webnovel

Rahasia Seniorku (18+)

Semoga teman-teman suka dengan cerita ini. Cerita ini mengandung unsur dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Ana menyukai salah satu senior di kampusnya, Gantara Mahesa. Gantara adalah definisi laki-laki yang sempurna. Pintar, jago basket, tampan, kaya dan gentleman. Tapi sebuah insiden tak terduga di rumah sakit ketika Ibunya sedang dirawat, langsung membuat dunia Ana jungkir balik. Dan ia ketakutan jika berada di dekat Gantara.

fatikhaaa_ · LGBT+
Peringkat tidak cukup
11 Chs

Bab Kesebelas

Aku duduk termenung di dapur dengan wajah yang masih terlihat mengantuk dan lelah. Bagaimana tidak aku baru bisa tertidur pukul tiga pagi sedangkan sekarang jam menunjukkan pukul lima pagi. Hanya DUA JAM untuk hari yang melelahkan.

Aku menatap kopi espresso milik Kak Gantara yang sedang Aku aduk. Kejadian semalam tiba-tiba masuk kedalam ingatanku kembali. Aku menghela nafasku lelah, sakit hati yang sempat hilang kini kembali terasa.

(Flashback On)

"Kak Gantara?"

"Kak?"

Aku mendekati Kak Gantara, terlihat wajah Kak Gantara yang gusar, keningnya terdapat lipatan-lipatan. Dengan perlahan Aku letakkan tanganku di atas kening Kak Gantara. Tubuh Kak Gantara terasa hangat di tanganku.

Tiba-tiba saja tubuh Kak Gantara menggigil, Kak Gantara juga meringkuk di bawah selimutnya. "Remot mana remot mana remot AC mana," ujarku sambil berusaha mencari remot itu.

Uhuk... uhuk..

Tiba-tiba suara batuk memecahkan konsentrasiku dalam mencari remot AC. "Kak?" Tapi tak ada jawaban apapun. Setelah berhasil mematikan pendingin ruangan Aku menyalakan lampu kamar Kak Gantara.

Aku benar-benar panik sekarang! Ketika lampu menyala Aku melihat darah keluar dari hidung Kak Gantara. Secara refleks Aku berlari menuju ruang tamu, mengambil tisu yang berada di atas meja sana. Dengan cepat Aku kembali ke kamar Kak Gantara, mengelap darah yang ada di hidung Kak Gantara.

Karena gerakanku yang begitu berlebihan membuat tidur Kak Gantara terganggu. Mata lentik itu mulai menatap elang ke arahku, Aku sadar itu. Tapi rasa panikku membuat Aku menghiraukan tatapan itu.

Dengan kasar Kak Gantara menepis tanganku, mengambil tisu untuk menutup hidungnya. Aku hanya bisa menghela nafas saja, ketika penolakan yang kasar itu kembali Aku terima.

"Pergi, Gue gak mau ada Lo disini," ucap Kak Gantara memintaku pergi.

Sakit, jelas, sangat bahkan. Niat baikku dibalas kekasaran. Aku hanya bisa mengembangkan senyuman pahitku. "Padahal Aku cuma mau tolongin Kak Gantara loh," lirihku yang Aku yakin Kak Gantara masih mampu mendengarnya.

Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar ini. Ku tundukkan kepalaku menyembunyikan kesedihan dan kesakitan hatiku.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari belakang Ku. Ternyata Kak Gantara berjalan di belakang Ku, menuju dapur. Sungguh di sayangkan, Aku kira Dia akan menyusul Ku ternyata.... tidak.

"Apa yang Kamu harapinsih! Dia bukan Gantara yang Kamu idolakan lagi!" batinku berteriak memarahiku. Aku menghempaskan tubuhku di sofa dimana Aku tidur.

"Bisa datang ke kamarku?"

"Hmm... Aku tunggu."

Kepalaku menoleh ke arah Kak Gantara yang terduduk di kursi meja makan sambil memegangi kepalanya dan satu tangannya memegang ponsel yang ia tempelkan di telinganya.

"Siapa yang Dia hubungi?" batinku bertanya-tanya.

Aku terus menatap Kak Gantara, rasa khawatir dan bingungku belum surut. Kak Gantara terus memegangi kepalanya dan sesekali terlihat mengelap hidungnya.

Karena Aku masih merasa begitu khawatir dengan kondisi Kak Gantara yang sepertinya mulai lemas, akhirnya Aku berdiri dan menghampiri Kak Gantara yang sudah tertidur dengan kepala yang berada di atas lipatan tangannya.

Tapi semua itu terhenti ketika suara pintu dan teriakan yang membuatku terkejut. "Gantara! Kamu sih udah Aku bilangin mending tidur di kamarku hari ini ngeyel aja!"

Mataku membulat, Erik, laki-laki setengah itu ada di apartemen ini. Masuk dengan mudah lalu berteriak seakan rumah ini hutan. "Ngapain Lo disini?" tanyaku langsung pada Erik.

"Berisik Lo! Kepo banget jadi cewek! minggir minggir Lo!" jawab Erik sambil menggeser tubuhku dengan tenaganya. Untung saja tangan dan kaki ini bisa segera menyeimbangkan tubuhku.

Erik membawa menghampiri Kak Gantara, sebelum tangan laki-laki setengah itu menyentuh suamiku segera saja Aku hempas tangan besar dan berbulu itu!

"Apa-apaan Lo!" ujar Erik dengan nada tak sukanya.

"Biar Gue aja, Lo pulang sono, gak sopan banget malam-malam asal masuk rumah orang!" sindirku.

"Eh Gue gak asal masuk! orang Gantara sendiri yang suruh, lagian Lo itu cuma-"

"Udah udah! Gue pusing dengernya!" Aku dan Erik langsung terkejut mendengar suara bentakan dari Kak Gantara.

Mataku dan mata Erik masih melempar sinis, sedangkan Kak Gantara menatap kami berdua bergantian.

"Aku bantu ke kamar," ucapku dan Erik berbarengan. Aku jelas langsung menatap Erik dengan garang, apa maksudnya dia ikut-ikut. Kak Gantara menghela nafasnya melihat Aku dan Erik yang sepertinya akan mulai berdebat lagi.

"Lo di sini aja, Gue gak butuh Lo!" ucap Kak Gantara yang langsung menjadi panah tajam yang menancap kuat di hatiku.

Ia dengan susah payah berdiri dari kursi lalu berjalan ke kamarnya kembali. Erik menatap remeh ke arahku, mengejek. Kurang aja memang laki-laki setengah itu!

Kak Gantara dan Erik masuk ke dalam kamar dan MENGUNCI kamar itu. Aku menatap pintu kayu mahal itu. "Sakit," lirihku sambil memegangi dadaku yang terasa begitu nyeri dan sesak.

(Flashback Off)

"Kenapa Kak Gantara bawa Aku ke sini kalau Aku engga dibutuhkan. Bukankah Ayah pernah memintanya untuk mengembalikan Aku pada orang tuaku?" batinku bertanya-tanya.

Aku mengangkat cangkir berisi kopi itu. Dengan perlahan kopi itu mulai mengenai lidahku. "Aaph! pahit banget!" kesalku ketika kopi itu membuat lidah dan tenggorokanku kepahitan.

Aku meletakkan cangkir itu lalu berlari mengambil gula dan memasukkannya ke dalam mulutku. Buru-buru Aku lakukan sebelum rasa pahit itu mencengkram leherku dan melilit lidahku.

"HAHAHAHAHHAHA"

Suara tawa yang begitu menggelegar dan terdengar sangat puas membuat kepalaku menoleh dengan cepat. Aku langsung memutar bola mataku dan menatap orang yang sedang tertawa dengan sangat puas sambil memegangi perutnya. Erik si manusia setengah!

"Banyak gaya Lo, minum kopi pahit mahal segala!" sindirnya. Aku tak peduli lebih baik meminum air putih lalu segera menyingkirkan dari makhluk halus yang saking halusnya buat para setan iri.

"Tunggu dulu," cegah Erik sambil mencengkal tangan kananku. Dengan cepat Aku menghempas tangan besar dan berbulu itu.

"Gue kira Lo bakal buka kartu, tapi ternyata enggak. Apa yang sedang Lo rencanakan?" tanya dengan nada serius dan berat. Aku bahkan merasa seakan dihadapkan dengan seorang dosen galak sekarang ini.

"Pingin tahu aja Lo!" jawabku dengan sewotnya. Biarkan saja, biar Dia mengira Aku ini punya rencana dan biarkan Dia gila memikirkan itu, pada nyatanya Aku tak memiliki rencana apapun.

Erik mendekatiku, bahkan Dia berdiri dihadapanku dengan wajah yang begitu serius. Jujur saja lebih baik Aku ditatap serius oleh Kak Gantara sebab mata Erik begitu menusuk ke tulang-tulangku. Bahkan untuk menelan air liur saja susah rasanya.

Erik tiba-tiba memajukan wajahnya ke arahku, matanya dan mataku menjadi sejajar. Dan di dalam mata Erik benar-benar seperti ada ribuan elang dan ular di sana. Terlalu tajam dan menakutkan. "Lo polos juga, tapi air diam justru berbahaya. Gue tahu ada yang lagi Lo susun di kepala Lo!" ujar Erik.

"Gu-Gue gak punya rencana apa-apa. Nga..rang banget Lo!" balasku sambil memberanikan diri menatap mata itu dan membalas kata-katanya. Dan sayangnya, Aku jujur.

"Gue denger bokap Lo kerja sama dengan perusahaan furnitur dan jadi mitra paling di percaya di perusahaan milik penyanyi dangdut itu," kata Erik membuatku menatapnya kaget, bagaimana bisa Erik tahu.

"Gue deket sama pemiliknya, mungkin mengeluarkan bokap Lo dari daftar mitra secara tidak hormat seru juga. Setelah itu buat bokap Lo yang di ambang ke bangkrutan, benar-benar bangkrut dan tidak diterima dimana saja, karena bokap Lo cuma lulusan SMA dan koneksi Gue lebih banyak dari yang Lo bayangkan, hal seperti itu mudah buat Gue! So, tetap diam dan jangan lawan Gue atau bokap nyokap Lo Gue hancurkan saat itu juga!" ancam Erik membuat kakiku sedikit lemas dan menatapnya sangat tajam.

Erik menatap sinis ke arahku, entah apa yang Dia pikirkan tapi ini pasti buruk. "Gue anggap jawaban Lo tadi sebuah kejujuran. Oh iya Gantara lagi tidur jangan ganggu Dia dan kalau bisa tetap kayak gini, jadi anjing manisku," ujar Erik sambil menepuk-nepuk ujung kepalaku dan Aku tahu Dia sedang merendahkanku.

"Udah-udah minggir Lo!" tegasku mengusir Erik. Aku memundurkan kakiku lalu pergi berlalu dari hadapan Erik.

"Hari ini adalah hari kematian Papa Gantara. Gue baik kasih tahu Lo karana Gue yakin Lo gak tahu itu. Karena Lo cuma pembantu dan orang asing bagi Gantara dan Gue!" kata Erik dengan bumbu sarkas.

Suara langkah kaki Erik mulai terdengar menuju pintu apartemen ini. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup menandakan Erik benar-benar pergi dari apartemen ini. "Tapi kenapa Kak Gantara sampai seperti itu? ada kejadian apa di balik itu semua?" batinku.

Mataku melihat ke arah pintu kayu mahal milik kamar Kak Gantara. "Misteri apa lagi ini?" tanyaku mengeluh pada sang waktu dan takdir.