webnovel

ch 2

Bicara mengenai keadaan dunia sekarang, bisa dikatakan damai tidak rusuh juga tidak. Karena seluruh kerajaan saat ini saling tertutup satu sama lain hingga tidak mengetahui apa yang terjadi di luar kerajaan mereka, yang terpenting kerajaan mereka makmur dan tidak ada perselisihan.

Karena ketertutupan seluruh kerajaan di Ethernal World ini, mereka tidak tahu apa saja yang terjadi diluar sana. Kerusuhan yang dilakukan para bandit yang menjarah para pedagang, hingga pembunuhan - pembunuhan yang dilakukan para assasint.

Karena kejadian itu, seluruh kerajaan mulai saling mencurigai satu sama lain sampai melupakan sesuatu yang penting, yaitu 'Kebangkitan Raja Iblis'. Mereka menganggap ramalan para sage terdahulu itu hanyalah bualan semata. Karena apa? Mereka sangat yakin pada kisah yang diceritakan oleh orang tua mereka hingga tidak mengetahui bahwa cerita itu dilebihkan.

Mereka menganggap bahwa perang terdahulu merupakan dongeng semata sebagai pengiring tidur anak - anak. Tapi apakah mereka mengetahui bahwa apa yang dianggap dongeng adalah kenyataan? Dan apa yang dianggap suatu bualan, pada saatnya akan menjadi kenyataan?

Aneh bukan?

Dalam kisah itu diceritakan bahwa para pahlawan berhasil membunuh raja iblis serta memusnahkan ras iblis.

Sangat hyperbolis sekali kan?

Tapi tidak bagi para Elf yang memiliki umur yang panjang. Dan diantara mereka masih ada prajurit yang masih hidup setelah perang tersebut. Mereka meyakini bahwa sang raja iblis itu tidak mati dan ramalan itu benar adanya. Mereka pun mulai mempersiapkan diri untuk menyambut ramalan itu.

Begitulah, mereka tidak tahu bahwa ras terkutuk itu sedang tertawa kegirangan mengetahui tiga ras utama saling mencurigai.

Waktu terus berlalu setelah Guandhor mengangkat Arthur sebagai anaknya. Walaupun pada awal dirinya mengasuh bayi Arthur sangat kesusahan, namun pada akhirnya dia dapat mengasuh dengan baik.

Suatu hari, terlihat Guandhor sedang membelah beberapa kayu berukuran lumayan menjadi kecil untuk bisa digunakan dalam perapian di tungku.

Meski dia terlihat masih berusia dua puluh tahunan, sebenarnya usia dia kisaran umur tiga puluhan . Mungkin karena dirinya seorang penyihir dia masih terlihat muda di usianya.

Tunggu dulu, penyihir?

Di dunia ini di antara ras utama ada sosok yang memiliki kekuatan magis, sosok itulah yang disebut penyihir.

Para penyihir dapat menciptakan sesuatu yang mustahil dipercayai oleh logika tidak begitu saja. Karena mereka meliki kekuatan yang disebut Aether mereka dapat menciptakan sesuatu yang mustahil dipercayai oleh logika.

Walupun umur Guandhor kisaran tiga puluh tahunan, dia masih memiliki semangat masa muda yang besar. Buktinya dapat dilihat dari jumlah kayu yang sudah dibelah dan dibiarkan berantakkan tak tersusun.

Awan berwarna putih bersih bak kapas melayang di langit yang cerah bagai tiada beban. Meskipun cuacanya sedang cerah, Guandhor tidak merasakan lelah sedikitpun walaupun dirinya bercucuran keringat.

"Ah, ternyata ini cukup melelahkan, bahkan untuk pria sepertiku. Walaupun aku terlihat masih muda sih."

Selepas Guandhor bermonolog, pintu rumah yang sebelumnya tertutup kini terbuka sambil memperdengarkan suara engselnya yang saling bergesekan.

Dan ketika pintu itu terbuka sepenuhnya, terlihat figur seorang anak remaja berusia sekitar pertengahan tiga belas tahun yang memiliki rambut hitam sebahu dengan mata hitam menawan.

Dengan berjalan perlahan, dia membawa secangkir teh hangat dengan aroma menyeruak bermaksud memberikannya kepada Guandhor yang sedang membelah kayu.

Kulit putihnya, terlihat kusam yang disebabkan kayu arang yang ia buang sesudah menumpuk di perapian. Cuaca di bulan ini memang sangat cerah, dengan senyum kecil di wajahnya dia berjalan mendekati Guandhor.

"Oy pak tua, ini tehnya sudah kubuat. Minumlah, kau terlihat kelelahan."

Pemuda itu menghampiri Guandhor yang ia panggil pak tua. Bersamaan dengan meletakan nampan kayu berisi cangkir teh di tepian, dia ikut duduk dan sesekali menyusun rapi potongan kayu yang telah terpotong.

"Haha, candaan mu boleh juga Arthur, dan sopanlah sedikit kepadaku."

"Terserah kau saja." balas acuh dari Arthur.

Arthur, anak yang dulu dipungutnya ketika masih bayi yang dihanyutkan di sungai.Menoleh kearah langit yang cerah membuat dirinya teringat sesuatu.

"Oh ya, aku baru ingat. Kau pernah mengatakan kalau aku ditemukan oleh mu terhanyut di sungai. Apa itu benar?" tanya Arthur dengan nada penasaran.

Sedangkan Guandhor yang diberi pertanyaan seperti itu memberikan senyuman kearah Arthur.

"Di usia mu yang sekarang sepertinya aku akan menceritakannya padamu." ungkap Guandhor.

"Jadi memang benar ya, baiklah ceritakan kepadaku semuanya. Tanpa terkecuali." Kata Arthur dengan nada serius.

"Jadi, dimulai dari saat pertama kali ku menemukanmu...."

Tak terasa hampir tengah hari Guandhor bercerita tentang bagaimana dia menemukan Arthur yang hanyut di sungai. Selama itu pula dia mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Guandhor kepadanya agar tidak ada bagian yang terlewat.

"Jadi, Seperti itukah kejadiannya." ucap Arthur sambil menghela napas.

"Ya, memang seperti itu adanya."

Mencerna apa yang diceritakan Guandhor kepadanya, dia memikirkan spekulasi apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya sampai tega menghanyutkannya ke sungai.

"Oy, Guandhor."

"Ada apa?" sahutnya sambil membelah membelah kayu.

"Apa kau tahu siapa kedua orang tua ku?" tanya Arthur dengan nada serius.

"Entahlah, atas dasar apa kau bertanya itu?"

"Kau tadi menceritakan bahwa kau menemukanku hanyut di sungai lalu mengurusku. Dan di sini permasalahannya, untuk apa kau menyelamatkanku dan mengurusku hingga sekarang kalau kau tidak tahu latar belakang diriku ini?" tanya Arthur kembali.

'Pertanyaan yang cukup tajam. Kritis juga otak mu.' gumam Guandhor dalam hatinya. Dia cukup tertarik atas apa yang ditanyakan Arthur kepada dirinya.

"Sekarang giliranku yang bertanya, apakah harus ada alasan untuk menyelamatkan nyawa seseorang?" tanya Guandhor tidak kalah serius.

"Dalam kasus tertentu menolong seseorang tidak perlu alasan. Tapi setelah bertahun - tahun hidup bersamamu aku sudah tahu bagaimana sifatmu. Kau tidak akan melakukan sesuatu yang tidak berguna untuk dirimu. Ada motif apa dibalik semua itu?"

'Pertanyaan yang cukup rumit.'

"Tidak ada motif apapun. Aku hanya kasihan terhadap seorang bayi terlantar yang hanyut di sungai." argumen dari Guandhor.

"Argumen yang cukup meyakinkan. Selanjutnya, dalam cerita tadi aku dihanyutkan di dalam keranjang bersama sebuah pedang. Bolehkah aku melihat pedang itu?"

'Apakah tidak apa - apa? Apakah sudah waktunya?'

"Baiklah tunggu sebentar."

Setelah menyetujui keinginan Arthur, Guandhor lalu masuk ke dalam rumahnya untuk mencari pedang itu. Sebenarnya dirinya agak - agak lupa dimana dia menyimpan pedang tersebut.

Sambil menunggu Guandhor mencari pedang itu, dirinya bersiul - bersiul tidak jelas untuk menghilangkan rasa bosannya.

Sesekali dia menggiringkan domba - domba yang digembalanya ke tempat - tempat yang subur akan rumput.

Satu jam kemudian barulah Guandhor keluar dari dalam rumahnya sambil membawa sebuah pedang. Pedang dengan sarungnya berwarna hitam legam yang menunjukkan keagungannya.

"Inilah pedang itu, apa yang akan kau lakukan terhadap pedang itu?" tanya Guandhor sambil menyerahkan pedang itu.

Sebenarnya dia belum bisa menemukan apakah ada motif terselubung dalam keinginannya tersebut. Entah apakah itu sepertinya bukan sesuatu yang buruk.

Dicabutnya pedang tersebut dari sarungnya. Pedang dengan bilah yang mengkilap seolah - olah terbuat dari perhiasan yang tidak ada tandingan akan kecantikannya.

Dengan ketajaman yang terasah sempurna yang akan memotong apa saja yang menghalangi penggunanya.

"Sangat indah. Lalu apa nama pedang ini?" tanya Arthur dengan wajah yang menunjukkan kekagumannya yang tidak dapat disembunyikan.

"Kau tahu Arthur, pernahkah kau mendengar 'sesuatu yang harus kau cari tahu sendiri'?" tanya Guandhor sambil tersenyum ke arah Arthur.

"Jadi maksudmu, aku harus mencari tahu sendiri nama pedang ini?" tanya Arthur penasaran.

Entahlah, kenapa dia sangat penasaran dengan nama pedang yang ada di tangannya tersebut. Dan juga dia merasa aneh kepada Guandhor seolah - olah kalau dia mengetahui nama pedang tersebut, dia akan menemukan sesuatu yang besar.

"Yah, seperti itulah. Ada lagi yang ingin engkau tanyakan?"

"Kau tahu Guandhor, apa alasan orang tuaku menghanyutkanku di sungai? Lalu kenapa hanya pedang ini saja yang disertakan bersamaku dalam keranjang itu?"

Dia sangat sangat heran dalam peristiwa ini, alasan kuat apakah untuk kedua orang tuanya menghanyutkan dia kesungai? Apakah dia anak yang tidak dinginkan? Atau ada sesuatu yang lain?

"Kau tahu Arthur, setiap orang tua pasti menyayangi anak mereka. Tak peduli anak mereka sehat maupun sakit, waras maupun gila. Lalu alasan apakah orang tuamu menghanyutkanmu di sungai, mungkin saja untuk kebaikanmu." jawab Guandhor dengan hati - hati agar tidak salah menjawab.

"Dan untuk jawaban pertanyaan kedua mu, sepertinya untuk menjadi petunjuk siapakah kedua orang tuamu ini."

Mendengar jawaban tersebut, meghasilkan spekulasi - spekulasi lain di dalam pikiran Arthur. Mengapa harus pedang? Bukankah lebih mudah untuk menitipkan surat pada keranjangnya? Lalu masalah nama....

"Guandhor, ada satu pertanyaan lagi. Kenapa aku diberi nama Arthur? Pemberianmu atau pemberian orang tuaku"

Dia baru ingat, siapakah pemberi nama untuknya? Orang tuanya atau Guandhor? Lalu kenapa diberi nama Asekarang "Nama ya, namamu itu pemberian dari orang tuamu. Orang tuamu menuliskan namamu di secarik kertas yang disimpan ke dalam keranjang bersamamu."

Walaupun sekedar nama, Arthur sangat ingin tahu pemberian siapa nama tersebut. Sekarang dia tahu bahwa nama tersebut pemberian dari orang tuanya. Karena nama merupakan identitas paling penting bagi setiap orang, dia tidak ingin namanya pemberian dari orang lain selain orang tuanya.

Setelah apa yang dia tanyakan kepada Guandhor telah menemukan jawaban, terbesit sebuah keinginan dalam benaknya.

Di umurnya yang sekarang kisaran tiga belas tahun bukanlah hal aneh dia memiliki suatu keinginan. Arthur juga anak normal yang memiliki keinginan untuk diwujudkan.

"Ghuandhor, apakah kau bisa seni berpedang?"

Entah alasan apa Arthur menanyakan hal tersebut. Mungkin dia ingin belajar tentang seni berpedang.

"Apa kau bodoh? Kau kira aku bertahan hidup di hutan ini hanya bermodalkan keberanian saja?"

Pertanyaan yang sangat logis dari Guandhor ini sangat menyindir bagi Arthur. Karena bagaimanapun, alam khususnya hutan adalah tempat yang keras. Dengan hukum 'menindas atau ditindas, memangsa atau dimangsa' kekuatan adalah nomor satu.

Logikanya sekarang engkau ingin mengikuti petarungan gladiator. Tanpa kemampuan dan keahlian, hanya bermodalkan keberanian dan tekad saja. Apa yang akan terjadi? Sudah pasti kau akan menjadi korban pertama yang melayang nyawanya. Dengan kata lain, Mati Konyol.

Walaupun dirinya hanya ingin menanyakan sesuatu yang ada dalam benaknya, Arthur tidak pernah terpikirkan akan mendapatkan balasan berupa sindiran keras dari Guandhor.

"Aku hanya bertanya saja, salahkah bila aku bertanya?"

"Tidak ada yang salah dalam bertanya, ingat peribahasa 'malu bertanya sesat di jalan'. Tapi sebelum bertanya pikirkan terlebih dahulu pertanyaan yang akan kau lontarkan kepada orang lain bodoh."

Arthur sadar bahwa pertanyaan sebelumnya sangat konyol. Hidup di tempat yang keras tanpa persiapan hanya bermodal keberanian hanya membuang nyawa sia - sia.

"Kalau begitu, apa kau bisa mengajarkanku seni berpedang?"

Walupun dia saat ini hidup dengan tenang tanpa beban dan tanpa masalah, tidak menutup kemungkinan dirinya suatu saat akan meninggalkan tempat ini.

"Sebelum itu aku ingin bertqnya kepadamu Arthur, menurut pandanganmu pedang itu apa?"

Pertanyaan yang simpel namun memiliki jawaban yang berbeda menurut sudut pandang lain. Arthur sedang berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan dari Guandhor tersebut dengan jawaban yang sesuai.

"Pedang menurutku, tidak tetapi seluruh senjata yang ada dibuat untuk melindungi penggunanya dari berbagai bahaya yang mengancam."

Jawaban dari Arthur tersebut membuat Guandhor menyeringai tipis bahkan Arthur pun tidak menyadari seringaian tersebut.

"Jawaban yang menarik, selanjutnya yang terkahir apa kau tahu tentang prinsip seorang kesatria?"

Pertanyaan ini sangat sulit bagi Arthur untuk menjawabnya. Dia harus mengetahui maksud dari pertanyaan tersebut. Apa itu prinsip? Dan apa itu kesatria? Itulah maksud inti dari pertanyaan ini. Setelah tahu arti dua kata itu maka dia akan tahu apa arti dari pertanyaan Guandhor.

"Itu....."

Guandhor mengetahui bahwa Arthur sangat kesulitan menjawab pertanyaan dari dirinya. Karena dia tahu bahwa sesuatu tersebut harus diterapkannya dalam kehidupan ini.

"Sepertinya kau belum siap. Dari pada itu bagimana kalau kau menjual bulu domba ini ke kota?"

Dengan menghela nafas, dirinya menyuruh Arthur untuk pergi ke kota dan menjual bulu domba mereka. Guandhor tidak lupa untuk mengajarkan kepada Arthur tentang pelajaran umum seperti mata uang, kerajaan - kerajaan yang ada, dan lain sebagainya.

Untuk mata uang di Ethernal World nilai paling kecil adalah perunggu dan paling besar adalam emas. Satu koin emas setara dengan seratus koin perak dan satu koin perak setara dengan seratus koin perunggu.

Rata - rata biaya hidup per orang di Ethernal World adalah sekitar dua puluh perak per bulannya. Biaya bahan pangan di Ethernal World rata - rata kisaran 10 perak dalam satu bulan dan sepuluh perak lainnya untuk memnuhu kebutuhan lainnya.

"Oy Guandhor, bukannya sekarang bagianmu untuk menjual bulu domba ke kota hah?!" dengan sebal Arthur membalas perkataan Guandhor.

Mendengar balasan dari Arthur, Guandhor terkekeh pelan.

"Ini juga untuk pelajaran bagimu. Kita ini makhluk sosial, kita juga harus berinteraksi dengan orang lain."

Bukan tanpa maksud Guandhor berbicara seperti itu. Apabila kita menutup diri dari dunia luar, apakah kita akan mendapat pasangan untuk meneruskan keturunan? Lalu kalau kita meninggal dan tidak ada kenalan kita siapa yang akan memakamkan mayat kita?

"Tapi aku lebih suka sepi dan ketenangan, tanpa ada yang mengganggu diriku ini."

Mendengar balasan Arthur tersebut, Guandhor menghela nafas karena kekeras kepalaan Arthur.

"Ingat Arthur. Ada orang yang lebih suka sendiri, tapi dia pasti takan mampu bertahan dari kesepian."

Nasihat dari Guandhor ini sangat berharga. Kenapa? Walupun sebagian orang merasa lebih nyaman ketika mereka sendiri, tapi tetap saja mereka tidak mampu bertahan dari rasa kesepian.

"Baiklah aku akan berangkat, lalu mana bulu domba yang akan dijual itu?"

Setelah mendapat nasihat dari Guandhor, dirinya sadar bagaimanapun kesepian itu sangat sakit. Walaupun tidak ada luka dalam fisik, tetapi luka di hati sangat susah bahkan mustahil untuk sembuh.

"Lebih baik kau membersihkan diri terlebih dahulu, aku akan mempersiapkannya selagi kau membersihkan diri."

Tak perlu di perintah ulang, Arthur pergi menuju sungai untuk membersihkan dirinya. Lima menit berselang dirinya telah selesai membersihkan diri. Mengenakan atasan berupa baju kemeja lengan pendek dan celana kain panjang berwarna hitam dengan alas kaki berupa bot berwarna coklat, begitulah pakaian yang dia kenakan. Dengan rambut dibiarkan acak dirinya terlihat seperti seorang yang akan menuju pemakaman dengan pakaian itu.

"Aku sudah selesai, mana bulu dombanya?!"Dengan berteriak dia meminta bulu domba yang akan di jualnya kepasar di kota.

Tak perlu waktu lama untuk Guandhor menyiapkan bulu domba yang akan di jual oleh Arthur.

"Ini, semoga terjual semua." Guandhor menyerahkan karung kecil berisi bulu domba kepada Arthur.

Dengan menaiki kuda yang dipelihara oleh mereka Arthur siap - siap untuk pergi ke kota.

"Aku pergi dulu." ucap Arthur lalu memacu kudanya untuk berjalan.

"Hati-hati Arthur, ingat pesanku seperti biasanya!" tukas Guandhor dengan cukup nyaring dikarenakan kuda yang dinaiki oleh Arthur kini mulai berlari kencang menjauh dari kediaman mereka.

                                                                     

Di suatu tempat yang gelap terlihat siluet orang sedang duduk di kursi kebesarannya. Dirinya seolah sedang menunggu seseorang yang akan bertemu dengannya.

Tak berselang lama muncul seseorang dari balik bayangan sepertinya untuk melapor kepadanya.

"Hormat dari saya, kami telah menyelidiki dan terus mencari tetapi tidak menemukan bukti satupun."

Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya itu merupakan sesuatu yang besar yang telah dilupakan.

"Lanjutkan pencariannya."

"Baik, saya permisi."

Setelah perginya si penyampai pesan, sosok tersebut berdiri dari tempat duduknya lalu menengadah ke langit - langit.

"Dimanakah kau 'Anak dalam Ramalan'?"

Sepertinya sosok tersebut adalah dalang dibalik persitiwa tiga belas tahun yang lalu.

Dadu telah dilempar

Perjudian roda takdir telah dimulai

Sang pembawa cahaya yang ditakdirkan

Akankah berhasil dalam tujuannya?