webnovel

Kekacauan

Inilah kejadiannya jika seorang teknisi mesin pesawat terbang dibiarkan mengambil cuti selama seminggu penuh dengan alasan stress. Orang itu mencabut kabel telepon dan menukar kartu sim telepon genggam setelah sehari sebelumnya ia meminta untuk tidak dihubungi siapapun.

Ya, ruang tengah di rumahnya yang telah disulap menjadi taman kegilaan. Pemutar music piringan hitam, video kaset, televise, computer, pemanggang roti dan sebuah kulkas. Semuanya bertengger di hadapan sebuah sofa yang diduduki oleh pemiliknya. Akan disetel bergantian atau bahkan bersamaan jika diperlukan.

Charaf, demikian teknisi itu biasa dipanggil orang, yang beberapa hari ini mengeluh menderita sindroma tak ingin berbuat apa-apa. Pikirannya melayang dan jiwanya kurang bisa tenang setiap kali bayangan-bayangan dalam kepalanya itu muncul terutama ketika sedang tidak mengingat Tuhan. Meski tertawa menyaksikan acara televise, bernyanyi mengikuti melodi lagu-lagu dari piringan hitam yang diputar makan di sebuah restoran fast food yang tak jauh dari rumahnya, tetap saja ia sering merasa gusar.

Kalau ada hal yang menurutnya mungkin dapat membuat dirinya merasa lebih baik, adalah terbang ke suatu tempat dimana seseorang bernama Charo bersemayam di sana. Jika ia bisa memaki-maki orang itu, berteriak-teriak padanya tentang segala kekesalannya selama ini. Sayangnya, ia sama sekali tidak tahu posisi itu. Terakhir yang ia dengar mengenai orang ini adalah saat mereka masih bersama-sama menyukseskan sebuah manuskrip simfonia drama untuk pertujukkan akhir sekolah. Saat itu mereka punya sedikit keinginan untuk menjadi separuh seniman meski keduanya telah mulai belajar ilmu pada bidang yang mereka minati masing-masing.

Kisah mereka telah dimulai sejak menggeluti dunia sekolah menengah biasa. Diawali perjumpaan yang kurang menyenangkan. Pada waktu itu duduk sebangku bersama merupakan hal paling menyiksa di seluruh jagad raya. Saat bertatap muka bagai disambar halilintar. Satu dan yang lain ingin sekali saling mencakar tampaknya. Tinju selalu mengepal, nyaris mengenai wajah. Pagi hari merupakan saat-saat paling mengerikan diakhiri dengan perasaan lega terbebas dari penderitaan sesaat usai sekolah.

Charaf. Jenius pinggiran soal isi majalah automotif yang payah menghadapi sedikit kecanggihan komputer, ilmu hitungan, tak menguasai ilmu alam maupun social. Pelajaran bahasa pun hasil-hasil ujiannya tak pernah memuaskan. Seni melukis dan berpuisinya indah. Lumayan atletis dan tampak tangguh, ternyata rapuh terhadap seekor kuman. Walau begitu diam-diam banyak gadis yang menaruh hati padanya.

Yang satu lagi adalah Charo. Pemuda ini senang melukis, terutama melukis hal yang tak masuk akal. Peminat ilmu alam dan sains yang hasil ujiannya selalu menengah ke bawah. Tatapannya sering kosong. Banyak yang bilang ia tak punya jiwa. Suka seenaknya, cukup pandai dalam syair bahasa. Jika terdapat suatu lelucon, dialah orang yang paling akhir tertawa.

Maka pertemuan itu adalah takdir yang membuat mata mereka terbuka lebar-lebar. Adalah awal musim gugur di sebuah negara empat musim entah di belahan dunia yang mana. Hari itu tepatnya tanggal 28 Agustus, pagi hari suram.

Charaf dan Charo dipertemukan nasib dalam suatu bangku di depan. Mereka berdua merasa tidak nyaman berada di bangku eksekutif tempat para jenius biasa memposisikan diri di sana. Mereka sebelumnya menghuni kursi-kursi paling belakang, terutama dekat sudut-sudut kelas. Charaf yang biasanya mencuri waktu dengan teman sebangkunya untuk mengobrol soal jenis-jenis pesawat tempur dan model persenjataan terbaru, mendadak sering gusar dan lebih pendiam. Charo yang senang melamun dan menyoret-coret kertas apa saja entah apa maksudnya, seketika menjadi anak yang galak. Sikap-sikap itu sangat khusus ditujukan untuk teman sebangku mereka.

"Coretan apa? Tidak berguna. Anak angkuh bulukan. Pas sekali dijadikan orang-orangan sawah konyol."

Rupanya Charaf sedang mencela Charo. Matanya terkesan meremehkan. Dibalasnya tatapan permusuhan itu.

"Tukang tipu. Luarnya digosok mengkilap dalamnya busuk. Hanya sedikit tampan otaknya buntu." desis Charo membuat darahnya bergejolak.

"Kau kira kau pintar, huh!?" bentak Charaf seketika terbakar darahnya.

"Setidaknya masih waras daripada kau!" gertak Charo membalas.

"Dua-duanya lupa diri dan kerasukan setan! Apa yang kalian lakukan saat kelas sedang berlangsung. Kerjakan soal di depan itu kalau kalian merasa kelewat pandai!"

Guru itu bisa bersuara jauh lebih keras dari yang mereka bayangkan. Setelah beberapa detik terkejut, murid-murid terkekeh menonton dua orang itu memandangi saja papan tulis bertuliskan rumus-rumus hitungan yang belum terselesaikan.

"Mengapa diam? Jangan menghemat kapur. Ada tiga kotak penuh di laci mejaku ini."

Anak-anak lain riuh menertawakan mereka. Selama hampir dua puluh menit mereka berdiri seperti itu. memang hitungannya berlanjut tetapi hasilnya sama sekali tak nyambung dengan pertanyaannya. Sejak kapan E= m.v.r.

Pada akhirnya dua anak itu memang sama-sama tidak bisa mengerjakan lalu kembali duduk dengan kesal karena dimarahi pun dicela oleh guru. Tampaknya emosi Charo terbakar. Matanya tak terlihat kosong lagi. Charaf pun menantangnya untuk berkelahi seusai sekolah. Memang benar mereka menunggu saat pulang sekolah. Di belakang sebuah gedung tua jauh dari sekolah, tempat yang sudah lama ditinggalkan orang. Segera saja tinju dan hujan tendangan dilayangkan. Hinaan-hinaan dan makian tersembur keluar begitu saja dari mulut mereka. Berkelahi habis-habisan sampai kelelahan dan akhirnya lemas terkulai.

Charaf merasa sangat puas dapat membuat lawan duelnya itu babak belur walau pun dia sendiri sama parah keadaannya dengan Charo. Mereka tertawa-tawa sambil meringis-ringis, mengerang, merintih kesakitan seraya menyeret kaki mereka melewati aspal yang kasar di malam hari. Saling dorong, saling ejek lalu tertawa hingga mereka menjumpai rumah masing-masing. Pagi harinya memang mengejutkan dimana anak-anak perempuan menjerit saat mereka muncul di kelas dengan tampang tidak karuan. Masalah, guru membawa mereka ke ruang bimbingan dan menginterogasi. Namun kedua anak itu bebas setelah mengatakan bahwa mereka dijambret orang.

Anak-anak terdiam seketika saat Charaf dan Charo kembali duduk di kursi mereka. Tanpa peduli apa-apa lagi mereka segera membuka halaman buku ilmu alam yang sedang dibahas oleh seorang guru pria. Sungguh mengherankan sekali bagi semua orang yang melihatnya. Dua makhluk babak belur itu memperhatikan pelajaran dengan seksama bahkan sesekali mereka berdiskusi mengenai hal yang membingungkan mereka. Anehnya pemandangan seperti itu terus berlangsung pada hari-hari berikutnya. Mengerikan sekali melihat dua orang yang masih tampak memar-memar di wajah dan tubuh mereka tampak beringas berlomba menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru.

Suatu saat pada jam makan siang mereka menempati meja yang sama.

"Maskapai penerbangan O'brive telah menukar system VOR mereka."

"Ya. Sudah dengar? Kabarnya akan di datangkan dari Vurican. Dalam kokpit dan badan pesawat di lengkapi control anti jet lag dan banyak teori mengenai hal itu. Aku bertanya-tanya bagaimana cara mereka melampaui tekanan tinggi sedangkan dalam batas itu jantung mereka bisa saja berhenti bahkan pada detik-detik selanjutnya."

"Ngawur, tekanan tinggi di atas toleransi hanya sering terjadi apa bila pesawat dengan kecepatan maksimal berakrobat atau menukik secara tiba-tiba. Tidak mungkin yang seperti itu diterapkan pada pesawat dengan kabin penumpang bervolume besar tetapi jet lag dapat terjadi pada siapa pun."

"Lagakmu seperti anak pandai padahal otak tak berbeda jauh dengan ikan."

"Enak saja."

Setelah saling mengejek mereka langsung mengobrol lagi. Kali ini soal embargo senjata yang sedang dilakukan oleh salah satu negara pemasok senjata terbesar di dunia.

Pada minggu-minggu berikutnya mereka mulai saling datang ke rumah satu sama lain. Belakangan Charaf baru tahu kalau Charo tinggal sendirian dalam kamar teratas sebuah apartemen tua kecil di sudut kota.

"Ibuku sudah meninggal sewaktu aku masih kecil. Aku juga sama sekali tak ingat wajahnya. Dulu aku tinggal di sini bersama Ayahku namun saat usiaku sepuluh tahun ia menitipkanku pada pemilik apartemen. Kabarnya dia menikah lagi. Kudengar dia juga meninggalkan sejumlah uang untuk orang itu."

Kamar Charo tidak sempit dan juga tidak terlalu luas. Jendela kacanya yang besar biasa menghadap matahari sore. Kamar itu akan segera bernuansa oranye. Dari atas sini pemandangan kota yang tak terlalu ramai terlihat jelas dan udaranya sejuk.

Charo sebetulnya adalah seorang yang rapi. Tidak begitu banyak barang yang dimilikinya. Koleksi yang dapat ditemukan hanyalah dua rak besar berbagai macam buku. Charo sering mendapatkan buku dari toko loak. Selain itu ada lima buah buku besar dengan banyak syair buatan anak itu.

"Yah, aku tidak membutuhkan buku yang sedikit mahal. Semuanya ada di perpustakaan."

"Kalau kau ingin membeli dari toko buku biasa?"

"Kubaca saja di tempat itu. terkadang aku memfotokopi milik orang lain."

"Apa yang kau lakukan di waktu lain?"

"Aku bekerja di pabrik minuman dan toko alat kesehatan. Toko alat kesehatan itu milik seorang dokter yang kaya raya. Banyak hal menarik yang aku dengar darinya tentang tubuh manusia. Ia juga pengamat politik dunia yang cemerlang menurutku."

Charaf juga terpana ketika kawannya memperlihatkan bertumpuk-tumpuk majalah tua mengenai pesawat-pesawat dan militer. Ia sama sekali tak menyangka Charo pun sebenarnya gandrung dengan pesawat hantu rancangan Savier Shan dari Westway seperempat abad yang lalu. Sewaktu giliran Charo datang pada Charaf, banyak sekali yang dapat di temukan. Charaf rupanya senang merakit mesin-mesin daur ulang. Tampaknya Charaf sering pergi ke tempat pembuangan mesin automotif dan barang-barang bekas."

"Dari sana aku banyak mendapatkan dynamo, mesin-mesin dari peralatan rumah tangga seperti kipas angin, suku cadang serta perangkat kendaraan sampai yang terkecil lain-lainnya. Sampai di sini biasanya aku segera memilih dari benda-benda itu. aku mengelompokkan semuanya menurut jenis dan fungsinya."

Dan hal itu memang benar. Charo melihat banyak sekali mobil mini dan miniature pesawat tempur rakitan sendiri dari mesin yang ada pada kipas angin.

"Aku menyukai cat semprot. Aku selalu menggunakannya untuk menghias badan mobil dan pesawat rakitan itu yang terbuat dari potongan panci alumunium somplak atau mainan plastic bekas. Dan aku hanya menggunakan solder atau perekat adesif untuk membentuk bagian-bagian yang bersintopi dengan badan pesawat lainnya."

"Ayahmu menyukai semua karya-karyamu ini?"

"Ya, dia selalu bilang bahwa dia menyukainya. Sesekali saja ia membantuku. Dia adalah seorang pendeta yang umatnya banyak dan tak punya banyak waktu untuk bermain-main. Tetapi dia adalah pemimpin koor gereja yang luar biasa. Orang-orang yang ia latih selalu berhasil menghadirkan melodi begitu yang bagusnya, sampai-sampai bulu kudukku meremang setiap kali mereka berpaduan suara."

Seharian itu agaknya terasa asyik bagi dua anak itu. Mereka bahkan sempat membuat sebuah rancangan pesawat baru. Disela-sela pekerjaan itu mereka mengobrol antusias tentang apa saja.

Waktu-waktu berlalu. Kehidupan mereka di sekolah berubah total. Charaf tiba-tiba saja sudah menjadi lebih tertarik dengan ilmu-ilmu alam. Ia makin mencintai mesin dan sangat pesat kemajuannya akan pemahaman ilmu fisika. Ia mulai mempelajari perhitungan mengenai efisiensi mesin, relativitas mesin dengan rumus-rumus dasar yang ada. Ia kini lebih menguasai mekanika dan tidak merakit mesin dengan otak telanjang. Ketika teori dasar dan keahlian merakit berpadu maka hasil yang didapatkan lebih mendekati sempurna. Ia juga berani mengimajinasikan mesin modern pesawat buatannya sendiri.

Dan Charo, ia tidak lagi berperan sebagai mayat hidup. Sikapnya kini jauh lebih luwes dan ia sedikit mengungguli Charaf dalam pelajaran-pelajaran itu walaupun ia juga tidak bisa dikatakan terlalu pintar dan belum memikirkan impian apa pun untuk masa depannya. Ia banyak bergaul, bergabung mendengarkan anak-anak lain yang sedang berdiskusi asyik. Ia kini menulis syair jika keinginan dan moodnya datang, membiarkan orang lain menikmati karya-karya yang dengan tegas bagai menyiratkan kejeniusannya dalam hal merangkai kata-kata yang mengagumkan untuk di dengar dan bermakna dalam. Karena itu kini ia lebih disukai walau sifat pendiamnya itu masih saja melekat erat pada dirinya. Tidak heran jika satu tahun kemudian ketika mereka akan lulus dari sekolah para guru mempertimbangkan dirinya untuk bergabung dalam kelompok kesenian yang akan menggelar pentas drama sekolah.

"Drama ini untuk pertunjukkan umum sebagai pagelaran akhir tahun ajaran dan yang terpenting, ketua panitia serikat drama nasional juga mengikutsertakan drama sekolah kita pada kompetisi drama nasional yang diadakan hingga setengah tahun ke depan. Anak-anak yang ingin tampil bisa menghubungi kepala teater sekolah. Mereka akan mengadakan seleksi. Teater sekolah telah mempertimbangkan sejumlah anak yang dinilai berbakat dan dapat mendukung kesuksesan pentas ini. Bagi anak-anak yang namanya termasuk dalam daftar dipersilakan untuk mengkonfirmasi atau memilih tidak ikut dengan memberikan pernyataan resmi tertulis." kata guru mengumumkan dan kemudian menempelkan daftarnya ke papan informasi.

Sebagian anak datang untuk melihatnya. Charaf dan Charo yang sedang memasukkan buku-buku mereka ke dalam tas memandang kearah kerumunan itu saat mendengar beberapa anak menyebut-nyebut nama mereka.

"Hei, ada apa?" seru Charaf penasaran melihat beberapa anak menatapnya lalu salah seorang dari mereka angkat bicara.

"Kalian termasuk dalam daftar ini."

"Heh?" gumam Charo heran.

"Yang benar saja." Gumam Charaf tak percaya.

"Apa-apaan ini."

"Idih, memalukan..."

Mereka berdua segera meninggalkan kelas. Di hari-hari selanjutnya mereka juga tidak mengikuti latihan yang mulai diadakan, tidak mendengarkan informasi mengenai hal tersebut dan tidak mengikuti pertemuan seolah-seolah tak terjadi apa-apa. Ternyata hal itu menimbulkan sedikit masalah. Guru lagi-lagi memanggil dan meminta keduanya untuk memberikan keterangan.

"Kita sudah semakin mendekati bulan pementasan. Jika kalian tidak mengkonfirmasi atau memberikan keputusan apapun, ketidakjelasan ini bisa menghambat prosesnya." kata guru itu dengan tatapan serius sedangkan keduanya bertambah bingung dan heran.

"Karena kami sangka terjadi kesalahan sampai kami ikut terdaftar juga." kata Charo.

"Ya, benar. Lagipula kami tak pandai berakting. Lihat saja dia dulu seperti kutu beras. Kini hendak ikut kompetisi drama?" timpal Charaf tak kalah heran dan Charo segera menempeleng belakang kepalanya.

Tubuh mereka bergetar menahan tawa. Mengherankan sekali guru itu masih tetap memandang mereka begitu serius sampai akhirnya kedua anak itu diam. Jangan-jangan sudah dianggap kelewatan padahal pada kenyataannya mereka memang tidak percaya sama sekali.

"Putuskan saja kalian akan ikut serta atau tidak. Dan besok kalian harus membuat pernyataannya. Terima kasih, kalian boleh keluar."

Akhirnya mereka berdua keluar dan langsung terkekeh lama sekali. Charaf membalas perbuatan kawannya di dalam tadi. Ketika melewati ruang klub teater, mereka mendengar suara anak-anak yang sedang latihan. Mereka mencoba masuk dan melihat aktivitas yang sedang berlangsung. Kebetulan mereka berpapasan dengan ketua teater.

"Drama apa?"

"Gone with the Dream. Cerita tentang persahabatan seorang anak laki-laki dan perempuan. Kisah Arabella anak gadis seorang tukang kayu dan Ariha putra tunggal pemilik pabrik sepatu terkenal yang kaya raya. Kedua bocah itu mempunyai angan-angan masa depan yang tinggi. Arabelle yang gigih dan keras kepala berambisi untuk menjadi seorang penerjemah handal. Ariha, anak laki-laki pandai yang terobsesi akan teknologi dan berniat menjadi pakar ilmu fisik dan kimia. Mereka bersekolah dan menempati kelas yang sama. Peristiwa ketika keduanya bertemu adalah suatu memoar yang mengesankan. Persahabatan dipertaruhkan ketika keduanya dipersatukan dalam ikatan pernikahan dengan keadaan yang serba kekurangan. Ketika menjalani hari-hari dengan peningkatan sikap emosional dan kesalahpahaman, mereka mulai beranggapan bahwa satu sama lain adalah hambatan. Percaraian tak terelakkan. Ternyata perceraian itu memberikan pelajaran kepada mereka tentang makna keberadaan orang yang berarti dalam kehidupan. Meski begitu tak ada satu pun dari mereka yang berniat mengembalikan pernikahan seperti sediakala dan tetap bersahabat, merealisasikan impian mereka sampai akhirnya ayah Ariha meminta putranya itu untuk menikah lagi dan memberikan ahli waris. Arabella menghilang dari kota itu dan tak pernah kembali namun Ariha tak melupakannya sehingga ia menamakan putrinya yang lahir setahun kemudian dengan nama yang sama. Arabella." kata ketua teater itu menjelaskan detailnya.

Charaf dan Charo melongo saja. Ini suatu drama yang sentimentil. Mereka ingin lihat karakter Arabella dan Ariha yang diperankan beberapa kawannya. Saat itu pemeran Ariha muncul membawakan dialog pada babak dimana cinta dan ambisi menggebu.

"O Arabella. Bagai keingintahuanku pada dunia. Dimana engkau yang bersahaja? Engkau cahaya silau yang terpantul oleh panel surya. Segala yang kuimpikan."

Kemudian gadis pemeran Arabella mendekat dan berkata, "Mungkinkah diberkahi? Jika aku adalah cahaya maka terbakarlah engkau. Terbakar karena kesungguhan perasaanku."

"Apa aku bagimu?"

"Teka-teki yang tak terpecahkan. Bahasa asing yang tak kumengerti. Membuatku penasaran dan berusaha mencarimu dalam kamusku."

"Begitu juga diriku. Segala yang ingin kutahu, sains yang tercerai berai. Bintang-bintang yang jauh itu, perumpamaan kita dalam keterpisahan."

Pak pelatih drama tiba berteriak keras menegur mereka.

"Apa yang kau lakukan? Dibandingkan Ariha kau lebih mirip penyair menggombal. Dan kau, Arabella, seperti membaca buku saja! Ulang!" teriak pelatih itu tampaknya tak sabar.

Charaf dan Charo, keduanya berkali-kali mendengar anak-anak itu ditegur. Babak demi babak diulang sampai anak-anak kelelahan. Karena itu mereka segera keluar.

"Gila. apa mereka sadar. Jika kita bergabung bukannya malah berpotensi menghancurkan harapan kesuksesan drama?"

"Wahai Arabelle... Hahaha. Menggelikan."

Mau tidak mau mereka berdua harus memberikan pernyataan tertulis yang mesti diserahkan esok harinya hingga sesuatu terjadi sesaat sebelum mereka menyerahkan kertas terrsebut. Tiba-tiba saja Charo bagai disambar kilat dan menyimpan kertasnya ke dalam saku.

"Aku ikut main drama." kata Charo menatap guru itu.

"Baiklah. Mulai hari ini kau akan ikut dalam latihan."

"Kau mau main peran jadi pohon atau gentong ?" bisik Charaf menyeringainya.

Charo segera keluar setelah itu Charaf batal menyerahkan suratnya juga dan segera menyusul kawannya itu. Semakin dilihat semakin aneh. Charo tenang-tenang saja sedangkan temannya itu tak habis pikir.

"Karena itulah kupikir ini adalah kesempatan untuk menunjukkan eksistensi kita. Toh aku ingin memperbaiki sedikit lagi nama baikku dan segala hal-hal negative tentangku meski sebenarnya bukan itu yang utama. Aku hanya ingin senang-senang saja."

"Kau punya rencana?" tanya Charaf mengambil tempat duduk di bangku dekat koridor kelasnya.

"Itulah. Aku tiba-tiba berpikir tentang ayahmu."

"Ayahku?"

"Ya. Kau pernah bilang dia adalah pelatih koor yang hebat. Aku berpikir bahwa drama ini dialog-dialognya seperti puisi. Bukankah drama macam ini akan terasa lebih mengesankan jika kita membuatnya menjadi simfonia drama? Musik latar dan sajaknya ditonjolkan sehingga tidak terkesan sebagai drama musical."

"Maksudmu kau hendak mengganti musik-musik latarnya dengan serangkaian music koor?"

"Begitulah. Aku tanyakan pada pelatih dan minta persetujuan ketua teater."

"Aku mengerti."

Sepulang sekolah mereka datang ke tempat latihan. Mereka mencari-cari ketua teater yang ternyata sedang memilah-milah arsip music latar. Kebetulan yang menyenangkan.

"Bisa kita coba." kata orang itu akhirnya ketika Charaf mengakhiri penjelasannya.

Mereka juga menemui pelatih namun agaknya orang itu kurang setuju.

"Aku tak yakin. "

"Ini hanya usulan. Ketua teater telah setuju dan akan mencobanya. Tenang saja jika hasilnya nanti kurang bagus batalkan saja."

"Kita lihat saja nanti." ujarnya tanpa menoleh.

Charaf melangkah ringan dengan cepat menuju gereja sepulang sekolah. Ia menemui ayahnya, ternyata beliau sedang menikahkan sepasang kekasih. Terpaksa ia menunggu sampai selesai. Tidak lama karena pernikahan itu sangat sakral dan hanya dihadiri oleh segelintir orang yang tak lain adalah keluarga mereka. Setelah semuanya pergi barulah anak itu menyampaikan maksud kehadirannya yang tak diundang dalam upacara pernikahan tadi. Hasilnya memang sesuai harapan.

Charo sepertinya memang bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Karena tak ingin dianggap mengganggu latihan, ia meminta anak-anak dari koor sekolah datang ke gereja untuk berlatih. Ia bersama Charaf dan ayahnya sibuk mencari lagu-lagu yang cocok untuk dramanya. Lagu-lagu yang dipilihnya sebagian berupa aransemen music utuh yang panjang tetapi ia juga tidak meninggalkan fragmen-fragmen yang lain. Hingga pada saat dua latihan yang berbeda itu dipersatukan hasilnya betul-betul membuat merinding orang. Semua tak menyangka kisah Gone with the Dream pun dengan eloknya bercinta dengan melodi-melodi yang indah, Midnight Dream fr.4 no.3 Flict W.A., Tulip Twirl, Kernel Lake 41 A# ditambah deretan lagu klasik Kinsmann's.

Tanpa terasa hari-hari mereka lewati begitu cepat. Charaf telah bertekad menembus sekolah teknik. Tentunya sesuai bidang ilmu yang dicintainya itu. Ia berangkat sekolah tepat waktu, mengerjakan soal-soal dan mempelajari benar buku-bukunya. Tampaknya ia sedikit emosi jika seseorang berusaha membuang waktunya sia-sia sementara Charo ia memang tampak belajar. Namun tak jarang ia membolos. Entah apa yang ia lakukan dan jika orang menanyakan tujuannya, ia hanya bisa mengatakan, "Entahlah".

Semua menyangka ia bermeditasi karena ketidakpastian tujuannya. Tak ada yang terlalu peduli. Anak-anak terlihat serius pada aktivitas belajar masing-masing selama beberapa bulan. Latihan teater dihentikan sampai seminggu setelah ujian itu.