webnovel

Pradhika's Bloody Incident

Pradhika's Triplet yaitu Siji Pradhika, Yuji Pradhika dan Reiji Pradhika mengalami hal buruk saat mereka berupaya mematahkan kutukan yang dialami oleh Reiji. Mereka terjebak di tempat aneh dan mengalami peristiwa yang mengerikan. Tempat itu hanyalah lubang setinggi orang dewasa yang tidak memiliki celah lain untuk keluar. Mereka bertiga harus memutar otak untuk dapat keluar dari tempat aneh itu. *** Lalu, mereka mengalami kejadian aneh yang lainnya karena kedatangan seseorang yang mengaku paman mereka, yang berasal dari Korea Selatan. Lelaki itu adalah saudara kembar non identik Tuan Yudha Pradhika, ayah dari Pradhika's Triplet. Namun, terjadi permasalahan yang rumit di antara dua saudara itu sebelum Tuan Yudha diadopsi oleh keluarga Pradhika dan diboyong ke Indonesia. Siji Pradhika yang sedang mengikuti pertukaran pelajar ke Busan, Korea Selatan, harus bertemu dengan saudara ayahnya itu. Dan kisah berdarah-darah itu pun dimulai. *** "Aku tidak akan puas sebelum menuntut balas pada Yudha dan keturunannya." Seseorang yang bernama Lucca menatap foto-foto Tuan Yudha dan keluarganya yang tertempel di dinding suatu kamar yang gelap. Pandangan mata lelaki itu tertuju pada salah satu foto dari putra kembar Tuan Yudha. "Aku akan memulai balas dendamku pada kamu, Anak Manis," lirihnya sambil menyeringai. Peristiwa rumit semacam apalagi yang akan dihadapi Pradhika's Triplet? Apakah ini ada hubungannya dengan masa kelam ayahnya yang tinggal di panti asuhan? Dan ada misteri juga tentang terbakarnya Panti Asuhan yang menyimpan cerita kelam itu.

Zanaka · Seram
Peringkat tidak cukup
220 Chs

Membuat Penasaran

"Bisa saja, Abang! Kalian bertiga ini lahir dengan organ-organ dalam yang belum sempurna semuanya. Dan kalian bertiga tidak bisa berada di suhu yang sangat dingin. Papa takut jika Abang mengalami hipotermia atau semacamnya gitu." Tuan Yudha meracau. Sepertinya, kejadian dalam mimpinya tadi, begitu membekas di dalam ingatannya. Jadi, seolah-olah mimpi tadi adalah kenyataan.

"Ahahaha, itu tidak mungkin, Papa. Ini Jakarta bukannya kota yang memiliki 4 musim. Abang dan adek-adek memang tidak bisa bertahan jika berada di suhu dingin, seperti suhu di pegunungan. Kalau suhu dingin ruangan saja, apalagi di kota Jakarta, tentu saja abang masih dapat bertahan, Papa. Sedingin apa pun lantai kita."

Siji menyahut. Ia malah tersenyum haru melihat papanya yang terkesan begitu mengkhawatirkannya itu.

"Lalu, kenapa kamu pingsan tadi, Bang?"

"Karena lelah."

"Mana mungkin hanya karena lelah dapat membuat seseorang pingsan, Abang?!" sentak Tuan Yudha, kesal.

Tuan Yudha tidak tahu isi kepala anak sulungnya itu sebenarnya apa. Tapi, Siji terlihat biasa saja meski ia baru bangun dari pingsan tadi. Seolah Siji memang sering mengalami hal itu. Apa yang tadi itu memang Siji ketiduran? batin Tuan Yudha.

"Dan mengantuk, hehehe." Siji melanjutkan ucapannya.

"Bodoh!" desis Tuan Yudha. Hanya kata itu yang pantas menggambarkan anaknya. Sia-sia sudah kekhawatiran Tuan Yudha sejak tadi.

"Ahahaha, apa mungkin bakat akting Abang ini mulai jago kayak Yuji ya, Pa?"

"Tidak! Jangan meracau!"

"Ahahaha, walau iya pun, kenapa sih, Pa? Bukannya malah bagus ya kalau semua anak papa jadi pemain sinetron?" Siji berucap lirih. Senyum riang tak henti-hentinya terpatri dari bibirnya yang masih terlihat pucat.

Tuan Yudha malah kesal dan menjitak kepala anaknya sekali lagi. Dia merasa dipermainkan.

Siji mengangkupkan tangan untuk minta maaf. Setelahnya, ia melihat ke arah papanya kembali.

"Oh iya, Papa baru keluar ke mana malam-malam seperti ini?" tanya Siji, penasaran. Meski ia tidak menyadari kehadiran Tuan Yudha tadi, tapi ia memiliki intuisi jika papanya itu datang dari luar rumah ini. Terlihat juga dari sepatu Tuan Yudha yang terlihat sedikit berlumpur itu.

Jika Tuan Yudha pergi ke kamar utama, sudah pasti papanya itu akan berganti sandal rumah, bukannya sneaker warna putih itu. Pasti papanya baru pulang dari luar rumah, batin Siji.

Tuan Yudha terlihat mengambil kertas yang terselip di saku celananya. Itu adalah kertas milik Siji, pemberian Madam Ameri tadi.

"Papa tadi hanya memastikan sesuatu. Ternyata, peta yang berada di kertas ini, benar-benar mirip dengan peta di salah satu hiasan milik keluarga Pradhika, Bang."

Mendengar ucapan papanya baru saja, membuat Siji tersentak. Ia bangkit dan kini duduk bersimpuh di depan kaki papanya.

"Benarkah seperti itu, Pa?" Binaran di mata Siji, terlihat begitu kentara. "Lalu, di mana letak hiasan itu sekarang, Pa?" tanya Siji kembali. Begitu antusias.

Tuan Yudha menampilkan senyum misterius. Ia seperti sengaja mengulur waktu, membuat anak sulungnya itu semakin penasaran.