webnovel

Perasaan yang rumit

Aku terbangun, kilasan kejadian semalam terputar diotakku. Menatap Kak Dion yang masih tertidur. Bahkan saat dia tidur saja setampan ini. Ketakutan terlintas dikepalaku. Bagaimana dengan surat perjanjian itu? Bagaimana jika perasaan yang kurasa lebih dari sekedar nyaman?

Rasa takut kehilangan yang tidak pernah ada bahkan muncul untuk pria yang bahkan tidak tahu segalanya tentangku. Suka atau tidak suka aku harus menghentikan ini semua. Rasa ini mungkin salah jika pun benar aku pasti bisa menghentikannya.

"Sudah selesai memandangi ketampanan suamimu Ale?." Kata pria ini. Bahkan senyumnya terbit disaat matanya masih terlelap.

"Aku akan mandi." Kataku. Lalu bangkit. Pergelangan tanganku ditahannya, membuatku harus berbalik arah kepadanya.

"Tidak usah malu seperti itu. Aku sudah melihat semuanya. Masih sakit bukan?"

Aku balas menatap sendu matanya. Tidak ada kebohongan terlihat. "Jangan melamun. Aku bertanya padamu Ale."

"Sedikit."

"Perlu kugendong dan mendikanmu?"

"Jangan menggodaku kak."

"Aku serius."

"Yasudah aku akan bersiap."

***

Makanan selesai dihidangkan. Pria itu turun menuju meja makan. Lalu menarik kursi disebalahku. "Ayo makan. Kamu mau telambat kekantor Ale?"

"Tidak. Hanya saja kamu jarang berpenampilan seperti ini, dengan kaos oblong?"

"Tidak ada yang salah. Dipadukan dengan jas tidakla terlalu buruk. Tidak ada meting hari ini." Aku hanya mengangguk. Tanda mengerti.

"Bagaimana pekerjaanmu, apakah menyenangkan."

"Sangat. Tidak terlalu buruk. Mereka ramah. Aku punya teman baru disana namanya Lala. Dia berkata kakak tidak pernah tersenyum dan arogan."

"Tidak terlalu buruk."

"Dia juga berkata dulu ada gosip jika kakak pernah berhungan dengan Kara. Seketaris pribadi kakak."

"Benarkah? Apa dia tidak takut dipecat mengatakan itu kepada istri bosnya?"

"Bukan begitu. Jangan salah paham. Dia bertanya padaku. Aku jawab saja itu akal akalan Kara saja, aku bilang padanya kita sudah menjalin hubungan selama 2 tahun."

Dia tertawa. Apa yang dilucukannya? Aku bukan selesai melawak hanya menjelaskan posisiku. "Jika kita sudah berhubungan 2 tahun. Kamu tidak mungkin bersikeras membatalkan pernikahan ini. Kara teman kuliahku. Dia sekretaris sekaligus teman baikku."

"Syukurla, kukira gosip itu benar. Disaat aku bilang ke Lala kita sudah menjalain hubungan lumayan lama dia percaya saja. Apa kakak tidak pernah mengajak Kak Alena kekantor?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Hubungan kami rumit Ale, kamu tidak akan memahaminya."

"Aku tidak terlalu dekat dengannya, hanya berbicara beberapa hal yang perlu. Disaat kakak menjelaskan Kak Alena sering membicarakan tentangku dengan kakak. Aku bingung percaya atau tidak."

"Aku juga tidak paham. Mungkin disaat iya kembali kita baru bisa mengetahuinya."

"Apakah iya akan kembali?"

"Dia akan kembali Ale, cepat atau lambat."

"Apa kakak menunggunya?" Kumohon jawab tidak, kumohon.

"Aku menunggunya."

Hancur. Itu rasa yang kurasakan sekarang. Seakan mimipiku yang sudah setinggi burung diangkasa dipatahkan begitu saja. "Setelah semua yang diperbuatnya?" Kataku pelan.

"Disaat kamu mencintai seseorang Ale, kamu akan paham. Sesakit apapun rasanya jika cinta itu masih ada dipaksa untuk berhenti hanya nambah luka untuk diri sendiri."

"Bagaimana dengan aku?"

"Kita punya kesepakatan Ale. Pernikahan ini hanya untuk setahun. Kita sudah sepakat dan kamu menyetujuinya."

"Apakah yang semalam tidak berarti apappun?"

"Itu kewajibanmu Ale, menjadi istri yang baik."

"Aku mengerti. Terimakasi mengingatkanku tentang perjanjian itu." Dia mengangguk. Berdiri dari meja makan.

"Aku mencintaimu kak." Kataku sepontan. Iya berhenti dari langkahnya berbalik menatapku. Seharusnya bukan seperti itu tatapannya padaku. Bagaimana aku tidak salah paham dengan sikapnya?

"Kamu tidak mencintai aku Ale, itu hanya rasa sesaat."

"Bagaimana jika itu bukan seperti yang kakak pikirkan?"

"Maka hentikan itu. Aku tidak bisa membalasnya. Aku menganggapmu adikku. Aku menghargaimu sebagai adik dari wanita yang kucintai. Jangan melanggar kesepakatan awal kita Ale."

"Apa tidak ada tempatku dihati kakak sedikit saja?"

"Aku tidak ingin terdengar seperti orang jahat Ale. Tapi maaf, mengatakan kejujuran mungkin menyakitkan tetapi kebohongan akan memberi kesenangan sesaat Ale."

"Aku mengerti."

"Ayo berangkat bersama."

"Aku akan naik taxsi. Kakak pergi saja."

"Jangan satukan pekerjaan dengan hal pribadi Ale."

"Baiklah tunggu sebentar aku akan bersiap."

***

Dimobil kami hanya diam. Memikirkan hal bodoh yang kukatakan atau malu mengakui bahwa pria ini menolakku. Semua murni hanya kewajiban tidak ada rasa didalamnya. Diriku yang malang.

Aku seharusnya tidak memulai semua ini, tidak membiarkan perasaan ini luruh begitu saja. Ya Alexa kamu pasti bisa.

"Ale, yang tadi..."

"Tidak usah dipikirkan mungkin yang kakak katakan benar." Potongku. Aku tersenyum padanya. "Jangan salah paham aku hanya tebawa suasana."

Dia terdiam. Tetap fokus pada jalanan. Aku tidak tahu harus menjalaninya bagaimana, pura pura seperti biasa atau menganggap tidak ada kejadian yang mengenakan yang membuat kami canggung. Setelah sampai aku berpisah Dengan Kak Dion. Karena arah ruangan kami jelas berbeda. Aku menatap seseorang yang tidak asing menatapku. Dia? Apa aku salah melihat?

"Apa yang kak Dion lakukan disini?" Kataku saat menghampirinya. Iya menatapku dari atas sampai bawah sampai sampai aku melihat penampilanku sendiri. Ada yang salah?

"Kulihat kamu baik baik saja." Aku tersenyum padanya lalu mengangguk. Tidak ada niat membela, karena nyatanya aku baik baik saja. Melihat tidak ada respon dariku iya menaikan alisnya sebelah.

"Tidak ada niat menjelaskan segala kekacauan yang telah kamu ciptakan Alexa?"

Aku menatap sekeliling arah. Masih sunyi, ini memang terlalu pagi untuk orang berangkat kekantor. "Bisa bicara dibawah? Ada kafe disebelah sini." Kataku menawarkan dan tentu saja diterima baik olehnya.

Kami hanya memesan minum berhubung aku sudah sarapan dan dia tidak tahu. Yang jelas bukan itu yang penting sekarang tetapi jawabanku. "Apa yang ingin kakak dengar?"

"Alasanmu menikah dengan Daren. Tanpa perlu kuperjelas hubungan kita yang belum berakhir ini."

"Aku menggantikan kakakku menikah, dia menghilang dan belum ditemukan sampai detik ini. Dan mau percaya atau tidak terserah aku tidak punya niat untuk membela diri. Aku tahu aku bersalah karena tidak memberi tahu ini dulu ke Kakak. Tetapi saat itu begitu rumit."

Dia diam. Mencerna setiap ucapanku atau mungkin menganggap ini omong kosong belaka. Dia menatapku tatapan yang tidak bisa diartikan. "Kamu punya kakak?"

Ya benar. Aku tidak pernah mengakui kakakku itu dan sialnya kebohongan kedua terungkap. "Kamu berbohong padaku Alexa." Katanya begitu tajam sungguh menusuk.

Aku menarik napas dengan kuat. "Aku tidak akur dengannya itu sebabnya tidak pernah memberi tahu kakak aku punya saudara perempuan."

"Berapa banyak yang kamu tutupi dalam hubungan kita Alexa." Intonsinya jelas dan penuh penekanan. Dia marah. Tentu saja dia telah dibohongi kekasihnya jika itu diriku mungkin responnya tidak terlalu jauh.

"Begitu banyak. Memulai dari mana akupun tidak tahu. Jadi tanyakan apapun jawaban jujur akan kakak dapatkan." Dia melipat tangannya didada. Pemandangan yang indah, dengan wajah sesarkas itu saja dia tetap tampan. Oh ayolah Alexa ini bukan saatnya mengagumi ciptaan tuhan didepanmu ini.

"Hal apa yang membuatmu mau menikah dengan Daren? Menggantikan kakakmu? Jikapun nyatanya begitu, bukankah kamu bilang tidak akur dengan kakakmu? Apa setelah bertemu Daren kamu sadar dia tampan dan menerimanya?"

Aku terdiam. Cukup lama. Alasan ya, aku tidak pernah memikirkan apa pas mau menikah dengannya. Jelas bukan karena Kak Alena. Kalau tampan kuakui dia lebih tampan dari pacarku ini. Tapi bukan itu poinnya bukan? "Keluargaku." Kataku akhirnya.

"Keluarga hanya untuk alibi Alexa. Dirimu tidak semudah itu menerima untuk menikahinya. Aku mengenalmu Alexa."

"Jika Kak Dion mengenalku kakak tidak akan meragukan aku. Aku sedang sulit, keadaan bahkan terus mendesakku tanpa memberi ruang untuk diriku bernapas. Apa yang harus kuperbuat? Gadis yang tidak berguna untuk keluarga akhirnya berguna. Hanya ini yang bisa kulakukan."

Dia diam. Lalu bangkit. Apa maksudnya? Meninggalkanku setelah mendengar jawaban yang iya mau? Bahkan mencerna kejadian ini membuatku harus memikirkannya. Apa jawabanku salah? Atau aku yang terlalu bodoh.

Aargh, gerutuku. Sudahlah jangan memikirkan yang membuat dirimu jelek Alexa. Apapun itu jalani saja. Biarkan angin membawamu kemana iya mau. Sudah lelah rasanya menentang arah yang ditakdirkan untuk kita.