...membuka celana sang perempuan dengan penuh kekuatan. Tendangan itu tepat mengenai sasaran
"Bug!" Lelaki itu terpelanting. Pingsan. Lelaki satunya kaget dan langsung refleks melompat. Rupanya lelaki itu bisa bela diri. Lelaki itu marah bukan main melihat temannya terkapar. Ia langsung memasang kuda-kuda.
***
Siti yang terbebaskan dari kuncian langsung melepas kaos kaki yang disumpalkan ke mulutnya. Gadis itu minggir dan berteriak-teriak minta tolong sekencang-kencangnya.
Penjahat itu mengeluarkan pisau lipat dan menyerang Faris. Tapi Faris adalah seorang santri pendekar. Ia menghindar dan sekaligus menyerang balik. Penjahat itu kaget ketika tahu-tahu tangannya sudah tertekuk dan pisau lipat itu sudah menancap di lambungnya. Faris menghantam muka penjahat itu sekuat tenaga. Penjahat itu roboh sambil mengerang kesakitan. Faris memegang kaki kanan penjahat itu dan meninju bagian lututnya dengan sekuat tenaga, persis seperti saat ia meninju balok kayu saat latihan untuk dipatahkan.
Krak!
"Aduuh!"
Kaki kanan penjahat itu langsung patah. Faris lalu menghampiri penjahat yang pingsan dan melakukan hal yang sama pada kaki penjahat itu. Siti masih berteriak minta tolong.
Faris mendekat.
"Sudah, sudah. Kamu sudah selamat!"
Siti diam.
"Dua penjahat itu sudah tak berdaya sekarang. Mari kita lapor ke kampung terdekat."
Dalam keremangan gelap, Faris tidak bisa melihat jelas wajah perempuan itu. Siti juga tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang yang menolongnya. Tapi Siti seperti mengenal suaranya.
"Terima kasih. Suara abang seperti ... seperti Uda Farus, kakak saya."
Faris kaget.
"Siti?!"
"Uda?!"
"Iya saya. Kamu Siti?"
"Iya."
Siti langsung menangis dan menghambur memeluk Faris. Pemuda itu membiarkan adik sepupunya memeluknya.
"Kalau Uda Faris tidak datang, entah bagaimana nasib Siti." Hatinya yang merasa takut, kini bercampur lega dan haru.
"Sesungguhnya Allah yang menyelamatkan. Tapi kenapa bisa ada di kebon kopi malam-malam begini?"
Siti terisak, "Ceritanya panjang."
Gadis itu melepas pelukannya lalu meraba mencari senter kecilnya. Setelah ketemu, ia mencari keranjang dan termos yang tadi ia tenteng.
"Tadi Siti jualan di pasar malam."
"Sudah, ceritanya nanti di rumah saja. Sebentar lagi hujan. Kita lapor ke kampung terdekat biar dua penjahat itu diamankan, lalu kita pulang. Kita ke jalan aspal. Motor uda ada di sana, semoga tidak hilang."
Faris menggiring Siti berjalan menuju jalanan beraspal. Sementara penjahat yang tertusuk pisaunya sendiri itu berusaha kabur meskipun kaki kirinya telah patah. Ia berusaha mengesot pergi dari tempat itu, sebab ia tahu tak lama lagi warga kampung akan datang. Dan nyawanya bisa terancam bahkan melayang jika sampai tertangkap. Ia terus mengesot meninggalkan temannya yang pingsan.
***
Hujan deras mengguyur Pondok melati. Faris masih rukuk dan sujud di kamarnya. Dalam sujudnya ia menangis mendoakan kakeknya. Usai witir ia turun dari kamar. Rumah kakeknya itu adalah rumah panggung berlantai papan. Beberapa tahun yang lalu, ruang utama rumah itu adalah di lantai atas, sedangkan di lantai bawah adalah gudang dan tempat menyimpan kopi yang dipanen. Tetapi sejak Nenek Masna susah berjalan dan naik-turun tangga, kamar dan ruang utama kegiatan kakek dan neneknya dipindah ke lantai bawah. Tangga ke atas yang tadinya ada di samping rumah pun dipindahkan ke dalam, begitu pula ruang tamu. Ruang atas hanyalah kamar Faris dan kamar-kamar yang kosong.
Faris lalu memasuki kamar kakeknya. Nenek Masna sudah ia tuntun untuk istirahat dan tidur di kamar sebelah. Sementara dirinya akan menemani kakeknya yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Kembali air mata Faris meleleh melihat kondisi kakeknya. Sudah dua bulan lebih kakeknya koma. Siti menjelaskan, awalnya Kakek jatuh di tangga masjid saat mau pulang dari shalat Shubuh. Saat itu Kakek pingsan, sempat sadar sebentar lalu pingsan lagi. Karena tidak bangun-bangun, Kakek dibawa ke rumah sakit daerah dan langsung masuk ICU.
Selama satu bulan Kakek dirawat di ICU tapi tidak ada perkembangan. Pihak rumah sakit sudah angkat tangan. Kalau pengobatan mau dilanjutkan, akan dirujuk ke Kota Singgalang yang lebih baik fasilitas dan segalanya. Dengan rasa sedih dokter menjelaskan, bahwa harapan untuk sembuh secara medis sangatlah tipis. Akhirnya Kakek dibawa pulang karena biaya pengobatan di rumah sakit tidak murah, dan ikhtiar bisa tetap dilakukan di rumah. Tanah dan rumah milik Nenek Masna bahkan sudah digadaikan untuk membayar pengobatan Kakek Mihun.
Faris melihat air yang menetes pelan dari kantong infus ke selang. Dari air infus itulah kakeknya bertahan. Jika infusnya mau habis, Siti menggantinya dengan kantung infus yang baru. Ia diajari oleh suster di rumah sakit bagaimana caranya memasang, mengganti, dan menangani infus itu. Nenek Masna cerita kalau sebenarnya masih ada uang satu juta lebih sedikit dari menggadaikan tanah itu. Uang itu merupakan persediaan untuk membeli infus dan berjaga-jaga kalau ada apa-apa. Karena itulah, Siti kini berjualan agar dapat uang untuk dapat makan sehari-hari. Hanya Siti yang masih bisa aktif mencari rezeki untuk makan.
"Beruntung Siti tidak seperti anak-anak lain seusianya yang malah menyusahkan orang tua. Siti justru hidup susah karena kami, orang-orang tua yang tidak berdaya. Ya Allah, semoga anak itu diberi barokah oleh Allah," ucap Nenek Masna kepadanya sebelum tidur.
Air mata Faris kembali meleleh. Hatinya dipenuhi rasa haru teringat perjuangan Siti. Adik sepupunya itu sampai harus berjualan gorengan setiap kali ada kesempatan. Dan ia melihat sendiri perjuangan adiknya malam-malam, dan nyaris menjadi korban penjahat. Ia menyayangkan, kenapa Siti tidak memberitahu dirinya sejak hari pertama Kakek masuk rumah sakit? Jika ia diberi tahu, maka dialah yang akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengais rezeki untuk keluarga.
Siti berulang kali menjelaskan, bahwa sebenarnya sudah lama ia ingin meminta kakaknya itu pulang, tidak hanya ketika Kakek Mirhun sakit. Sejak Nenek Masna susah jalan pun ia sudah berpikir bahwa sebaiknya kakaknya itu pulang. Tetapi pesan Kakek Mihun untuk tidak mengganggu kakaknya di pesantren selalu menjadi pegangan. Faris mendesah, pasti semua ada hikmahnya.
Pemuda itu melihat jam dinding yang tergantung di dekat pintu kamar. Sudah jam setengah empat. Ia sesungguhnya sangat lelah. Perjalanan naik sepeda motor dari Kota Singgalang sampai ke Pondok Melati yang berada tepat di sebelah tenggara Gunung Singgalang itu sangat melelahkan. Namun melihat sendiri apa yang dialami Siti dan menyaksikan kakeknya yang tidak berdaya, membuat rasa letih dan capeknya itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Karena tidak bisa memejamkan mata, maka ia memilih untuk menunggui kakeknya. Sesekali ia memijit kaki atau tangan kanan kakeknya yang tidak dipasang infus. Sesekali ia bercerita, mengajak kakeknya berbicara.
Sementara itu, Siti juga tidak bisa tidur di kamarnya.