuk, akhirnya Zenna memilih untuk membiarkan Aku yang masuk dan dia menunggu di depan ICU.
"Mari Mbak saya antarkan," kata Suster penjaga itu.
"Mbak, maaf Saya tanya, Ibu Lasmi emang tinggal sendiri ya Mbak?" tanya suster yang mengantarku ke bilik kamar.
Aku menarik senyum ku tipis, "Mungkin Sus, selama saya dekat dengan Tante Lasmi, Saya gak pernah lihat keluarganya. Emang ada apa Sus?"
"Baru saja Ibu Lasmi mengalami kritis. Ketika pihak kami akan menghubungi pihak keluarga ternyata tak ada satupun yang tahu, bahkan tetangganya yang bawa ke sini juga gak tahu."
Suster itu terlihat begitu sedih, sama sepertiku. Selama kenal dengan Tante Lasmi tak pernah sekalipun Tante Lasmi bercerita tentang keluarga, entah jika hanya berdua dengan ibunya.
Yang pasti, Aku jarang sekali melihat orang tua, saudara, ataupun keluarga lainnya dari Tante Lasmi.
Setelah di tunjukkan oleh suster di bilik mana Tante Lasmi di rawat. Aku menggeser kan korden itu. Terlihat Tante Lasmi yang terbaring lemah dengan segala alat terpasang di tubuhnya.
"Tante, ini Ana."
Tante Lasmi membuka matanya lalu menatapku. Ia tersenyum dengan oksigen yang terpasang di hidungnya.
"Ana," ucap Tante Lasmi begitu pelan.
Aku berjalan ke kursi di samping kasur Tante Lasmi. Aku melihat tiang di samping Tante Lasmi, terlihat dua kantong berwarna merah dan bening yang tergantung di atas tiang.
"Tante gimana keadaannya, udah baikkan?" tanyaku. Tante Lasmi hanya tersenyum.
"Maaf ya Tante baru bisa jenguk sekarang. Ana sama Ibu baru tahu dari temen-temen Ibu tadi." Lagi-lagi Tante Lasmi hanya tersenyum.
"Ana," panggil Tante Lasmi begitu lemah.
"Iya Tante?"
"Boleh.. boleh Tante minta satu hal?" Aku mengangguk.
"Tan.. te, pingin Ana nikah sama anak Tante, Ana maukan?"
Diriku langsung kaget, jelas saja. Bayangin, kamu jenguk orang sakit, eh malah di suruh nikah gini. Mana gak pernah tahu lagi anak Tante Lasmi kayak gimana.
"Tante, bener-bener pingin kamu rubah dia"
"Maksudnya?"
Tiba-tiba Tante Lasmi meminta Aku untuk mengambil sebuah kertas di atas nakas. Sebuah kertas bertuliskan alamat.
"Tante, Ibu yang buruk. Dan, hanya dia yang Tante punya."
"Tolong, ini permintaan terakhir Tante. Cuma Ana yang paling Tante percaya"
Aku terdiam cukup lama, menatap selembar kertas itu. Alamat rumah yang lumayan jauh dari rumahku.
Sebuah dentingan panjang membuat kepalaku langsung menoleh ke arah Tante Lasmi. EKG, elektrokardiogram yang tiba-tiba berbunyi dan bergaris lurus panjang membuat mataku terpaku. Suster dan dokter langsung berlari.
"Innalillahi wa innalillahi rojiun. Pukul lima sore lebih lima, senin ini. Ibu Lasmi meninggal."
Ucapan Dokter itu membuatku tak mampu bergerak lagi. "Tante Lasmi..."
--------
Aku menundukkan wajahku, Zenna menggenggam tanganku. "Kak, kita pulang yuk, kasian Ibu nungguin kita pasti," ujar Zenna.
Mataku masih terpaku di sebuah pusaran tanah bernisan 'Lasmi Tirta'. Ya, Tante Lasmi langsung di kebumikan di pemakaman dekat rumah Tante Lasmi. Dan Ibu meminta Aku dan Zenna untuk mengurus pemakaman Tante Lasmi.
"Zen, kalau ada orang yang minta tolong ke kamu dan kamu melihat diri kamu kurang mampu membantu. Kamu bakal bantu orang itu gak?" tanya ku pada Zenna.
Zenna menatapku dengan dahinya mengerut. "Zenna bakal bantu sih Kak. Karena orang lain tuh minta tolong ke kita karena dia tahu kita mampu."
"Ibaratnya nih Kak, Kakak jago matematika di kelas dan semua orang tahu itu, orang-orang pasti bakal sering minta tolong Kakak ajarin mereka matematika, gak mungkin dong temen-temen Kakak minta tolong ajarin seni atau yang lain, yang belum tentu Kakak bisa."
Aku kembali menatap nisan Tante Lasmi. Apa iya Tante Lasmi mandang Aku mampu ya? tapi, aneh aja rasanya.
"Ayo Kak kita pulang." Aku mengangguk lalu mengikuti langkah Zenna yang mulai pergi meninggalkan pemakaman.
-------
Aku duduk di samping Ibu yang sedang terbaring di atas tempat tidur. Aku memegang tangan Ibu, semenjak tahu keadaan Ibu aku menjadi sangat takut kehilangan Ibu. Bahkan Aku selalu memperhatikan nafas Ibu.
"Na"
"Iya Bu? Kok bangun Bu?"
Ibu membuka matanya, menatapku begitu dalam tapi lembut. Aku tersenyum ketika Ibu tersenyum menatapku.
"Apa yang kamu pikirin Na?"
Ginilah seorang Ibu, selalu tahu apa yang terjadi pada kita. Sulit harus menyembunyikan sesuatu dari Ibu.
"Gak kok Bu, Ana gak mikir apa-apa"
"Kantung mata kamu gak bisa bohong Na. Dahi kamu juga keriput gitu. Kamu kenapa?"
Aku memeluk Ibu. "Anak Ibu udah besar sekarang. Tahun depan udah mau lulus. Ibu jadi gak sabar lihat kami nikah, kira-kira waktu kamu lulus sama nikah Ibu masih bisa lihat gak ya Na?"
"Ih ibu ngomong apa sih, gak suka Aku."
"Ibu pasti sembuh, Ibu pasti lihat Ana wisuda lihat Ana nikah. Lihat Zenna lulus dan nikah juga. Ibu jangan ngomong gitu dong." Aku mengerucut bibirku. Tak suka dengan omongan Ibu.
"Kita gak tahu umur Na. Ibu jadi pingin lihat kamu nikah Na," kata Ibu membuatku kembali teringat permintaan Tante Lasmi.
Kalau Aku cerita ke Ibu kira-kira Ibu bakal ngomong apa ya? Apa Aku ngomong sekarang ke Ibu? Tapi awalnya bilang gimana? ah jangan deh nanti aja kalau udah tahu orangnya kayak gimana.
Tapi...
"Tuhkan anak Ibu lagi punya banyak pikiran. Ibu ajak ngobrol aja gak nyahut."
Aku melihat Ibu, kapan Ibu mengajak Aku ngobrol? Apa aku kebanyakan berpikir ya jadi gak denger Ibu ngomong apa?
"Ana mikirin apa sih? cerita dong ke Ibu," kata Ibu.
"Ana mikirin Ibu," bohongku.
"Ibukan udah selalu bilang, tetap kasih dukungan ke Ibu. Ibu aja bisa lewatin yang lalu, sekarang pasti bisa. Ibu aja semangat masa anak Ibu engga?"
Aku memeluk Ibu kembali, kali ini lebih erat. Merasakan kehangatan pelukan Ibu yang tak pernah ada duanya.
Tiba-tiba air mataku mengalir, Ibu yang tahu menepuk-nepuk punggungku. "Ana yakin Ibu pasti sembuh."