webnovel

Bella si Keras Kepala

Haikal menatap tajam pada Bella. "Lo mau jenguk Vano, kan?"

 

Bella mencoba untuk menetralkan ekspresi terkejutnya atas pertanyaan Haikal. "Ngapain gue jenguk dia? Kurang kerjaan tau nggak!"

 

"Ngaku aja apa susahnya, sih, Bel?"

 

"Apa yang harus diakuin? Gue nggak akan ngelakuin itu."

 

"Lo pembohong!"

 

"Gue bukan pemb-" Ucapan Bella terpotong karena suara keras Haikal.

 

"LO PEMBOHONG, BEL!" teriak Haikal.

 

"IYA, GUE PEMBOHONG, KENAPA? GUE MAU JENGUK VANO. APA URUSANNYA SAMA LO?" balas Bella tak kalah emosi.

 

Lia tidak tau harus bersikap bagaimana atas situasi yang ada di depannya saat ini. Ingin menengahi, tapi Haikal bilang ia tidak boleh ikut campur.

 

"Urusan lo, urusan gue," tegas Haikal.

 

"Urus aja urusan kita masing-masing."

 

"Bel, dia udah jahat sama lo, sadar, Bel!"

 

"Apa gue harus balas dengan kejahatan juga?"

 

Haikal menghembuskan napas lelah. "Bel, lo kenapa begini, sih? Bisa nggak turuti aja omongan gue?" tanya Haikal dengan suara yang lebih tenang.

 

"Gue ngelakuin ini atas dasar kemanusiaan, Kal."

 

"Apa menurut lo pelecehan itu hal manusiawi?"

 

"KAL!" tegur Bella.

 

"Apa?" Jawaban cepat dari Haikal membuat keadaan semakin panas. "Lo bela-belain jengukin dia cuma atas dasar kemanusiaan? Kemanusiaan terhadap orang yang sewenang-wenang ke lo? Sakit lo, Bel."

 

"Lo yang sakit! Lo nggak punya rasa kemanusiaan itu!"

 

Bella memegang tangan Lia dan menatap tajam pada Haikal. "Dengan atau tanpa izin lo, gue bakal tetap jenguk Vano!" ucapnya dan langsung pergi meninggalkan Haikal sendirian di teras rumahnya.

 

"ARGHH!" Ia mengacak rambutnya bersamaan dengan teriakan frustasi yang keluar dari mulutnya.

 

"Lo dari dulu selalu keras kepala, Bel," gumamnya.

 

"Gue harus susul dia," ucapnya dan segera kembali ke rumahnya untuk mengambil motor.

 

***

 

"Gue bener-bener nggak habis pikir sama Haikal, kenapa untuk jengukin Vano aja dia nggak ngizinin? Padahal Vano begini juga karena dia," ujar Bella pada Lia. Saat ini mereka tengah berjalan di koridor rumah sakit untuk menuju kamar Vano.

 

"Bel, gue rasa itu hal wajar kok. Emang sahabat mana yang rela lihat sahabatnya disakitin?"

 

"Sahabat mana yang nyakitin sahabatnya sendiri, Li? Dua tahun lebih gue sama dia kayak orang nggak kenal di sekolah. Dia deketin cewek sana-sini. Apa dia nggak ngerti perasaan gue?"

 

Lia mengusap punggung Bella. "Gimana dia bisa ngerti kalau dia aja nggak tau perasaan lo ke dia?"

 

Bella membuang napas kasar. "Kalau untuk hal itu, gue bisa maklumi. Tapi kenapa kami harus asing di sekolah, Li? Gue bener-bener kangen dia yang dulu. Semenjak orang tua gue nggak ada, dia malah makin jauh dari gue."

 

"Tapi dia selalu jagain lo kan, Bel? Kalau dia nggak peduli sama lo, nggak bakal dia ngehajar si Vano sampai kayak sekarang."

 

Terlalu larut akan pembicaraan ini hingga membuat mereka tak sadar sudah sampai di depan ruang rawat Vano.

 

"Van," sapa Bella.

 

"Bella?" Dapat dilihat dari sorot matanya bahwa Vano terkejut.

 

"Gimana keadaan lo?"

 

Vano merubah posisinya menjadi duduk. "Gue oke, kok." Ia menatap Lia dan tersenyum pada gadis itu, lalu ia kembali menatap Bella. "Bel, gue bener-bener minta maaf atas kejadian kemarin. Gue khilaf, Bel."

 

"Udah, nggak apa-apa. Gue juga minta maaf gara-gara gue lo malah dihajar sama temen lo sendiri."

 

Vano menunduk. "Ini wajar gue terima kok, Bel." Vano mendongakkan kepalanya. "Lo kenal sama Haikal, Bel?"

 

Bella menggeleng. "Gue takut hubungan gue sama Haikal ke depannya malah nggak bagus," gumam Vano.

 

"Maaf, hubungan lo sama Haikal jadi berantakan karena gue."

 

"Nggak, Bel, jangan nyalahin diri lo mulu. Ini murni kesalahan gue." Bella tersenyum. Ia memang tidak ikhlas akan kelakuan Vano. Namun, bukankah semua orang punya hak untuk dimaafkan?

 

"Ya udah, kalau gitu gue sama Lia pulang dulu, ya. Get well soon, Van."

 

"Iya, thanks udah jengukin."

 

Mereka keluar dari ruang rawat Vano san segera menuju parkiran karena supir Bella memang menunggu di sana. Namun, di tengah perjalanan, seseorang menarik lengan Bella dan membuat empunya tangan terkejut. "Siapa—Haikal?"

 

"Li, lo pulang duluan aja, nanti kalau supir nanya, bilang Bella biar sama gue," ujar Haikal dan langsung diangguki Lia. Ia paham bahwa Bella dan Haikal butuh waktu untuk bicara.

 

Haikal menarik lengan Bella ke sebuah tempat sepi di rumah sakit ini. "Apalagi, Kal?" tanya Bella sembari menarik tangannya dari Haikal.

 

"Udah puas lo jengukin Vano?"

 

Bella membuang muka. Ia kesal kenapa Haikal selalu membahas tentang Vano. "Nggak ada bahasan lain selain Vano?"

 

"Gue harap ini terakhir kalinya lo nggak nurut sama gue."

 

"Lo siapa? Kenapa semua permintaan lo harus gue turuti?"

 

 "Gue temen lo. Karena semua permintaan gue itu demi kebaikan lo," jawab Haikal dengan tegas.

 

Untuk beberapa detik, mereka saling diam. Haikal yang terus menatap Bella, dan Bella yang terus membuang muka.

 

"Besok mau jenguk Vano lagi?" tanya Haikal memecah keheningan.

 

"Nggak."

 

"Bagus. Tapi gue kasihan sama lo karena nggak bakal ketemu cowok yang lo suka lagi."

 

Bella menatap tajam pada Haikal. "Lo bilangin gue suka sama Vano itu atas dasar apa, Kal?"

 

"Lo yang tetap belain dia daripada gue, bahkan di saat dia jahat ke lo. Lo yang ngotot pengen jenguk dia walaupun gue larang. Lo yang dulu sering ke perpustakaan sama dia."

 

"Gue nggak belain dia! Gue nggak mau lo dalam masalah. Gue jenguk dia karena rasa kemanusiaan. Gue ke perpustakaan sama dia buat belajar bareng."

Haikal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dan gue nggak peduli. Di mata gue, lo suka sama dia."

 

"Gue nggak suka sama dia, Haikal." Bella menekankan setiap katanya.

 

"Lo suka."

 

"Nggak."

 

"Iya."

 

"Nggak, Kal."

 

"Iya, lo suka dia."

 

"Kenapa sih lo nggak pernah sadar kalau gue sukanya sama lo?" tanya Bella cepat. Ia mengucapkan hal itu di luar kendalinya.

 

Haikal terkejut menatap Bella. "Bel?"

 

Bella mendecak kesal saat sadar apa yang ia ucapkan barusan. "Ya, kenapa? Sekarang lo puas, kan? Jangan bilang gue suka sama Vano lagi!"

 

"Kenapa gue harus puas? Pernyataan itu bukan keinginan gue." Ucapan Haikal sukses membuat hati Bella tercabik-cabik. Bahkan untuk sekedar mengakui perasaannya saja, ia tertolak.

 

Bella menatap Haikal kesal. "Ayo pulang," ajaknya dengan wajah kesal.

 

"Ya udah, pulang aja."

 

"Katanya lo mau nganterin gue?"

 

"Naik taksi aja."

 

Bella benar-benar kesal atas kelakuan Haikal. "Manusia pencitraan lo!" ucapnya dan langsung pergi meninggalkan Haikal.

 

Haikal segera menyusul Bella. Dari parkiran ia memastikan Bella benar-benar mendapatkan taksi. Setelah itu, ia melajukan motornya untuk terus mengikuti taksi yang membawa Bella hingga benar-benar mengantarkan Bella sampai rumah dengan selamat. Sebegitu tidak maunya ia untuk membonceng Bella menggunakan motornya.