webnovel

Baikan

Bara menarik Bella hingga parkiran. "Lo bawa kendaraan?" tanya Bara sesampai di parkiran.

"Nggak," jawabnya dengan ketus.

Bara mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya. Ia memesan taksi online untuk mengantarkan dirinya dan Bella pulang.

Bella mendecak kesal karena sudah lima menit ia menunggu Bara yang sibuk dengan ponselnya. "Lo ngapain, sih? Ini gue disuruh nunggu begini doang?"

"Sebentar lagi taksi datang."

Dahi Bella mengernyit. "Taksi? Buat apa?"

"Gue." Bella mengangguk dan tersenyum lebar mendengarnya. Itu artinya ia tidak perlu mengantarkan Bara pulang. "Sama lo," lanjut Bara.

"Hah?!" kejut Bella yang tak habis pikir dengan Bara. "Ribet banget lo jadi cowok! Pulang, ya, pulang aja sendiri!"

"Lo udah nabrak gue."

Bella memajukan badannya agar lebih dengan dengan Bara dan menatap tajam cowok itu. "Setau gue lo selalu bawa motor. Kenapa nggak pulang pakai motor lo aja?"

"Lagi di bengkel," jawab Bara santai.

Bella menggeram kesal. Sungguh sangat sial dirinya hari ini. "Gue mau pulang sendiri dan gue nggak peduli tentang hukuman mengada-ada lo itu. Terserah kalau lo mau marah atau apa pun itu. Bye!" ucap Bella dan berlalu meninggalkan Bara.

Bara menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum kecil. "Selalu lucu," gumamnya.

Sementara itu, di ujung gerbang sekolah Haikal melihat kebersamaan Bella dan Bara dengan tatapan berapi-api. Tangannya mencengkeram gas motor dengan sangat kuat. "Kurang ajar! Sehari ini udah dua kali ketos babgsat itu godain cewek gue," kesalnya dan segera pergi dari sana.

Ia mengendarai motor dengan sangat kencang seolah melampiaskan emosinya melalui itu. Tujuannya saat ini adalah segera sampai ke rumah dan langsung menghampiri Bella. Ia butuh banyak penjelasan dari mulut Bella.

***

"Bella udah pulang, Pak?" tanya Haikal pada Pak Adi, supir pribadi Bella.

"Lho, belum, Kal. Bapak kira bakal pulang sama Neng Lia."

Haikal mendecak kesal. "Kemana dulu, sih, Bel?" Ia menatap pada Pak Adi. "Makasih, ya, Pak. Aku mau nunggu di kursi teras ini aja," ucapnya.

"Iya, Bapak masuk dulu."

Haikal duduk dengan tenang di kursi teras rumah Bella. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan pikirannya yang amat kacau saat ini. Ada banyak pertanyaan yang harus Bella jawab atas kejadian hari ini. Haikal sudah melihat beberapa bagian momen kebersamaan Bara dan Bella di sekolah tadi, salah satunya saat mereka di depan ruang rapat OSIS.

"Bel, lo kemana, sih?" Nada cemas terdengar jelas dari pertanyaan Haikal. Semarah apa pun ia pada Bella, kecemasan akan gadis itu akan tetap ada dan selalu ada. Gadis kecil yang selalu menjadi kesayangannya.

Beberapa saat kemudian, pagar rumah Bella terbuka dan menampilkan Bella yang pulang dengan wajah kesal.

"Dari mana aja lo? Jam pulang sekolah udah dari tadi."

Bella mendongakkan kepalanya. "Kal? Ngapain di sini?"

"Jawab pertanyaan gue!" tekan Haikal.

"Ya, dari sekolah."

"Kenapa lama?"

Bella menghembuskan napas lelah. "Gue nyari ojeknya susah, Kal."

"Kenapa nggak minta jemput Pak Adi?"

"Banyak tanya lo! Suka-suka gue lah mau pulang sama siapa," jawab Bella sambil melipat tangannya di depan dada.

"Termasuk sama Bara?"

"Bara?" Bella heran kenapa Haikal bisa bertanya seperti itu. Apa Haikal tau insiden sebelum pulang yang dialami oleh Bella tadi?

"Suka-suka lo mau pulang sama Bara?" tanya Haikal lagi.

"Apasih, Kal? Gue pulang sendiri."

"Ya, ke depannya bakal suka-suka lo mau pulang sama Bara?"

Bella mengangkat kedua alisnya bingung. "Kenapa pertanyaannya selalu tentang Bara, Kal?"

"Lo yang kenapa seharian ini selalu sama Bara?"

Lagi dan lagi Bella dibuat terkejut atas pertanyaan Haikal. Bagaimana bisa Haikal bisa mengetahui akan hal itu? Bukankah ia masih dalam masa skorsnya?

"Kenapa? Bingung gue tau dari mana?"

"Tau dari mana?" tanya Bella.

"Nggak penting. Kenapa?"

Bella menghembuskan napas agar sedikit lebih tenang. Ia tidak ingin tersulut emosi lagi yang akan memperburuk hubungannya dengan Haikal. "Masuk dulu, Kal. Bicara di dalam aja," ajak Bella.

Haikal menggeleng. "Di sini aja. Gue mau semuanya tuntas di sini sekarang juga," tolak Haikal penuh penekanan.

"Gue tadi telat dan dihukum. Hukuman gue bertambah berat karena ngatain Bara sebagai ketos galak. Terus pas pulang gue sama dia nggak sengaja tabrakan, dan dia dengan seenaknya mau jatuhin hukuman lagi ke gue dengan antarin dia pulang. Tapi gue nolak, Kal. Gue langsung pergi. Lo harus percaya itu," jelas Bella panjang lebar.

Untuk kejadian terakhir tentu saja Haikal percaya. Ia sudah melihat semuanya tadi.

Haikal menghembuskan napas lelah. "Lo jangan deket-deket dia lagi!"

"Kenapa?"

Haikal melemparkan tatapan bingung pada Bella. "Kenapa malah nanya? Lo masih mau deket-deket dia?"

Bella sungguh lelah dengan pacarnya itu. Ia jadi serba salah jika sudah berdebat dengan Haikal. "Kal, gue cuma nanya alasannya. Semua yang ada di dunia ini terjadi karena alasan, kan? Termasuk kita yang asing di sekolah dan lo yang gonta-ganti cewek. Iya, kan, Kal?"

Haikal seolah kena skak atas pertanyaan Bella barusan. Ya, Bella memang benar, semua ada alasannya. Lantas kenapa ia harus marah saat Bella bertanya alasan ia harus menjauhi Bara?

"Dia suka sama lo. Gue nggak suka itu," jawab Haikal.

Bella tertawa kecil. "Suka? Sejak kapan lo bisa baca isi hati orang?"

"Bel ... ayolah! Gue dan Bara sama-sama cowok Bel. Tatapan dia ke lo itu beda. Itu bukan tatapan biasa."

"Terserah lo."

"Jauhin, ya?"

"Nggak." Bella berniat ingin menjahili Haikal. Tadi malam bukannya cowok itu mengatakan agar Bella mengurus hidupnya sendiri? Kenapa sekarang malah mengatur lagi?

"Bel! Nurut aja kenapa, sih?"

"Tadi malam lo nyuruh gue untuk urus hidup gue sendiri, kan?"

Haikal kembali mengingat kejadian tadi malam. Ah, bagaimana bisa ia mengatakan hal itu. Sekarang malah ia yang susah, kan.

"Ck, nggak! Sampai kapan pun gue bakal urusin hidup lo. Tadi malam itu khilaf, Bel. Maaf, ya?" Haikal mengeluarkan tatapan sendunya. Bella sangat lemah jika Haikal sudah seperti ini, bawaannya pengen manjain Haikal terus.

"Lo bilang bangsat ke gue."

Lagi dan lagi Haikal merasa bersalah kepada Bella. Haikal merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga ucapannya saat sedang emosi. "Bella, maafin ...," pintanya sambil menggenggam kedua tangan Bella.

Bella diam saja. Ia tidak berniat untuk buka suara sama sekali. "Bel, maafin, ya? Janji nggak lagi, Bel."

"Ya udah, iya," jawab Bella sambil membuang muka.

Senyuman termanis mengembang di wajah Haikal. "Makasih," ucapnya dan langsung memeluk Bella.

"Jangan deket-deket Bara, ya?"

"Nggak."

Mendengar jawaban itu, tangan Haikal yang berada di pinggang Bella beralih menjadi di perut untuk menggelitik gadis itu. "Kal, geli."

"Jangan deket-deket Bara!" Ia masih terus menggelitik perut Bella.

"Iya, Kal, iya. Udahan gelitiknya, geli tau," pinta Bella di sela-sela tawanya.

"Pinter." Ia mengusap pucuk kepala Bella.

"Haikal." Teriakan seorang lelaki terdengar dari luar rumah Bella. Sepertinya suara itu berasal dari rumah Haikal.

"Bel ..., Adan sama Jiro, Bel."

Keduanya saling tatap dengan sorot kepanikan yang jelas dari mata mereka.

***

Setelah mendengar teriakan temannya itu, Haikal bergegas keluar dari rumah Bella. Namun, ia memeriksa kondisi di luar dulu dengan mengintip dari celah pagar rumah Bella. Untung saja Adan dan Jiro sudah berada di dalam rumah Haikal. Jadi, ia tidak perlu khawatir ketahuan Adan dan Jiro. Pastinya jika mereka tau Haikal keluar dari rumah Bella, mereka akan bertanya siapa pemilik rumah itu karena sepengetahuan mereka Haikal tidak memiliki teman di lingkungan rumahnya.

"Kenapa, sih, nggak bilang dulu kalau udah deket rumah gue," gumam Haikal penuh kekesalan. Kalau saja mereka memberi kabar terlebih dahulu sebelum sampai ke rumahnya, tentu saja ia tidak akan mendadak panik seperti ini.

Saat memasuki area rumahnya, ia mendapati kedua temannya itu tengah duduk di teras sembari menyesap rokok. "Kal, dari mana lo? Motor lo ada di rumah, kirain lo di dalam," tanya Adan.

"Gue dari warung, tapi barang yang mau gue beli nggak ada." Haikal memang paling jago kalau urusan berbohong. "Eh, ini lo pada nggak disuruh masuk sama bunda?" lanjutnya.

"Kayaknya nggak ada orang, Kal, di dalam," jawab Jiro.

Haikal mengangguk paham. Ia merogoh saku seragam sekolahnya untuk mengambil kunci rumah. "Masuk," suruhnya saat pintu terbuka.

"Buset, udah lama banget gue nggak ngehirup udara rumah Haikal," ucap Jiro saat masuk ke rumah Haikal.

"Jangan malu-maluin! Lebay banget," ketus Adan.

"Dih, sirik!"

Mereka menuju ruang televisi dan tentunya tujuan mereka adalah bermain PS.

"Itu PS bongkar aja, gue mau ambilin minuman dulu."

"Siap, Kal. By the way, yang perlu diisi bukan ginjal gue doang, lambung juga, hehe. Jadi, kalau bisa sama makanan, ya!" ucap Jiro dengan tidak ada malunya sama sekali.