webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantasi
Peringkat tidak cukup
89 Chs

Bab 15. Perlindungan Pertama

La Mudu melangkah dengan menegakkan dada. Baru sampai di batas dataran rendah sebelum menuruni lereng Pegunungan Sorowua, baru ia berdiri dan mengedarkan pandangannya sesaat. Ada sesak yang menggumpal di dadanya. Hari ini dia akan berpisah dengan segala kenangannya di belantara ini. Meninggalkan masa kecilnya dan Dato Hongli, yang entah kapan dia akan kembali untuk menemuinya lagi. Kini ia telah matang dalam keremajaannya, seperti seekor elang yang memang sudah waktunya untuk bertualang dan mencari wilayah kekuasaannya sendiri.

"Jadilah seekor elang kencana, elang terbaik di antara semua elang. Jangan menjadi elang yang rakus dan asal mangsa" Begitulah yang diucapkan Ato-nya, Dato Hongli, dan sekaligus gurunya, suatu ketika.

"Terima kasih Ato, atas semua yang kaucurahkan kepadaku. Kau adalah seekor elang kencana yang terbaik bagiku!" bergumam La Mudu. Satu nafas panjang ia hela. Lalu melanjutkan kembali langkahnya.

Saat telah berada di kaki gunung, ia melepaskan lelahnya sesaat. Pada aliran sungai La Rindi yang mengalir deras dan jernih, ia merendam kakinya, membasuh wajah dan kedua pergelangan tangannya. Air sungai yang jernih dan sejuk sedikit mampu melenyapkan penat di jiwa dan raganya.

Sungai La Rindi merupakan sungai besar yang airnya tak pernah asat walau di musim kemarau panjang. Segala jenis ikan besar dan kecil berenang bebas di aliran di dalamnya. Itu merupakan pemandangan pertama yang mengingatkannya pada sepanjang kenangannya di dalam gua jurang Sorowua. Ia hampir setiap hari memilih dan menangkap ikan di aliran sungai bawah tanah, untuk kemudian menjadi makanan kesehariannya dengan Dato Hongli. Ia dibesarkan dengan ikan-ikan seperti ini. Maka dengan melihat ikan yang besar-besar yang berenang lalu-lalang di sekitar kedua kakinya, perutnya mendadak keroncongan.

Ia memungut beberapa biji batu kerikil di sekitarnya duduk, lalu dijentikkannya ke beberapa ikan yang cukup besar. Ikan ikan-ikan itu langsung mati mengambang. Ikan-ikan itu dibakar dengan ranting-ranting kayu yang banyak berserakan di sekitar itu. Dan tak lama kemudian, aroma khas ikan bakar pun langsung menyebar.

Di saat ia tengah menikmati ikan bakar, telinganya menangkap suara tapak-tapak kaki orang yang tengah berlari. Ada suara seorang laki-laki dan perempuan yang terus berbicara di antara nafas mereka yang kelelahan. Semakin lama suara itu semakin terdengar mendekat dan mengarah ke tempatnya berada.

Dan benar juga, La Mudu melihat seorang laki-laki dan perempuan muda sedang berlari dengan sisa nafas mereka yang sudah ngos-ngosan. Tangan pemuda tak pernah melepaskan pergelangan si perempuan agar tetap bisa bertahan dan berlari.

La Mudu segera meloncat dan berdiri dengan kedua kaki agak mengangkang sembari kedua tangannya dilipat pada dadanya.

"Maaf, kalian berdua ini dari mana dan hendak ke manakah gerangan?" bertanya La Mudu, ketika sepasang muda-mudi itu telah berada di hadapannya.

"Tolong kami, Amania, kami dikejar oleh para laki-laki dari keluargak saya...!" menjawab si gadis di sela-sela nafasnya yang terengah-engah karena kelelahan. (Amania = saudara laki-laki, atau untuk sebutan penghormatan terhadap laki-laki).

"Kenapa kalian dikejar, dan mereka hendak melakukan apa terhadap kalian berdua?”

"Kenalkan dulu nama saya La Kalimone dan calon istriku ini namanya La Mbinta Salaka,” ucap si pemuda. “Kami ini saling mencintai satu sama lain, dan sekarang kami memutuskan untuk londo iha. Jika keluarga kekasihku ini berhasil mengejar kami, tentu kami bisa dibunuh, Lenga." (Londo iha = kawin lari/selarian).

Kedua alis La Mudu saling merapat, menunjukkan keheranannya. "Londo Iha itu apa?"

Sebaliknya, sepasang kekasih justru lebih terheran-heran lagi mendengar petanyaan yang terasa ganjil dari La Mudu. Mana bisa pemuda Dana Mbojo tidak mengerti perkara londo iha?

Namun si pemuda yang bernama La kalimone tak ingin berpikiran panjang lebar lagi, lalu ia pun memberikan sedikit penjelasan. "Londo iha itu artinya ya kami harus minggat dulu agar kelak kami dapat dikawinkan. Karena itu disebut juga dengan sebutan kawin lari.”

“Oh...kawin lari...?”

“Iya, lenga. Jadi...kami baru aman jika telah sampai ke rumah siapa pun, jika tidak sampai ke rumahnya tetua adat. Karena nanti orang yang punya rumah atau tetua adat akan mengirimkan seseorang untuk menyampaikan laporan ke pihak keluarganya si perempuan, seperti kepada keluarga kekasihku ini, bahwa kami sudah wa'a sama. Setelah itu kami baru diantarkan kembali ke keluarga kami untuk dinikahkan," (Waa sama = londo iha yang dilakukan atas inisiatif bersama antara pemuda dan gadis).

Setelah mendapat penjelasan dari si pemuda, barulah La Mudu memahami dan manggut-manggut. "Jadi ini peristiwa adat," ujarnya. "Jika demikian adanya, maka kalian sekarang telah aman, karena telah berada di tempatku. Kalian sudah ada dalam perlindunganku. Maaf, saya sejak kecil besar di rimba Sorowua dan tak pernah berbaur dengan manusia lain selain dengan guru saya."

Sepasang kekasih langsung saling menatap tanpa berkata apa-apa, terheran-heran. Mereka pun menyadari, bahwa mereka sedang berhadapan dengan manusia rimba sejati.

La Kalimone lantas berucap, "Tapi Lenga ini...tidak sedang berada di rumah? Lantas bagaimana lenga bisa mengatakan kami sudah aman?" (Lenga = teman, sebutan akrab).

La Mudu bertawa ringan dan berkata, "Rimba Sorowua ini adalah rumahku, dan kalian sudah memasuki wilayah kekuasaanku. Maka tak ada siapa pun yang boleh membuat keonaran di wilayahku ini. Jadi kalian berdua tenang saja. Aku yang menjamin, bahwa para laki-laki dari keluarga kekasihmu ini tak akan bisa menyentuh kalian, apalagi untuk menjatuhkan tangan jahat terhadap kalian berdua."

"Siapakah Amania ini...?" bertanya La Mbita Salaka. (Amania = saudara laki-laki, tetapi digunakan juga untuk menyebut akrab atau penghormatan kepada seorang laki-laki sebagai pengganti namanya).

La Mudu menyelesaikan kunyahannya lalu melangkah ke belakang untuk minum air sungai secukupnya. Lalu kemudian kepada La kalimone dan La Mbinta Salaka ia berkata:

"Kalian panggil saja namaku La Mudu. Sejak kecil aku dibesarkan di atas lembah Sorowua. Aku tinggal dengan seorang laki-laki tua yang kupanggil sebagai Ato. Dia adalah orang tua sekaligus sebagai guruku. Kebetulan, hari ini adalah pertama kali aku turun dari Gunung Sorowua, karena itu aku tidak banyak tahu tentang perikehidupan dengan segala adat-istiada kehidupan di masyarakat luas.”

“La Mudu...?” ucap La kalimone dan La Mbinta Salaka nyaris bersamaan dengan wajah dan nada terheran-heran.

“Kenapa...? Ada yang aneh?”

“Hm, maaf, Lenga. Jujur, nama Lenga memang terasa aneh dalam telinga kami. Karena la Mudu itu artiya adalah orang yang terbakar...”

La Mudu tertawa sesaat. “Benar, memang itu artinya! Mengapa Ato memberiku nama itu, ceritanya sangat panjang. Tapi sudahlah, yang penting kalian tenangkan hati dan pikiran kalian lalu duduk saja yang manis di sini. Kebetulan ikan-ikan ini baru aku bakar. Makanlah, aku yakin perut kalian minta untuk diisi. Tidak usah sungkan lagi. Aku akan menjamin keamanan nyawa kalian berdua."

Sepasang kekasih saling berpandangan, masih meragukan ucapan pemuda berpakaian yang tak lazim di hadapan mereka. Pemuda yang mengenakan pakaian khas laki-laki negeri Tiongkok. Namun ketika melihat kesungguhan dan ketegasan darinya, si pemuda pun mengangguk kepada kekasihnya, lalu berkata, "Baiklah, Lenga. Kami serahkan jiwa raga kami kepada Ndaimu. Karena jika pun kami terus berlari, toh kami tetap akan terkejar sebelum sampai di Desa Parado, tempat tujuan kami." (Ndaimu = sampean, halus).

"Iya, kupikir..." La Mudu tidak sempat melanjutkan kalimatnya, karena mendengar suara ramai dari arah timur. Rupanya itu beberapa orang laki-laki yang mengejar sepasang claon suami istri itu. Tak lama kemudian para laki-laki muda itu terdiri di hadapan mereka. Mereka berjumlah enam orang. Di tangan mereka masing-masing menenteng parang yang putih kemilau.