webnovel

Suamiku Malu dengan Fisik Anakku

#Part2

Benar saja. Pagi ini, Mas Anton berangkat kerja pagi sekali.

Entahlah!

Sejak anak kami lahir, aku merasa sikapnya kian dingin. Bahkan sejak pulang kerumah, Mas Anton sama sekali tak pernah menyentuh putri kecil kami. Mau tak mau, aku harus menahankankan perih bekas bersalin, karena harus bangun tengah malam, untuk menyusui dan mengganti popok bayi tak berdosa ini.

"Mbok...

Sini, Mbok!"

Panggilku, saat Mbok Darni lewat pintu kamarku untuk bersih-bersih. Dia segera datang, dan meletakkan peralatan bersih-bersihnya.

"Ada apa, Non?"

Tanyanya. Aku tak menjawab, hanya memberi isyarat untuk mengikutiku menuju tempat tidur bayiku.

"Ya, Allah!"

Hanya itu kata yang terucap dari bibirnya, sembari menangkupkan jari kemulutnya. Aku sudah tak sanggup menahan isak. Kurebahkan kepalaku dibahu wanita, yang sudah mulai menua itu. Dia segera merangkulku. Seperti biasa, pelukannya mampu mengurangi sedikit beban yang terasa memberatiku.

"Yang sabar ya, Non. Walau bagaimanapun, anak ini adalah anugerah yang diberikan Allah. Jaga dan sayangi dia, Non. Pasti ada hikmah dibalik semua ini."

Hiburnya, sembari mengelus punggungku.

"Ya..

Aku mencoba untuk menerimanya, Mbok. Tapi Mas Anton...."

Ucapanku menggantung, karena isakanku. Sekilas kulihat, wanita disebelahku ini juga menyeka matanya yang basah.

"Mas Anton bahkan tak mau menyentuhnya, Mbok."

Lanjutku nelangsa, disela isakanku.

"Astagfirullahul'adzim!"

Ucapnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yang sabar ya, Non. Mbok yakin, Pak Anton pasti menyadari kekeliruannya."

Mbok Darni mencoba menghiburku, lagi.

"Semoga saja ya, Mbok."

Aku mengamini ucapannya, yang disambut anggukan asisten setiaku itu.

🍂 🍂 🍂 🍂

"Lho, Yas. Kapan kembali dari klinik?"

Sapa Bu Yayuk tetanggaku, saat melihatku diteras depan.

"Tadi malam, Bu. Mas Anton sibuk. Jadi ya, sempatnya cuma malam hari."

Jawabku, sekenanya.

"Oh, gitu. Kamu dan bayimu sehat, kan?

Maaf ya, belum bisa jenguk. Ini ibu buru-buru mau ke sanggar."

Ucap wanita itu, ramah.

"Alhamdulillah sehat, Bu.

Iya, nggak apa-apa kok, Bu."

Aku malah bersyukur, instruktur senam itu belum bisa menjengukku dan bayiku. Entah kenapa, meski didepan Bu Bidan dan Mbok Darni kuakui telah menerima dengan ikhlas, kondisi fisik anakku. Namun, aku merasa malu untuk menunjukkannya pada orang-orang.

"Ntar malam kalo sempat, Ibu ngajakin ibu-ibu yang lain deh, jengukin si debay, Yas."

Ucapnya, sambil berlalu.

Deg!

Ngajakin teman-teman, untuk jengukin bayiku?

Kok, rasanya seram ya, mendengar itu.

"Non Yasmin, Dedek bayinya nangis, nih."

Lamunanku buyar, melihat Mbok Darni tiba-tiba sudah berdiri didepanku. Dan, dia membawa bayiku kesini. Cepat-cepat kugendong dan kubawa kembali kedalam rumah. Bukan karena pamalih belum boleh keluar sebelum usia empat puluh hari, melainkan karena takut ada yang melihat.

"Non Yasmin juga malu dengan fisik anak ini?"

Selidik Mbok Darni, karena melihat ekspresiku yang berlebihan tadi.

"Ng... nggak kok!

Kasihan, dia masih terlalu kecil untuk dibawa keluar rumah, Mbok."

Aku mencoba berbohong. Tapi sebagai orang yang merawatku sejak kecil, Mbok Darni sudah faham betul gestur tubuhku. Dia hanya berlalu, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bayi dalam gendonganku masih menangis, saat anganku kembali berkelana ke omongan Bu Yayuk, tadi. Bagaimana kalau rombongan Ibu-ibu sanggar senam, yang kebanyakan ibu-ibu komplek kami itu, beneran datang malam ini?

Ah, rasanya aku belum siap mempertontonkan fisik bayi yang kuberi nama 'Arum Melati Ardhani' itu, pada mereka. Pasti mereka akan mengejeknya.

"Non Yasmin, dedek Arum masih menangis, tuh!

Kok, belum disusuin?"

Mbok Darni terlihat kesal, padaku.

"Eh...

I.. Iya, Mbok. Nih, mau disusuin."

Jawabku, tergagap.

Dan seperti biasa, aku kok ada rasa jijik menyodorkan ASI-ku, pada bayi dengan hidung yang rata dengan dengan mulutnya ini.

"Nyusuin tuh yang bener, Non!

Jangan setengah hati."

Lagi-lagi Mbok Darni menegurku.

"Aku kok merasa nggak suka ya Mbok, menyusui bayi cacat ini."

Ucapku, terus terang.

"Astaghfirullah, eling Non!

Non Yasmin nggak boleh punya pikiran seperti itu. Dia anak kandung Non Yasmin!

Mbok mohon, jangan pernah ada lagi pikiran seperti itu, dibenak Non Yasmin. Sadar Non!

Sebelum ASI Non mengering, akibat ketidak ikhlasan Non, menyusui bayi tak berdosa ini."

Ucapnya, panjang lebar.

"Ya, Allah. Maafkan kekhilafan hamba. Hamba hanya butuh waktu, untuk menerima kenyataan ini, sepenuhnya."

Aku menyadari kesalahanku.

"Alhamdulilah. Non tau nggak, kalau insting bayi itu begitu kuat, Non. Dia tau emosi yang dialami ibunya, hanya dengan sentuhan jarinya. Dan, sepertinya Arum tau, ibunya tak ikhlas menyusuinya. Makanya dia rewel."

Mbok Darni menamparku dengan kata-kata yang tak kuduga, sama sekali.

Benar saja. Saat aku menyusui bayi Arum, dengan ikhlas dan tatapan penuh kasih sembari menggenggam jari-jemari mungilnya. Ajaib, seketika dia berhenti menangis dan terlelap dalam dekapanku.

Ah, kenapa aku terlambat menyadari indahnya jadi ibu, hanya karena bentuk fisik anakku yang lain dari kebanyakan bayi?

Astaghfirullahul'adzim.

Sekali lagi, aku memohon ampun atas kekhilafanku, ya Rob.

🍂 🍂 🍂 🍂

"Nggak!

Pokoknya mereka nggak boleh, menjenguk bayi itu!"

Ucap Mas Anton tegas, saat kuutarakan niat Bu Yayuk dan teman-teman, untuk menjenguk baby Arum.

"Tapi kenapa, Mas?

Apa alasannya mereka nggak boleh jenguk?"

Tanyaku.

Dia terdiam, tak bisa menjawab pertanyaanku.

"Jawab, Mas!

Kamu malu dengan kondisi fisik Arum, hah?"

Serangku.

"Iya!

Memangnya kenapa?

Salah siapa kamu melahirkan bayi jelek, begitu?"

Tak kuduga, kata-kata picik itu keluar dari mulutnya.

"Terus, mau sampai kapan?

Sampai kapan kamu bisa menutupi fisiknya, dari orang-orang?

Sadar, Mas!

Dia itu anak kandungmu. Harusnya kamu orang yang berada di garda depan, saat ada orang yang mencemoohnya. Bukan sebaliknya!"

Kecamku. Air mataku sudah tak dapat kubendung. Tepat dikalimat terakhirku, terdengar tangisan dari ranjang baby Arum. Betul kata Mbok Darni, bayi sangat peka dengan apa yang dirasa orang tuanya.

"Pokoknya, aku tak akan pernah menghalangi niat baik orang untuk menjenguk Arum. Kalaupun ada diantara mereka yang mengejeknya, biar itu menjadi dosa yang harus dipertanggung jawabkannya didepan Tuhan. Karena Arum Melati putriku, juga makhluk ciptaan Tuhan. Sama seperti mereka."

Aku mengakhiri pembicaraan kami dan bergegas menuju ranjang Arum.

🍂 🍂 🍂 🍂

"Assalamu'alaikum."

Terdengar suara salam, dari arah depan. Itu suara Bu Yayuk.

"Wa'alaikum salam."

Mas Anton yang kebetulan duduk diteras, menjawab salam mereka.

"Ibu-ibu mau menjenguk Yasmin dan bayi kami, ya?

Kebetulan mereka sudah tidur. Ibu-ibu boleh pulang, sekarang!"

Ternyata benar, Mas Anton tak ingin orang-orang tau, wajah putrinya.

"Eh, ada Bu Yayuk.

Mari masuk, Ibu-ibu!"

Aku yang sudah berada didepan pintu, mempersilahkan mereka masuk. Terlihat jelas, kalau Mas Anton menunjukkan ekspresi kecewa.

"Kebetulan, aku baru menyusui baby Arum.

Yuk ibu-ibu, kita ngobrolnya diatas saja. Baby Arum lagi tidur diranjangnya."

Ajakku, mantap. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya.

"Oh. Kalau babynya udah tidur, nggak apa-apa kok, Yas. Kita bisa menjenguknya besok-besok."

Ucap Bu Fatma. Ibu kepala lingkungan kami, yang terkenal ramah.

"Ah, nggak apa-apa kok, Bu Fatma. Ibu-ibu kan niatnya buat jenguk si debay. Lagian, sebentar lagi juga paling dia bangun lagi. Siklus bayi baru lahir kan, emang seperti itu."

Ucapku, sambil tersenyum ramah.

"Mbok, tolong buatin minum dan antar keatas, ya!"

Pintaku pada Mbok Darni, yang langsung muncul, begitu mendengar suara kami.

"Iya, Non."

Dia segera bergegas, kedapur.

"Assalamu'alaikum, baby Arum. Bangun sayang!

Nggak sopan menyambut tamu, sambil tidur begitu, Nak."

Ucapku, sedikit bercanda.

Terus terang, rasa malu itu masih ada direlung hatiku. Sengaja aku tak melihat ekspresi mereka, begitu melihat wajah putriku. 😢

🍂 BERSAMBUNG 🍂