Candy dan Devano pun akhirnya menonton film yang berdurasi lebih kurang 120 menit itu. Sepanjang film itu diputar, Candy lebih fokus menatap layar sementara Devano lebih fokus menatap Candy. Bagi Devano, melihat ekspresi Candy yang tersenyum dan tertawa sendiri saat menikmati film tersebut, adalah tayangan yang paling sinematik.
Mereka memang belum mengenal satu sama lain. Namun entah kenapa, semenjak pertama kali melihat paras gadis manis itu, Devano merasakan ada magnet yang menariknya untuk terus memandangi Candy. Gadis itu memang tidak begitu cantik. Perawakannya biasa saja, alisnya tidak terlalu rapi, hidungnya tidak terlalu mancung, dan kulitnya juga tidak terlalu putih. Tapi, paras Candy mengandung banyak ekspresi. Gadis itu akan terlihat manis sekali saat tersenyum dan begitu menggemaskan saat cemberut.
Sinema yang lebih kurang berdurasi dua jam itu pun akhirnya berakhir. Devano dan Candy meninggalkan studio.
"Kayaknya seisi sekolah harus nonton film itu, deh. Soalnya anak-anak di sekolahan pada suka body shaming," cetus Candy sambil tersenyum-senyum sendiri, karena masih teringat dengan beberapa adegan lucu di film yang baru saja ia tonton.
"Kamu sering body shaming ke orang lain juga nggak?" balas Devano.
"Hehee.. Sering juga, sih. Biasanya ke anak-anak cowok yang ngeselin, tuh. Apalagi ke orang-orang yang sering ngatain aku pendek, ya aku katain balik dong," ucap Candy, ia sudah mulai merasa lebih nyaman bicara dengan Devano, tidak sekikuk tadi.
Devano tersenyum. "Orang pendek itu awet muda tahu. Tetap kelihatan menggemaskan walaupun umurnya udah nggak muda lagi." Devano menanggapi.
Ekor mata Candy spontan bergerak melirik Devano begitu laki-laki itu mengeluarkan kata-kata "menggemaskan."
"Es krim, yuk!" Devano serta merta menarik tangan Candy, yang berhasil membuat jantung gadis itu berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Kamu kenapa tiba-tiba pindah sekolah?" tanya Candy kemudian sambil menikmati es krim.
"Hmmm, karena papa pindah rumah, jadi saya juga harus pindah sekolah, nyari yang nggak terlalu jauh dari rumah," jawab Devano.
"Sebelumnya sekolah dimana?" tanya Candy lagi.
"Di SMA Merdeka."
"Wah! Itu kan SMA favorit, cuman anak-anak pintar doang yang bisa masuk sana." Candy berdecak kagum. "Pantesan kamu masuk ke kelas sepuluh-A."
"Emangnya kenapa dengan kelas sepuluh-A?" balas Devano.
"Kelas paling unggul. Kalau kelas aku, kelas sepuluh-F, justru kelas paling bobrok. Lihat aja isinya, tukang rusuh semua," jelas Candy.
Devano tertawa kecil. "Tapi saya lihat, kamu nggak kayak tukang rusuh, kok," ujar Devano.
"Kecuali aku maksudnya," balas Candy, kemudian terkekeh sendiri. Devano turut tersenyum.
"Woi, Candy!"
Candy menoleh begitu seseorang menepuk pundaknya. Ia kontan terbelalak begitu melihat Kevin sudah berdiri di sebelahnya, entah dari kapan.
"Wuahaha... Dari jauh gua perhatiin, apa gua mimpi ya lihat si Candy pacaran, eh ternyata emang benar," cetus Kevin sambil terbahak-bahak.
"Ih, apa sih, lo? Siapa juga yang pacaran," sewot Candy sambil berdiri.
"Ohh masih PDKT, ya." Kevin lantas menepuk lengan Devano. "Langsung tembak aja, brother! Udah pasti diterima. Nih cewek kan udah lama jomblo." Kevin terbahak-bahak lagi. Sementara Devano hanya tertawa lirih.
"Kevin! Pergi nggak lo sekarang!" Wajah Candy benar-benar memerah. Ia malu bukan main. Kenapa juga ia bisa ketemu Kevin di tempat itu? Bisa-bisa seantero sekolah jadi tahu kalau dia jalan sama Devano.
"Apa, sih, lo, nggak jelas banget. Emang ini mall milik nenek buyut lo apa?" balas Kevin.
"Agghhh..." Candy yang geram memilih pergi dari tempat itu.
***
"Masih bete, ya?" tegur Devano saat mendapati wajah Candy masih masam.
"Si Kevin tuh emang bangke, ya! Itu tuh yang gua bilang tukang rusuh. Dia tuh biang keroknya! Ngerusak mood aja!" dumel Candy.
Devano hanya tersenyum. "Trus saya harus ngelakuin apa supaya mood kamu kembali baik?" goda Devano.
Candy hanya diam. Wajahnya masih cemberut.
"Apa saya bawa kabur aja ya anaknya Bunda Gita ini?" canda Devano kemudian.
Candy pun langsung mendelik. "Kamu mau bawa aku kabur kemana emang?" balasnya.
"Ya, kemana aja. Ke timbuktu mungkin," jawab Devano asal sambil terus menyetir.
Kening Candy langsung berkerut, tapi matanya tampak bersinar. "Timbuktu? Kamu penggemar komik Donal Bebek, ya?"
"Kota Timbuktu itu benar-benar ada tahu, nggak cuman fiktif di komik Donal Bebek doang," ucap Devano.
"Oh, ya?" Candy tampak tertarik dengan topik itu, wajahnya tak lagi masam.
"Yap. Timbuktu adalah sebuah kota di Afrika Selatan. Dan fakta menariknya, kota Timbuktu adalah pusat dari penyebaran agama Islam di Afrika pada abad ke-15. Banyak bangunan-bangunan bersejarah juga di sana," papar Devano.
Candy tampak menyimak dengan takjub. Laki-laki itu memang tampak berwawasan. "Aku mau dong diajakin ke Timbuktu," cetus Candy asal.
Devano menoleh pada Candy. "Sekarang?"
Candy mengangguk, lantas mereka berdua tertawa.
***
Candy memasuki kediamannya dengan wajah berseri-seri. Hati gadis itu terasa berbunga-bunga.
"Lancar ngedate pertamanya?"
"Astaga! Ngagetin aja sih, Bun?!" Candy terperanjak begitu melihat sang bunda tiba-tiba sudah ada di sebelahnya.
"Lha? Kok bunda yang salah? Orang bunda dari tadi udah berdiri di sini," balas Gita. "Gimana ngedate pertamanya?" goda Gita lagi.
"Apa sih, Bun." Candy mesem-mesem. "Udah, ah, Gita mau mandi dulu." Gadis itu pun raib di balik pintu kamarnya.
***
"Huuuuu...!!! Yes! Yes! Yes!" Azka berseru girang begitu ia tiba di garis finish terlebih dahulu, menjadi nomor satu dalam kegiatan balap liar itu. Azka membuka helmnya, seketika itu jualah mata cewek-cewek tertuju padanya, pada alis tebal yang bitu tepat dikombinasikan dengan hidung yang menjulang tinggi. Di tambah lagi pendar cahaya rembulan, Azka terlihat begitu mempesona.
"Gila! Gila! Gila nih jagoan kita satu ini," ucap Rio yang menyentuh garis finish setelah kita. "Lo hampir nabrak banci, sadar nggak sih? Gua kirain tuh banci bakal ngejar, eh ternyata cuman teriak-teriak doang."
"Siapa suruh tuh banci berdiri di tengah jalan. Lagian dia juga nggak bakal bisa ngejar pakai highheels sepuluh senti itu," balas Azka.
"Gua jijik banget sih lihat bulu kaki tuh banci," ujar Rio.
"Ngapain lu lihatin, Nyet! Pantesan lo nggak pernah menang tiap lawan gua!" Azka tertawa sambil menyombongkan dirinya.
Seiring dengan itu, beberapa orang gadis yang menyaksikan balap liar itu pun mendekati mereka.
"Kamu jago banget! Boleh minta nomer hape kamu nggak?" ujar cewek berpakaian serba minim itu.
"Gua nggak punya hape. Mintak nomer hape dia aja tuh." Azka justru menunjuk Rio.
"Ah, masa sih ganteng-ganteng nggak punya hape," ujar gadis tadi lagi. "Kalau gitu, nomor telepon rumah kamu juga nggak apa-apa deh," bujuknya lagi.
"Minta ke dia aja. Gua serumah kok sama dia." Azka mengenakan kembali helmnya, lantas meninggalkan gadis-gadis itu.
"Saiko tuh bocah! Nggak demen ama cewek apa gimana sih," dengus Rio.