webnovel

Pria 2018

*Berdasarkan kisah nyata. Citra Mustika Meisya Rina— tak pernah menyangka sebelumnya bahwa ia akan melanjutkan sekolahnya dibangku Sekolah Menengah Kejuruan yang selama ini ia inginkan. Berkat bantuan dari salah satu gurunya — ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk bisa melanjutkan belajarnya sampai kelulusan tiba. Selama itu pula didalam pikiran dan benak Citra hanya terpikirkan untuk belajar dan belajar. Mengejar prestasi guna mempertahankan beasiswa yang sudah ia dapatkan. Tak pernah terpikirkan olehnya sekedar untuk berkenalan dengan seorang laki-laki. Sosoknya yang pemalu juga pendiam membuat Citra sedikit mengalami kesulitan untuk bergaul. Sampai Tuhan mempertemukannya dengan laki-laki berkulit sawo matang dengan senyumannya yang manis bernama Fatih Andrean. Tuhan menitipkan rasa itu dalam hati Citra. Perasaan cinta yang bertahan hingga bertahun-tahun lamanya, tak kunjung menghilang meski sudah berpisah. Berpisah karena memang sudah saatnya. "Pisah? Padahal kita belum ada apa-apa." Citra menggumam. Banyak orang disekelilingnya mengatakan untuk, lupakan, lupakan dan lupakan. Tetapi, omongan orang tidak semudah itu untuk Citra lakukan. Bertemu dengan seorang laki-laki bernama Fatih Andrean seperti Citra menemukan cinta pertamanya. Meski setelah perpisahan itu, Citra berusaha untuk melupakannya. Mulut bisa berbohong tetapi perasaannya tidak bisa melakukan itu. Citra masih mengharapkan Fatih. Citra masih berharap supaya Tuhan mempertemukannya lagi dengannya suatu saat nanti. Apa perasaan ini hanya ada dipihaknya? Atau juga dipihak sang pria? Fatih dan Citra, akankah pada akhirnya mereka bersatu selamanya?

Iccii_Mochii2 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
2 Chs

01. Kedatangan Ibu Ashana

Beberapa hari setelah kelulusan diumumkan, perempuan dengan rambut pendek sebahu bernama lengkap Citra Mustika Meisya Rina atau lebih akrab dengan panggilan, Citra. Kegiatan perempuan itu masih sama-sama saja. Seperti, membantu orangtua, membersihkan rumah, bermain sendirian dan kegiatan lainnya yang tentu saja lebih banyak mengistirahatkan tubuh.

Seperti saat ini contohnya — dimana Citra tengah berada di ruang tengah, posisinya yang sedang bermalas-malasan — tidur di atas sofa panjang dengan kedua kaki yang ia luruskan. Oh! Jangan lupakan kedua tangan memegang benda pipih berwarna dark blue, ibu jarinya aktif menggeser-geser layar. Kedua mata yang fokus menatap gambar yang ditampilkan.

"Dek, kakak pergi dulu. Kamu tolong jaga rumah, ya." Sahutan itu hanya dibalas deheman oleh Citra sebagai jawaban. Tanpa menolehkan kepalanya ke arah yang berucap. Ia tahu itu pasti sang kakak bernama Alfarezi Daviandra.

Orangtua Citra mempunyai dua orang anak dan itu hanya ia sebagai anak bungsu dan laki-laki dengan panggilan akrabnya Alfa sebagai anak sulung sekaligus kakak bagi Citra.

Mengenai kedua orangtua mereka, ayah dan ibunya yaitu, Ian dan Nadin. Ian atau ayah Citra bekerja dan berprofesi sebagai seorang karyawan swasta di sebuah instansi di kota Jakarta. Sedangkan Nadin — ibu kandung Citra berprofesi sebagai seorang dokter psikologi yang bertugas disebuah rumah sakit.

Keluarga Citra memang dikenal sebagai keluarga yang sibuk karena hampir semua anggotanya tak ada waktu untuk berada di rumah kecuali dihari-hari tertentu atau hari libur.

"Nanti Ayah pulang sore—"

"Iya, kaya biasanya. Tadi, Ayah juga udah bilang," potong Citra membuat sang kakak membulatkan mulutnya ber-oh ria.

"Kakak pergi dulu kalau gitu." Alfarezi pun melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah setelah mengambil kunci sepeda motor dan juga helm.

"PULANGNYA BELI MARTABAK!"

Entah sang kakak mendengar teriakannya atau tidak karena saat ia berteriak Alfarezi sudah menutup pintunya.

"Awas aja kalau pulang nggak bawa apa-apa," gumam Citra kemudian kegiatannya kembali sibuk dengan ponselnya.

Jika sudah begini, Citra sendirian di rumah ketika rasa bosan mulai datang. Citra dibuat bingung harus melakukan apa.

Bangun dari posisi tidurnya, bersandar pada kepala sofa, kedua matanya menyapu bersih setiap sudut ruangan sembari di dalam otaknya memikirkan apa kiranya yang harus ia lakukan sekedar untuk menghilangkan rasa bosan.

"Udah bersih, rapi juga. Terus gue ngapain?" Citra bertanya sendirian. "Main HP mulu, gue bosan!"

Dan berakhir, ia menyalakan kembali televisi yang tadi sempat ia matikan. Menonton acara yang menurutnya sangat membosankan.

"Semakin ke sini acara TV, nggak ada yang bagus dan menarik," keluhnya.

TOK TOK TOK

Suara pintu yang diketuk tiga kali dari luar, mengagetkan Citra yang saat itu sedang melamun.

"Tamu? Siapa? Apa jangan-jangan temannya Ayah sama Bunda?"

Untuk kalian ketahui saja, Citra ini sangat malas jika ia sedang sendirian di rumah tiba-tiba ada seorang tamu yang datang atau siapapun itu.

"Iya!" teriak Citra yang kemudian bangkit dari sana dan langsung menuju ke arah depan untuk membukakan pintu.

Seorang wanita paruh baya berpakaian seragam dinas pendidikan, tersenyum ke arah Citra.

"Citra," panggilnya.

"Ibu," balas Citra yang lalu mencium punggung tangan guru SMP-nya tersebut disusul dengan menyalami punggung tangan seorang laki-laki yang menurut Citra mungkin usianya lebih muda dibanding dengan gurunya ini.

"Silakan masuk, Bu." Citra membuka lebih lebar pintu rumahnya mempersilakan gurunya untuk masuk bersama dengan laki-laki paruh baya yang berada di sampingnya.

"Ayah sama ibu kamu ada di rumah, Citra?" tanya gurunya tak lama setelah ia mempersilakan keduanya untuk duduk.

"Oh, Ayah masih kerja sama Bunda juga. Paling Ayah pulangnya nanti sore," jawab Citra dengan sopan.

"Kalau ibu kamu?" Ini bukan sang guru yang bertanya melainkan seorang laki-laki paruh baya yang kini duduk di kursi tunggal tepat di samping kanan Citra.

"Bunda juga masih kerja."

"Kalau boleh tahu, Ayah sama Ibu kerja apa?" tanya laki-laki paruh baya yang Citra belum ketahui siapa namanya.

Dengan lembut dan nadanya yang terdengar begitu sopan, Citra menjelaskan tentang pekerjaan kedua orangtuanya. Beberapa pertanyaan lain pun laki-laki paruh baya itu layangkan kepada Citra dan beruntunglah Citra bisa menjawab semuanya dengan lancar tanpa kalimat tersendat.

"Jadi, begini Citra niat ibu datang ke sini karena ingin menawarkan sama kamu untuk lanjut sekolah lagi."

Deg!

Perkataan yang dikeluarkan oleh guru di SMP-nya dulu mampu membuat jantung Citra sempat berhenti berdetak beberapa detik. Apa katanya? Citra mendapat tawaran untuk bisa sekolah? Melanjutkan pendidikannya?

"I-ibu i-ini serius? Benaran, Bu?" tanya Citra tak percaya. Masih seperti mimpi baginya.

Tersenyum lembut, perempuan paruh baya yang memiliki profesi sebagai guru bimbingan konseling di sekolah Citra dulu pun kembali menjelaskan, "Iya, Citra. Kamu dapat kesempatan untuk bisa bersekolah, melanjutkan pendidikan kamu dengan bantuan pendidikan dari SMK sampai kamu lulus. Ibu sengaja memilih dan merekomendasikan kamu karena ibu tahu kamu anak yang pintar. Ibu yakin, kamu bisa mempertahankan apa yang ibu berikan."

"Jadi, apa nak Citra bersedia bersekolah di SMK?"

Citra menatap wajah laki-laki yang sudah ia ketahui namanya yaitu Pak Patra. Ibu Ashana memperkenalkannya tadi.

"Ini benaran? Serius?" Citra memastikan. Ia takut ini semua hanya mimpi.

Keduanya pun tertawa kecil melihat keterkejutan yang masih Citra tampakkan.

"Iya, Citra. Kalau kamu mau dan kamu bersedia, ibu akan beri kamu formulir pendaftaran untuk kamu isi," ucap Ashana yang tak lain adalah guru bimbingan konseling di sekolahnya dulu.

"Saya mau, Bu," ujar Citra pada akhirnya setelah Pak Patra memberikan penjelasan dan juga meyakinkannya.

Ibu Ashana pun segera memberikan beberapa kertas formulir yang harus Citra isi terlebih dahulu disusul kemudian Pak Patra yang memberikannya sebungkus plastik putih berisikan beberapa bahan yang nantinya akan dijahit dan dijadikan seragam untuk Citra kenakan.

"Kalau begitu, ibu pamit dulu, Citra." Ibu Ashana bangkit dari tempat duduk setelah Pak Patra berdiri lebih dulu.

"Iya, ibu. Sebelumnya terima kasih banyak, Pak, Bu." Dengan suara gemetar Citra berucap.

"Sama-sama, kalau kamu ada pertanyaan dan butuh bantuan kamu bisa hubungi nomor ibu, ya," kata ibu Ashana.

Citra pun mengangguk mendengarnya, bergantian mencium punggung tangan kedua orang tersebut sebelum akhirnya mereka pergi meninggalkan kediaman rumah Citra.

Terdiam menatap haru beberapa lembar kertas yang nantinya harus ia isi. Sungguh, Citra merasa semuanya masih seperti mimpi. Tolong, katakan padanya jika ini adalah nyata.

"Ya Allah, terima kasih." Menundukkan kepalanya dalam-dalam. Setetes air mata kembali mengalir membasahi pipinya.

Kejutan dari Tuhan yang tak pernah Citra sangka akan benar-benar terjadi menimpa dirinya. Meskipun terlahir dari keluarga yang berada, baik kedua orangtuanya maupun sang kakak bisa menyekolahkannya tanpa bantuan tetapi dalam benak Citra, ia ingin melanjutkan sekolah dan pendidikannya tanpa mengeluarkan sepeser uang pun dari anggota keluarganya. Dan semua itu terkabul saat ini.

Tuhan begitu baik padanya, Tuhan mengabulkan niat baiknya. Untaian kalimat syukur dengan air mata kebahagiaan yang terus menetes, Citra alami saat ini. Pada hari itu menjadi hari yang sangat baik atau bahkan penuh kebaikan dan rasa syukur atas segala yang Tuhan telah berikan.

"Dek, kenapa nangis?" Pertanyaan dengan suara yang berasal dari arah belakang Citra segera membuatnya menolehkan kepalanya— mendapati sang Ayah yang ternyata sudah pulang dari kegiatannya bekerja.

Berdiri dan menerjang tubuh sang ayah, Citra memeluknya erat.

"Ayah, Citra dapat beasiswa, hiks..."