webnovel

Bab 01 - Prolog

Namaku Vanya Martinez, aku baru saja lulus dari sekolah menengah pertamaku dan akan memasuki sekolah menengah atas. Aku sangat senang diterima bersekolah di SMA Weslan atas prestasiku menempuh pendidikan.

Yah tidak gampan bersekolah di weslan, karena semua siswa siswi yang bersekolah di sana adalah murid-murid dari kalangan orang kaya. Termasuk anak pejabat, anak menteri, konglomerat dan sebagainya.

Aku sendiri hanya murid yang beruntung mendapatkan beasiswa karena aku lumayan berprestasi. Bila ditanya apa pekerjaan Keluargaku? Ayahku—hanya seorang guru honor yang mengajar di SD, namanya Sandy Martinez. Ibuku bernama—Mariam—hanya ibu rumah tangga yang punya usaha toko bunga. Dan aku punya seorang adik laki-laki yang masih duduk di kelas 1 SMP.

DISINILAH KISAHKU DIMULAI.

"Ayah, Ibu ... lihat ini! Ini surat pernyataan dari sekolah, bahwa aku bisa bersekolah di Weslan," teriak Vanya di dalam rumahnya menuju ayah dan ibunya yang sedang menonton berita TV.

Napas Vanya terengah-engah, ia langsung berikan amplop coklat pada mereka untuk segera membaca. Mariam menarik tangan Vanya untuk duduk di tengah mereka, dan Sandy sendiri tersenyum berikan amplop itu pada istrinya usai membacanya.

Sandy mengusap surai rambut Vanya. "Ayah bangga padamu, kau memang murid berprestasi. Kau memang pantas bersekolah disana."

Mariam memeluk amplop itu di dadanya, sambil mengucap rasa syukur pada Tuhan. Dia tau bersekolah di Weslan tidaklah mudah bagi semua rakyat jelata seperti mereka. Mariam berharap bahwa sekolahnya—Vanya disana, membawa nama baik bagi keluarga, dan menjadi contoh teladan bagi semua orang, bahwa menjadi murid berprestasi siapapun bisa saja bersekolah di Weslan.

"Vanya, apa kau sudah persiapkan peralatan sekolahmu untuk bersekolah besok lusa?! Ibu harap kau jangan lupa itu." Mariam bertolak pinggan menatap Vanya kesal.

"Ibu tenang saja, aku tidak akan lupa dengan hal penting ini. Ibu tau sendirikan, Weslan adalah sekolah impianku sejak lama." Vanya berdiri berputar, sambil loncat riang di depan keluarganya.

Keluarga Martinez memang adalah keluarga harmonis dan sangat dikenal dari kalangan orang-orang terdekat, kerabat, dan para tetangga. Martinez adalah keluarga baik yang selalu membantu kalangan susah di manapun itu, mereka tidaklah pelit. Berbeda dari kalangan orang kaya yang pelit dan cuek seakan-akan takut jatuh miskin.

Vanya pergi membeli beberapa perlengkapan pakaian sekolahnya, dan juga membeli sepatu kets merk adidas kualitas palsu. Vanya tau diri ayahnya tidak akan mampu membeli sepatu dengan harga puluhan Juta pound sterling. Lagian uang dari mana dia mampu membeli barang branded seperti itu, bisa tidak makan ia, jika hanya membeli sepatu dengan harga puluhan juta. Memang egois jika orang miskin harus paksakan diri meniru cara fashion orang kaya.

Vanya yang berjalan kaki di sepanjang jalan untuk segera pulang karena ibunya terus saja menelpon, tiba-tiba sebuah mobil sport mewah melaju cepat menginjak genangan air lumpur hingga mengenai bajunya indahnya.

Baju dres Vanya yang berwarna putih, seketika berubah menjadi warna coklat dan kotor akibat mobil sport yang melaju cepat itu.

"Sialan! Semoga kau kecelakaan!" teriak Vanya sekencang-kencangnya, agar orang itu mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi percuma saja ia teriak, mobil itu tidak akan berhenti walaupun Vanya menyumpahinya.

Pria yang membawa mobil itu melihat dari kaca spionnya sebentar. Dia sadar atas perbuatannya, tapi bukan perasaan kasihan yang ada di hatinya, dia sebaliknya melontarkan kata hina, "Dasar wanita sampah, miskin," ucapnya langsung, seperti tidak suka pada wanita tak bermodal, pejalan kaki dan berpenampilan kotor.

Napas Vanya naik turun sehabis teriak kencang di campur emosi. Bagaimana bisa gadis secantik dia berubah menjadi kotor dan bau seketika, hanya karena mobil orang kaya lewat tanpa melihat situasi.

Vanya menyentuh kepalanya. "Oh tidak, bagaimana bisa aku lontarkan umpatan kasar barusan. Bila Ibu dan Ayah tahu, pastinya mereka akan mengubah cara pandang mereka padaku." Vanya menghela napas. "Tidak Vanya, kau harus tenang, kau ini gadis polos, harus sabar berpikir bijaksana." Vanya bicara pada dirinya sendiri, agar tidak bertindak impulsif.

Mobil itu sudah memasuki pintu gerbang untuk membawanya ke mansion miliknya. Bahkan mobil itu harus melaju lagi melewati jalur hutan-hutan selama 30 menit agar sampai di halaman mansion mewahnya.

Vano keluar dari mobilnya, lalu melihat kap body mobilnya yang begitu kotor, ia membanting pintu mobilnya kasar, lalu melempar kunci mobil pada anak buahnya yang datang menghampirinya, agar mobil kesayangannya segera dibersihkan.

Vano melempar jas bajunya di sofa panjang, dimana disana terlihat Revano, Dion dan Yustine sedang bermain kartu. Mereka bukan bermain kartu biasa mereka berjudi mempertaruhkan barang berharga mereka, termasuk kekasih gelap mereka dijadikan sebagai barang taruhannya.

Vano menghempaskan bokongnya di kursi pribadi, lalu melonggarkan dasinya yang hampir saja mencekik lehernya. "Apa ada berita hari ini?"

Revano melempar kartunya. Ia sudah bosan bermain. Ia lalu mengubah cara duduknya berhadapan dengan Vano. "Ayahmu membuat peraturan baru di Weslan, membuat dana beasiswa untuk murid tidak mampu agar bisa bersekolah disana. Yah ... tentu saja bukan dengan cara gratis bisa sekolah di tempat orang kaya, mereka yang bersekolah di Weslan, harus punya kemampuan otak super jenius," jelasnya.

Dion tersenyum merentangkan kedua tangannya menggapai sandaran kursi belakangnya. "Tidak hanya itu saja Rev, mereka yang pintar harus bisa menggantikan guru untuk mengajar."

"Menjadikan murid beasiswa sebagai babu guru-kan, atau menjadikan murid beasiswa itu sebagai guru pengganti?" hina Yustin menyunggingkan bibir.

Vano mengusap wajahnya. "Aku tidak peduli soal itu. Selagi sekolah milikku tidak dirugikan. Aku akan mendukung setiap keputusan Ayah bejatku itu." Vano tersenyum menganggukkan kepala seperti mengetahui sesuatu, lalu menghembuskan asap rokoknya di udara. "Bawakan aku tiga artis cantik yang masih perawan," perintahnya pada Revano. Dimana Revano sedang mengetik pesan di layar ponselnya.

Vano beranjak pergi menghentakkan sepatunya, dan kedua tangannya masuk kedalam kantong celana di setiap sisinya. Wajah Vano terkesan antagonis berahang tegas menampilkan dirinya bahwa ia sosok pria mengerikan, sangar, kejam, dan berbahaya.

***

"Vanya cepat bangun! Kau terlambat." Mariam membuka paksa gorden jendela.

Vanya mengucek mata menatap jam di dinding. Betapa terkejutnya ia melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. "OMG ... 40 menit lagi pelajaran di Weslan, mulai." Ia berlari masuk ke dalam kamar mandi.

Mariam bertolak pinggang marah pada anaknya, dia mengira Vanya sudah bersiap-siap sedari tadi. Ternyata anaknya itu masih tidur, bahkan jam weker dia tidak menyetelnya semalam. Betapa cerobohnya Vanya.

Vanya tergesa-gesa memakai seragam sekolah. "Ibu maaf, semalam aku lupa mengatur jam alarm. Aku terlalu bersemangat untuk tidur akibat lelah berjalan kaki kemarin dalam keadaan—" Vanya tidak melanjutkan perkataannya, ia mengepalkan tangan mengingat kejadian itu lagi. Gara-gara bajunya yang kotor dia sampai ditertawakan oleh semua orang di jalanan. Mau tidak mau dia hanya menahan malu dalam kondisi prihatin.

Vanya mencium pipi ibunya yang masih duduk di kursi meja belajar. "Bu, maaf, aku tidak ikut sarapan. Aku sangat terburu-buru. Aku pergi… dah!"

Vanya menunggu bis di halte, tiba-tiba mobil limosin mewah berwarna hitam berhenti tepat di hadapannya. Supir berjas rapi turun membuka pintu mobil, dan menampilkan seorang gadis cantik berpenampilan modis berambut warna warni tersenyum padanya.

Gadis itu melambaikan tangan tepat di depan wajah Vanya—yang salah tingkah. "Hai... kita satu sekolah, ayo bareng!" tawarnya memberi tumpangan. "Ayolah! Kamu bisa terlambat menunggu bus disini," paksanya sambil menarik tangan Vanya.

Vanya menatap jam tangan milinya, tidak bisa menolak bantuan teman satu sekolahnya itu. "Terima kasih Nona. Kenalkan, namaku Vanya Martinez." Vanya mengulurkan tangan untuk mengenal gadis cantik di hadapannya.