webnovel

Peri Bulan dan Miliarder

Ini merupakan perjalanan kisah. Kepercayaan kuno yang telah bertahan hingga ribuan tahun menuju ke dunia modern. Entah dia nyata atau hanya mitos. “Kalian tentu mengenal ramalan tujuh ribu tahun yang lalu. Seorang anak manusia yang lahir untuk menaklukan klan bumi dan bulan. Misi kalian adalah memandu mereka yang memiliki kekuasaan di bumi agar tetap berada di jalan kebenaran.” “Siap, Dewi!!!” para peri memberi hormat kepada Dewi Bulan. Dia yang kekuatannya paling lemah. Mulai mengetuk hati sang miliarder. “Harus selalu berada di jalan kebenaran. Itu syarat agar kamu bisa menjadi penguasa dunia!” “Aku akan berada di jalan kebenaran. Tapi kau harus memenuhi satu syarat dariku.” . . Akankah dia mampu menyelesaikan misi dari Dewi Bulan? . Atau membawa petaka yang lebih besar? . . “Aku adalah Peri Bulan. Tugasku memandumu menuju jalan kebenaran. Kamu tidak boleh berbuat kejahatan...” Brakkkk, sang miliarder menaruh benda hitam di meja dan menatap Peri Bulan penuh kebencian. Peri Bulan bergidik ketakutan. Ia menghela napas dan menjinakkan tatapannya. “Ini namanya recorder. Kau bisa berbicara sepanjang yang kau mau. Akan kudengarkan ketika aku memiliki waktu luang.”

Alwayssunrise · Fantasi
Peringkat tidak cukup
1 Chs

0

Tujuh ribu tahun yang lalu, seorang penguasa negeri menengadahkan kepalanya melihat bulan purnama di balkon ruangannya. Tidak lama sebuah cahaya melesat turun dari langit. Seorang Dewi berdiri dihadapan penguasa negeri.

"Kau telah memaafkanku?" Sang penguasa negeri menatap Dewi itu nanar.

"Aku datang kemari hanya untuk membicarakan ramalan. Aku tidak berniat membahas hal lainnya."

"Bisakah kamu tidak sedingin ini?"

"Aku seperti ini Baginda. Aku tidak pernah berubah."

"Omong kosong." Suara penguasa negeri meninggi. "Aku orang yang paling berkuasa sekarang. Apapun yang aku katakan adalah mutlak. Semua orang harus tunduk kepadaku. Akan kuperintahkan para prajurit untuk menaklukkan bulan. Dan kau harus menjadi permaisuri ku!"

Suara keangkuhan penguasa negeri hanya dibalas dengan senyuman seorang Dewi. Senyuman dingin, sedingin malam ini.

"Manusia dan Dewi berbeda. Aku tidak menaruh rasa dendam untuk masa lalu, juga janji yang telah kau ingkari. Itu tidak masalah lagi." Dewi berbalik melihat rumah-rumah penduduk dari atas balkon. "Hingga tujuh ribu tahun mendatang, perjanjian bumi dan bulan akan tetap sama. Para peri akan memandu para penguasa berbagai negeri. Tanpa batas ruang dan waktu. Sampai ramalan itu datang, seorang anak manusia akan lahir dengan ambisi dan obsesi yang mampu membawa malapetaka."

Dewi kembali melihat penguasa negeri. "bermurah hatilah, lahirkan generasi yang rendah hati dan bijaksana..."

Penguasa negeri tertawa angkuh, "Ya, aku mendengar ramalan itu. Maksudmu, anak manusia yang mampu menaklukkan bumi dan bulan?"

Penguasa negeri meraih helaian rambut panjang Dewi kemudian menciumnya. "Bagaimana jika kupercepat ramalan itu, mungkin anak itu sudah dilahirkan."

Dewi menatapnya tidak suka kemudian menyingkir dari sisi penguasa negeri. Pria itu melanjutkan kata-katanya,

"Aku yang akan menaklukan seisi bumi dan bulan. Akulah yang akan menjadi ramalan itu."

"Ha...tampaknya kamu sangat yakin dengan hal itu."

Dewi terbang menuju langit dan mulai mengeluarkan kekuatannya. Suara petir menggelegar dan tebing-tebing tinggi disisi bulan hancur disusul anak tangga menuju bulan yang ikut hancur satu demi satu.

Penguasa negeri terperanjat melihatnya. Ia tidak mampu bersuara.

Dari atas langit Dewi berbicara, "Pikirkanlah cara, bagaimana kamu menaklukan bulan sampai waktu ramalan itu tiba. Aku akan menunggumu. Tentunya, jika kau tidak akan mengingkari kata-katamu lagi."

"Dewi..." Suara penguasa negeri bergetar penuh kemarahan.

"Ini terakhir kalinya kita bertemu di bumi." Dewi melayang jauh meninggalkan bumi. Penguasa negeri menatapnya hingga menghilang ditelan malam. Penguasa negeri tidak tahu, diantara langit Dewi diam-diam mengusap cairan bening yang keluar dari matanya. Kisah mereka berakhir, namun tidak berakhir.

Ramalan. Menjadi cerita rakyat seiring berjalannya waktu. Kepercayaan dan rasionalitas mulai beradu kekuatan.

***

"Kau..."

Miliarder itu menempelkan telapak tangannya di dinding tepat disamping kepala wanita yang tiba-tiba muncul di ruangannya. Mereka berdiri didekat jendela yang mendapatkan cahaya dari rembulan. Tirai tipis melambai-lambai terkena angin yang masuk dari jendela yang terbuka lebar.

"Siapa kau?"

"Aku, peri bulan..." bisik wanita itu. Sang miliarder mencondongkan kepalanya.

"Kenapa kamu berbicara dengan berbisik, apa kau sedang menggoda ku?" Ia mengangkat dagu wanita itu dengan telunjuknya.

Peri bulan menyingkirkan telunjuknya dengan perlahan. "Aku tidak sedang menggodamu,"

"Lalu?"

Peri bulan mendekatkan bibirnya di telinga sang miliarder.

"Aku tidak ingin membangunkan gadis yang tidur diranjangmu. Dan tolong pakai bajumu, kamu bisa terkena flu."

Jika kau ingin melihat mata elang maka lihatlah matanya

Bola mata sekelam mata elang yang akan membuatmu tenggelam didalamnya

Jika kau tidak pernah jatuh cinta maka jatuhlah kepadanya, karena tidak ada yang lebih hangat dari pelukannya

Gavindra Hsia Azarta, generasi kesembilan keluarga miliarder dunia. Banyak wanita yang terpesona oleh harta, rupa dan fisiknya. Tapi ini pertama kalinya seorang wanita menyuruhnya memakai baju karena cuaca dingin.