NAREN
Aku gusar, panggilanku sudah kesekian kalinya tidak diangkat Kanya. Wanita itu kemana? Entah sudah berapa puluhan kali aku membombardirnya dengan pesan WA. Tapi satu pun tidak ada yang dia read.
Aku mengusap wajah lelah, kesal, dan jengkel. Kemarin dia masih baik-baik saja. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan kalau dia marah atau sedang ada masalah.
Pukul sepuluh malam, aku mendatangi rumah kontrakannya. Lampu di dalamnya padam, hanya lampu luar yang menyala. Aku mengetok pintunya beberapa kali, tidak ada jawaban. Kemana sebenernya dia? Tak hanya sampai di sini. Aku mencoba terus menghubunginya. Masih tersambung. Tapi sama sekali tidak diangkat.
Pikiranku mulai kacau. Mencoba mengingat kesalahan apa yang sudah aku perbuat. Tapi saat aku tidak menemukan alasan yang pas, aku menggeleng putus asa.
"Gula Jawaku, kamu di mana?"
***
Orang yang pertama aku temui adalah Nadine. Dia pasti tahu dimana kantor tempat Kanya bekerja. Sebenarnya, ada satu orang yang aku yakini, tahu keberadaan Kanya. Tapi, aku tidak memiliki akses untuk menghubunginya. Kenan, laki-laki itu pasti tahu dimana Kanya.
"Kenapa muka kamu kusut begitu? Ada masalah?" tanya Nadine sesaat setelah aku menghempaskan tubuhku di sofa ruangannya.
"Kanya menghilang."
Wanita itu menaikkan sebelah alisnya. Melihat muka seriusku, dia menutup map yang ada di tangannya.
"Menghilang bagaimana? Tiga hari lalu bahkan aku bertemu dia, membahas soal kerjaan."
"Nah itu. Dimana dia bekerja?Alamat kantornya?"
"Dia bekerja di sebuah Firma, Ti Art Desaign. Kantornya ada di Sudirman. Sebenarnya ada apa, Naren?"
"Entahlah, tiba-tiba dia sulit dihubungi. Panggilanku nggak diangkat, sekarang ponselnya malah nggak aktif. Pesanku pun nggak ada yang dia baca. Saat aku ke rumahnya nggak ada siapa-siapa. Aku bingung, kemana dia menghilang."
Nadine menganggukan kepalanya. "Apa mungkin dia pulang ke Jakarta?"
"Aku nggak tau juga. Tapi, waktu itu dia pernah berencana untuk liburan. Apa mungkin dia sedang pergi liburan? Tapi sepertinya mustahil kalo dia pergi liburan begitu saja tanpa aku tau."
"Ka-mu, membuat kesalahan lagi?"
"Itu yang nggak aku mengerti. Sebelum itu, kami baik-baik saja."
"Ya sudah, akan aku bantu kamu mencarinya."
Aku membiarkan Nadine, menghubungi kantor tempat Kanya bekerja. Dia sering bekerjasama dengan Ti Art, mudah baginya untuk mendapat informasi mengenai keberadaan Kanya.
"Apa kata mereka?" tanyaku segera begitu Nadine mengakhiri teleponnya.
"Mereka bilang, Kanya cuti. Mungkin kamu benar. Dia sedang berlibur."
"Apa mereka tau Kanya kemana?"
"Sayangnya, enggak."
Aku menyandarkan tubuhku ke punggung sofa. Lagi-lagi aku dibuat gila seperti ini. Rasanya lelah, teramat lelah. Apa mungkin Kanya sengaja menjauhiku lagi? Aku meremas rambut frustrasi. Ingat, keputusasaannya setelah bertemu papa waktu itu. Dan aku lupa, kalau dia adalah wanita yang keras kepala.
Kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku. Aku menoleh dan mendapati Nadine sudah duduk di sampingku. Dia meraihku dalam pelukannya.
"Selalu ada tempat kembali untuk kamu, jika kamu merasa lelah."
Untuk sepersekian detik aku merasa nyaman bersandar di pundak Nadine. Tapi kemudian, aku sadar ini salah. Aku menarik diriku segera. Aku tidak ingin memberinya banyak harapan.
Aku segera berdiri. "Aku harus pergi mencari Kanya."
Ada sedikit raut kecewa dari wajah Nadine. Dia membuang muka. Tidak mau berlama-lama di sini, aku segera beranjak. Namun baru satu langkah aku berjalan, sebuah tangan memelukku dari belakang. Refleks langkahku terhenti. Nadine memeluk punggungku, tangannya melingkari perutku sangat erat.
"Na-nadine... "
"Biarkan seperti ini. Aku mohon..."
Aku terdiam. Terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Wanita ini begitu tulus mencintaiku, namun aku menyia-nyiakannya. Mungkin inilah balasan yang Tuhan beri untukku. Karena terlalu banyak menyakiti hati orang, diriku sendiri juga tersakiti. Setimpal bukan?
Aku menengadahkan kepala, menghela napas dalam-dalam. Aku bisa merasakan kemejaku basah. Nadine menangis. Ya Tuhan..., aku semakin merasa bersalah.
Kuraih tangan Nadine, lalu berbalik ke arahnya dan memeluk wanita itu. Aku memang menyayanginya. Tapi hanya sebatas teman saja. Sejuta kali aku paksakan, tetap itu sulit bagiku untuk memiliki perasaan lebih terhadapnya.
Kanya, benar. Nadine wanita yang cantik dan pintar. Tidak sulit bagi laki-laki untuk bisa mencintainya. Tapi tidak untukku. Aku memang ingin melupakan Kanya. Namun saat dia hadir lagi, perasaanku untuknya membuncah kembali.
"Apa tidak ada, apa tidak ada sedikit pun perasaan yang tersisa untukku, Naren?" tanya Nadine pelan. Mataku memejam mendengarnya.
"Maaf." Hanya kata itu yang bisa aku keluarkan.
"Apa yang dia punya, yang nggak ada dalam diriku, Naren? Kenapa kamu begitu sangat mencintainya. Apa yang sudah dia lakukan padamu?"
Kanya tidak melakukan apapun. Bahkan aku sendiri tidak tahu, apa yang bisa membuatku jungkir balik mengejar Kanya. Yang aku tahu, aku begitu sangat mencintainya. Mencintai semua yang ada pada diri wanita itu.
Aku melepas pelukan Nadine. "Maaf, aku harus pergi."
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku keluar dari ruangan itu. Kalaulah kalian menganggap aku tidak punya perasaan. Jawabannya punya. Hanya sudah terlanjur aku berikan pada Kanya semuanya.
***
Sebelum kembali ke hotel, aku sempatkan kembali ke rumah kontrakan Kanya, menemui pemiliknya. Satu fakta lagi yang aku dapat adalah, Kanya pindah dari rumah itu. Sial!
"Aarggh!" aku memukul kesal kemudi di hadapanku.
"Sebenarnya kamu dimana?! Aku berbuat salah apa lagi?!"
Aku memang menyedihkan. Laki-laki tolol yang terus saja mengharapkan cinta seseorang yang mungkin saja sudah tidak peduli lagi. Kujatuhkan kepala di atas kemudi. Jika memang Kanya pergi lagi dariku karena menganggap dia tidak diterima Papa, kenapa dia tidak mau berjuang bersamaku mempertahankan semuanya? Sebegitu tidak berartinyakah aku baginya?
Dengan perasaan yang teramat lelah, aku kembali ke hotel. Sesampainya di sana, aku menemukan Arsen. Anak itu sedang apa di sini? Kemarin Papa, sekarang dia.
"Ini beneran lo, Kak?" itu yang meluncur pertama kali dari mulut Arsen begitu melihatku. Aku tidak peduli dan terus melangkah menuju lift. Arsen mengekoriku.
"Kak, lo sakit?"
Pintu lift terbuka, aku masuk diikuti Arsen. "Kapan lo sampai?"
"Sekitar 30 menit yang lalu."
"Kalo lo ke sini berniat ngajak gue pulang, itu masih gue pertimbangkan."
Arsen tertawa. Aku sudah bisa menebak sih. Setelah Papa gagal, beliau pasti mengirim Arsen.
"Jadi, apa yang bikin lo betah di sini?"
Aku sebenarnya tidak mood bicara. Tapi anak ini akan terus nyerocos jika pertanyaannya tidak aku jawab.
"Aku bertemu Kanya di sini."
"Maksud lo, Mbak Kanya mantan lo yang bikin lo gagal lulus master di tahun kedua?"
Hah! Dia pikir siapa lagi? Memang perlu harus diperjelas seperti itu? Dia sudah membuatku terlihat seperti laki-laki bucin yang lemah saja.
Pintu lift terbuka, Arsen menjajari langkahku.
"Terus Mbak Kanyanya mana? Kalian balikan lagi?"
"Sebenarnya iya, " jawabku seraya men-tap keycard ke pintu kamarku. "Masuk."
Aku mengambil dua botol minuman mineral dan menyerahkan satu untuk Arsen. Kami sekarang duduk berhadapan di sofa.
"Jadi, kenapa lo berantakan kayak gini? Harusnya lo bahagia dong. Bertemu dia lagi."
Aku menghela napas sebelum meneguk minumanku. Mungkin Arsen akan tertawa mendengarnya. "Kanya menghilang lagi, dia ninggalin gue tanpa kabar lagi."
Diluar dugaan, Arsen memicing dengan tampang serius. Kupikir dia akan menertawakan kepayahanku.
"Lo bikin kesalahan bodoh apa lagi?"
Aku mengedik. Memang tidak ada yang bisa aku jawab, karena tidak tahu.
"Mungkin dia memang nggak cinta gue, dan sudah menemukan cinta yang lain. Bisa jadi 'kan?"
Arsen mengusap dagunya. "Tapi kalian sudah balikan kan?"
Aku menunduk, "bahkan kami sudah hampir melakukannya malam itu..."
"Apa? Dan lo masih meragukan Mbak Kanya?"
"Dia yang ninggalin gue lagi asal lo tau, Arsen."
Arsen berdecak. "Lo tau, saat lo mau berangkat ke Cambridge dia ada di bandara buat bertemu lo."
"Egonya terlalu tinggi buat sekadar ngantar gue ke bandara."
"Kak, itu nggak bener. Gue bareng dia di sana waktu itu."
Aku mengernyit. Apa maksud anak ini?
"Iya, Mbak Kanya ada di sana. Dia bareng gue. Tapi saat dia lihat lo sama cewek siapa itu sih namanya... Alia? Alesha? Oh bukan, Alisya. Iya, Mbak Kanya lihat kalian saling berpegangan tangan dan dia pergi lagi dengan wajah kecewa."
"Shit! Kenapa lo nggak bilang?!"
"Mbak Kanya nglarang gue bilang ke lo, kalo dia datang."
"Aaaarrrrgh... Dia pasti terus berpikir gue penghianat."
"Jadi, kesalahan lo kali ini apa yang bikin dia pergi?"
Aku memandang Arsen kesal. Dia mengangkat sudut bibirnya, meremehkanku. Seolah aku yang menjadi biang masalah di sini.
PS. kuy ah sumbang power stone, komen, dan review. Jangan lupa koleksi ceritanya ya gaes...
Happy day.