webnovel

Apa Kedengarannya Terlalu Akrab?

Karena terlanjur bertemu Rei, pada akhirnya Aria pun jadi terpaksa mengekor dan mengikuti kegiatannya. Tapi karena orangnya cuma sibuk membeli ini-itu, Rei sudah tidak banyak mengoceh lagi padanya dan lebih fokus pada tumpukan kotak di tangannya, dan di tangan Aria.

"Tolong bawakan yang ini." Kata Rei yang langsung menyerahkan keranjang berat padanya. Aria hampir ingin protes, tapi karena dia tahu bawaan yang ada di tangan Rei masih jauh lebih berat, dia pun tidak bisa membantah.

Aria tidak bisa melihat semuanya, tapi selain kotak-kotak yang isinya entah apa, Rei juga membeli banyak benda-benda aneh. Misalnya sekarung pasir warna-warni, kain-kain perca, sampah kayu, peralatan makan, bahkan sampai macam-macam bibit tanaman.

Bahkan saat mereka sampai di kereta Rei, rupanya di sana juga sudah ada banyak tumpukan kotak dan karung lainnya. "Apa sudah cukup?" Gumam Rei yang anehnya kedengaran agak bangga melihat keretanya penuh.

"Daritadi kau keliling untuk membeli semua ini?" Tanya Aria setelah dia juga menyelipkan sangkar burungnya ke sana. "Untuk apa memangnya?"

"Macam-macam. Tapi kebanyakan untuk latihanmu." Jawab Rei, yang seketika membuat Aria mengerutkan alisnya diam karena dia sama sekali tidak punya bayangan apa maksud perkataannya.

Tapi sebelum dia bisa mempertanyakan itu, Rei sudah menoleh ke arah kusir pelayannya. "Bawa ini semua ke rumahku yang ada di perbukitan. Taruh saja semuanya di ruang tengah. Nanti Aku ke sana." Perintahnya.

Aria agak berharap Rei juga menyuruhnya untuk pulang duluan, tapi sayangnya kereta itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan mereka. "...Mungkin sebaiknya Aku ke tempat tuan Bishop dan Feny saja." Kata Aria kemudian.

"Tidak, kau ikut denganku saja." Balas Rei sambil jalan duluan. "Kau ingat kita masih perlu mencari artefak sihir untukmu kan? Karena kita sudah ketemu, sekalian saja sekarang."

"Di sini ada yang jual?"

"Tidak di sini. Dan tidak dijual juga."

"Maksudnya…?"

Rei kelihatan mendesah pelan, tapi kemudian dia memperlambat langkahnya supaya mereka berjalan sebelahan. "Namanya nyonya Loreine. Dia bangsawan yang terkenal punya banyak koleksi benda sihir." Ceritanya memulai.

"Dia jarang menjual barang-barangnya. Tapi kalau sedang beruntung, kadang dia bisa dibujuk." Lanjutnya lagi.

"Begitu." Sahut Aria seadanya. Tapi karena Rei masih kelihatan meliriknya, Aria jadi merasa agak aneh. "Ke-Kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja dia seorang peramal. Jadi nanti tidak usah panik kalau tiba-tiba dia membaca pikiranmu. Atau rencana kita." Balasnya.

"Oh? Benarkah?" Balas Aria yang malah terdengar kagum.

"...Jangan malah berpikir untuk minta diramal atau semacamnya." Balas Rei tidak senang. "Merepotkan."

Mendengar itu, Aria langsung cemberut. "Kenapa merepotkan? Ramalan biasanya bertujuan untuk membantu, kau tahu." Keluhnya.

Aria tidak pernah punya uang untuk pergi ke toko ramalan selama hidupnya, tapi dia selalu penasaran dengan hal seperti itu. Dia bahkan pernah ingin mempelajari caranya meramal kalau saja dia bisa membeli bukunya--yang sayangnya tidak bisa.

"Atau bikin orang paranoid." Balas Rei kemudian.

"Lagipula memangnya kau mau minta ramalan apa?" Tanyanya lagi. Aria kelihatan sibuk memilih jawabannya, jadi Rei pun menebaknya duluan. "Tentang keberadaan keluargamu di sini?"

"..." Menghentikan langkahnya, Aria pun menoleh ke arah Rei dengan canggung.

Rei jelas tahu pertanyaan itu selalu membuat Aria tidak nyaman. Meski begitu dia sama sekali tidak membiarkannya kali ini dan mulai membalas tatapan Aria dengan serius.

Jadi setelah mengumpulkan keberaniannya, Aria pun mencoba untuk menjawabnya. "Sebenarnya… Aku juga tidak yakin kalau Aku mau mencari mereka." Katanya memulai.

"Aku tidak yakin kenapa dan bagaimana, tapi sepertinya ibu dan ayahku dulunya diusir oleh keluarga mereka di sini…" Dan akhirnya Aria pun mengatakannya.

Rei terdiam agak lama seperti sengaja membiarkan Aria berduaan dengan perasaan muramnya dulu. Tapi setelah beberapa saat dia pun membalas. "Yaa, keluarga memang tidak selamanya baik." Katanya. "Kau ingat kucing setan yang waktu itu? Pamanku yang mengirimnya."

"..." Kaget sekaligus bingung, Aria ingin menuduh kalau Rei pasti hanya mengarang. Tapi karena orangnya tidak kelihatan bohong, Aria pun menelan tuduhannya.

Sehingga Rei pun kembali melanjutkan. "Kalau Aku jelas tipe yang mau balas dendam, tapi kau sepertinya tidak?"

"Mm, untuk sekarang Aku hanya sedikit penasaran, sebenarnya orangtuaku salah apa sampai mereka harus diusir dari sini."

"Siapa tahu bukan orangtuamu yang salah."

Aria tersenyum kecil dan membalas. "Kuharap begitu." Ujarnya.

Setelah itu keduanya kembali berjalan. Tapi saat menyadari kalau perasaannya jadi sedikit membaik, Aria pun kembali melirik ke arah Rei. "...Tuan Rei rasanya sedikit aneh." Celetuknya tanpa sadar.

Walaupun kalau melihat Rei yang langsung menoleh, kelihatannya dia mendengar itu. "Aneh apanya?"

"Ti-Tidak ada."

Rei masih mengerutkan alisnya, tapi akhirnya dia hanya mengabaikannya. "Bicara tentang aneh, cara bicaramu juga aneh, kau tahu. Masih memanggilku 'tuan' meski kalimat sisanya sudah informal." Balas Rei yang nadanya setengah mencibir.

"Pilih salah satu." Lanjutnya. "Kalau kau sudah tidak bisa bicara formal padaku, kau bisa memanggil namaku saja sekalian."

"...Maksudnya Rei?"

"Kenapa? Apa kedengarannya terlalu akrab?"

"..." Tidak tahu bagaimana menjawabnya, Aria tadinya cuma bisa mengalihkan wajahnya.

Tapi karena merasa aneh menghentikan percakapannya di situ, Aria pun akhirnya membalas. "I-Itu juga, tapi, mm, bagaimana mengatakannya… Kau rendah hati sekali." Katanya kemudian. "Kebanyakan bangsawan biasanya tidak suka dipanggil dengan namanya saja."

Tapi Rei malah mendengus mendengarnya. "Kau menghinaku?"

"...Harusnya sih itu pujian."

Kelihatan tidak puas dengan balasan itu, Rei awalnya terus saja diam sambil menyipitkan matanya pada Aria. Tapi sesaat kemudian, dia pun menghela napas pendek. "Kalau begitu pakai tuan saja."