"Lihat itu!! Lihat!" Sheniok menyela, suaranya terdengar emosional. "Kau bersikap keras! Sikap keras itu sama seperti sikap yang kuturunkan padamu! Sikap keras adalah sikap yang bisa membuatmu bertahan hidup. Kau layak bersamaku..." ujarnya dengan tatapan penuh keyakinan.
Kata-kata itu membuat Ima terdiam sejenak. "(Aku... Apakah aku akhir-akhir ini menggunakan sikap keras bahkan padanya? Sejak kapan gadis baik sepertiku melakukan itu... Tidak... Tidak... Ibu selalu mengajarkan aku untuk menjadi gadis baik dan lembut. Kenapa aku harus bersikap begini... Di mana citraku...)" Pikirannya berkecamuk, dan tanpa ia sadari air mata mulai mengalir di pipinya. Sheniok terkejut melihat itu, tapi Ima tak peduli.
Tanpa berkata apa-apa, Ima tiba-tiba berbalik dan berlari secepat yang ia bisa. Langkahnya tergesa, penuh dengan dorongan emosi yang tak terbendung lagi. "Ima!!! Kembalilah!!" teriak Sheniok dari belakang, suaranya menggema di jembatan. Tapi Ima terus berlari, membiarkan suara itu tertinggal di belakangnya.
"Sial," gumam Sheniok dengan nada kesal.
---
Ima berlari tanpa arah, membiarkan kakinya menuntun di bawah langit malam yang kelam. Udara dingin menyelinap melalui pori-porinya, membawa perasaan kosong yang semakin menguasai dirinya. Dia berhenti di dekat sebuah gedung tua, nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar akibat lelah dan emosi yang bercampur. Tangisnya meledak, namun suaranya tertahan di dalam tenggorokan, seperti dia takut dunia tahu betapa rapuhnya dirinya saat ini.
"(Hiks... Kenapa... Kenapa aku harus lahir di keluarga yang tak utuh? Kenapa... Aku selalu kecewa pada kondisi seperti ini? Aku mencoba menerima semuanya... Tapi ini tidak cukup... Aku takut kehidupan seperti ini akan menjadi kehidupanku nanti di masa depan...)" pikirnya sambil menyeka air mata yang terus mengalir, meskipun hatinya sudah kelelahan menangis. Kegelapan malam terasa menyelimuti jiwanya, seperti memenjarakan harapan yang dulu ia miliki.
Setibanya di rumah, Ima mendapati ibunya menyambutnya di ruang tamu yang temaram. Lampu kuning redup membuat bayangan ibunya tampak panjang di dinding, menciptakan suasana yang semakin berat bagi Ima. "Ima?" panggil ibunya dengan lembut, matanya memeriksa raut wajah Ima yang tampak suram. Ibu merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak biasa. "Ima? Kenapa? Ada sesuatu? Bagaimana urusanmu dengan manajermu itu?" tanya ibu dengan suara penuh perhatian, meski nada khawatir tak bisa disembunyikan.
Namun, Ima tetap terdiam, hanya menatap ibunya dengan sorot mata yang penuh kekecewaan dan kepedihan. Dalam diamnya, ada ribuan pikiran yang berputar-putar di benaknya, tapi bibirnya terlalu berat untuk menyampaikan semuanya. Akhirnya, dia mengangkat wajahnya dan berkata dengan nada dingin, "Ibu... Sebenarnya, kenapa kau harus menikahi ayah jika sikap ayah sudah seperti itu sebelum kalian menikah?" Tatapannya suram, suaranya terdengar getir, seolah menuduh takdir yang mempermainkan kehidupannya.
Pertanyaan itu menghantam ibunya seperti petir di siang bolong. Tatapan ibunya seketika kosong, lidahnya kelu, tak mampu menjawab. Ia menatap Ima yang berdiri di depannya, melihat anak perempuan kecil yang dulu begitu ceria kini telah tumbuh menjadi seseorang yang dipenuhi luka dan kebingungan. Dalam hening itu, pikirannya melayang ke masa lalu, ke keputusan-keputusan yang telah diambilnya dan konsekuensi yang kini harus diterima oleh Ima.
Aura yang terpancar dari Ima begitu berbeda. Ada rasa kecewa yang begitu mendalam di sana, seperti dinding tak kasat mata yang memisahkannya dari dunia. Ima merasa terasing di tengah kehidupannya sendiri, seperti penumpang dalam kapal yang kehilangan arah. Dia lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Hidup yang selama ini membentuknya menjadi kuat ternyata juga membuatnya rapuh. Di balik wajah tegar itu, ada keinginan sederhana yang selalu dia sembunyikan—keinginan untuk dimengerti, untuk tidak merasa sendirian.
"Ima..." panggil ibunya dengan nada lembut. Ia perlahan mendekati Ima, lalu dengan penuh kasih, memegang kedua pipi anaknya. Namun, Ima menundukkan wajahnya, menghindari tatapan ibunya. Kekecewaannya begitu dalam, terutama terhadap pilihan ibunya yang telah membawa mereka ke situasi ini. Ima merasa seperti dikhianati oleh kenyataan, seperti hidupnya adalah serangkaian keputusan yang tidak pernah melibatkan dirinya.
"Maafkan ibu... Cinta memang tidak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita tak bisa memprediksi kehidupan seperti apa yang akan datang. Takdir sudah mengatur semuanya, dan ibu minta maaf..." kata ibunya pelan, dengan nada yang hampir pecah. Matanya memohon pengampunan, meskipun ia tahu bahwa permintaan maaf tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka di hati Ima.
Namun, Ima perlahan menyingkirkan tangan ibunya dari pipinya. Tatapannya masih dingin, penuh dengan rasa getir yang tak bisa disembunyikan. "Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah bertanya hal itu. Aku tidak akan bertanya lagi, dan aku juga tidak akan mengatakan apapun lagi," jawabnya, suaranya terdengar berat namun tegas. Setelah itu, dia berjalan melewati ibunya, meninggalkannya dalam kebingungan dan rasa tak percaya.
Ibunya hanya bisa menatap punggung Ima yang semakin menjauh, dengan pikiran yang penuh kerisauan. Dia tidak menyangka gadis kecilnya, yang dulu ceria dan penuh tawa, kini telah tumbuh menjadi seseorang yang begitu dewasa namun terluka. Ima telah belajar memahami kehidupan yang tidak adil, tetapi dalam pemahaman itu, dia kehilangan sebagian dari keceriaannya.
Ima melanjutkan kesedihannya di dalam kamar. Dia duduk di atas ranjang, memandang lantai tanpa berkedip, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan. "(Kehidupan seperti apa yang sebenarnya aku jalani ini?)" pikirnya dalam hati, sementara kesunyian kamar semakin menekan jiwanya yang lelah.
Tapi siapa yang menyangka, ponselnya berbunyi. Telepon membuat Ima terdiam sejenak, matanya memandang layar ponsel yang menampilkan nama yang sangat familiar. Ponsel itu bergetar pelan, seakan memberi isyarat bahwa sebuah harapan kecil telah kembali muncul dalam hidupnya. Dia menatapnya dari jauh, merasa bimbang, seolah-olah tidak percaya bahwa ini adalah kenyataan. Setelah beberapa detik, dia akhirnya mengambil ponselnya dengan tangan gemetar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ketika melihat siapa yang menghubunginya, dia langsung tahu bahwa itu adalah Regis. Rasanya seperti mimpi yang tidak ingin dia akhiri.
Seketika, wajah Ima langsung tidak percaya. "Mas Regis?!" Ucapnya dengan suara yang hampir terpecah. Dengan cepat, dia langsung mengangkat telepon itu, seolah takut jika dia terlambat. "Halo?" Tanyanya dengan hati yang berdebar kencang, hampir tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Kemudian terdengar suara Regis yang membuat jantung Ima semakin berdetak kencang. "Ah, Ima..." Suara itu, meskipun hanya terdengar dari ujung telepon, seakan menyentuh setiap sudut hatinya. Suara yang telah lama ia nantikan, suara yang membuatnya merasa bahwa dunia ini seakan berhenti sejenak, hanya untuk mereka berdua.
Bahkan di saat itu juga, air mata Ima mengalir tanpa bisa ia tahan. Dia tak percaya dengan apa yang terjadi, bahkan tidak yakin bisa mendengar suara Regis lagi setelah sekian lama. Hatinya terasa penuh dengan berbagai perasaan yang saling bertabrakan. Ia tidak kuat menahan air mata kerinduannya. Sementara di sisi lain, Regis berbicara dengan suara yang lancar, penuh kelembutan yang tak pernah hilang. "Ima, sudah lama kita tidak mendengar satu sama lain... Maafkan aku karena sibuk, aku benar-benar merindukanmu..." kata Regis, suaranya yang hangat dan penuh penyesalan menyusup masuk ke dalam hati Ima.
"Aku... Aku juga... Merindukanmu..." kata Ima dengan suara yang begitu berat dan penuh perasaan. Tanpa sadar, air matanya semakin deras mengalir. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti menambah beban yang sudah lama ia pendam. Tangisannya tak bisa berhenti, bahkan Regis bisa mendengar betapa dalamnya kesedihan yang terasa.
Regis saat ini ada di sebuah apartemen sederhana. Meskipun suasana di sekitar Regis tampak tenang, namun ada sesuatu yang tidak biasa. Ia duduk di sofa yang terlihat agak usang, tangannya memegang sekaleng soda dengan tatapan kosong. Meskipun begitu, ada aura kelelahan yang jelas terlihat di wajahnya. Aneh rasanya, mengingat ia selalu tampak kuat dan tak tergoyahkan. Namun kali ini, tubuhnya yang telanjang dada memperlihatkan banyak bekas luka baru. Seperti ada yang menguji batas kekuatannya. Sepertinya dia mengobati lukanya sendiri dengan tangan yang sudah lelah. Ima tidak bisa menahan rasa khawatirnya, bertanya-tanya dari mana Regis mendapatkan luka sebanyak itu. Tetapi, wajah Regis tetap terlihat santai, seolah luka-luka itu bukanlah hal yang begitu penting.
Regis yang mendengar suara Ima yang gemetar karena sedih, merasa hatinya terenyuh. Sebuah senyum lembut muncul di wajahnya, meskipun ada kelelahan yang jelas terpancar. "Ima... Tenanglah ya... Aku tahu perasaanmu..." kata Regis dengan suara yang sangat lembut. "Aku sebentar lagi akan selesai, setelah itu aku akan pulang menjemputmu, kemudian kita bisa menikmati hari-hari bersama kita... Tetaplah sabar menungguku..." tambahnya, mencoba menenangkan Ima meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan.
"Tapi... Kapan kamu akan pulang?" Suara Ima kembali terdengar cemas, meskipun ia berusaha menahan tangisannya. Semua yang ia inginkan hanya satu, yaitu bisa bertemu dengan Regis dan melepas rindu yang sudah begitu lama terpendam.
"Sebentar lagi, aku janji... Sebentar lagi..." kata Regis meskipun dia tahu, di dalam hatinya, ia tidak bisa menepati janji itu dalam waktu dekat. Namun, ia ingin agar Ima merasa tenang, setidaknya untuk sementara waktu. Dengan lembut, ia ingin mendengar Ima tersenyum, merasa lebih baik setelah mendengarkan suaranya. "Baiklah..."
"Itu baru gadisku..." kata Regis dengan penuh kasih sayang, membuat Ima tertawa kecil mendengarnya. Sebuah tawa yang tulus meski ada kesedihan di baliknya.
Kemudian Regis mengakhiri pembicaraan dengan lembut. "Kalau begitu, tidurlah sekarang, hampir larut... Mimpi indah, sayang..."
"Ya..." Ima mengangguk membalas, meskipun mereka berdua tahu bahwa jarak masih memisahkan mereka. Mereka menutup panggilan dengan perasaan yang bercampur aduk. Ima kembali berbaring di tempat tidurnya, dengan senyuman manis yang mulai menghiasi wajahnya. "Mas Regis... Aku tak sabar bertemu denganmu..." Bisiknya pelan, tampak mulai bersemangat, seolah rasa sedihnya mulai menguap. Keberadaan suara Regis membuat segalanya terasa lebih baik, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada harapan yang baru tumbuh dalam hatinya.
"(Ini benar-benar membuatku senang....)" Pikir Ima, mencoba menenangkan dirinya, meskipun hatinya terus dipenuhi oleh rasa rindu yang mendalam.