"Selamat datang saudaraku!"
Aku langsung tersenyum ramah ketika seseorang menyapaku. Seorang pria berkulit sawo matang, badan penuh keringat, dan juga otot tangan bak binaragawan menghampiri kami, dan berdiri tepat dua meter di depanku.
"Dia baru!" Mas Asep berseru pelan.
"Iya tahu, karena baru, makanya harus diajak kenalan, bukan?" pria itu melayangkan tatapan penuh arti kepada Mas Asep, tak lama setelahnya, Mas Asep pun melangkah mundur menjauhi kami.
Dan sedetik kemudian, aku sudah terpental beberapa meter ke belakang karena mendapat tendangan yang cukup keras dari pria itu.
Baiklah, sepertinya sesi perkenalan kami sudah dimulai. Aku langsung menggunakan pernapasan ganjil untuk meringankan rasa sakit yang mendera ulu hatiku karena tendangan tadi. Jika bukan pendekar terlatih sepertiku, tendangan tadi bisa saja berakibat fatal karena megenai ulu hati dengan kekuatan seperti itu.
Aku melepas hoodie-ku, dan membuangnya asal di tanah. Aku pun mendekat, dan memasang kuda-kuda yang cukup kuat, beberapa pukulan dan tendangan telah kuberikan padanya, namun ia bahkan tidak bergeming sedikit pun. Pria itu masih tetap berdiri tegak di sana tanpa bergeser sedikit pun. Ada apa denganku? No, lebih tepatnya, ada apa dengannya?
Pria itu lalu tersenyum, dan membuka lebar-lebar tangannya, mempersilakan aku untuk kembali menyerangnya.
Karena merasa kesal, aku pun kembali menyerangnya dengan serangan empat kali bertubi-tubi ... Dan nothing! Pria itu tidak terpengaruh sedikit pun dengan seranganku.
"Jangan lembut-lembut Mas, masa laki-laki kayak gitu mukulnya, lemah amat?!" cibirnya.
Sial.
Aku kembali memberikan beberapa serangan yang cukup cepat, namun pria itu masih bisa menangkis semua seranganku, tidak ada satu pun dari seranganku yang bisa menembus pertahanannya.
Aku pun menarik napas dalam-dalam, dan kembali menggunakan pernapasan ganjil, memindahkan semua kekuatanku pada tangan dan kakiku. Dengan gerakan cepat, aku mencoba menyerang titik lemahnya. Dan berhasil, pria itu tumbang setelah salah satu tendanganku mengenai rahangnya.
Aku segera menetralkan napasku. Menggunakan pernapasan ganjil saat bertarung bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Aku bisa saja melukai diriku sendiri jika gegabah.
Bisa kudengar kekehan pelan keluar dari mulut Mas Asep yang tengah duduk dengan santai ak jauh dari kami. Dia sedang memperhatikan kami, saat aku menoleh ke arahnya.
Bugh!
Aku kembali terpental, kali ini lebih jauh daripada sebelumnya. Beruntung bukan ulu hatiku yang terkena. Pria yang kulawan barusan sudah berdiri tegak di hadapanku.
Aku melakukan head kip, dan bersiap dengan memasang kuda-kuda yang kuat.
Setelah pertarungan panjang yang melelahkan, setelah kurasa semua tulangku retak, aku meminta untuk mengakhiri sesi perkenalan kali ini. Terakhir kali badanku terasa remuk seperti ini adalah saat ujian kenaikan tingkat sebelum menjadi asisten pelatih. Saat itu kami mendapat ujian yang sangat berat, dan harus bertarung di setiap post dengan para pelatih dari berbagai wilayah secara random.
"Wis, duduk dulu!" ucap Mas Asep mempersilakan kami untuk duduk di dekatnya.
Aku memperhatikan pria yang baru saja melakukan sparing denganku itu.
"Lumayan juga Mas, udah lama aku ndak jumpa lawan yang bisa ngimbangi kecepatan sama kekuatanku!" celetuk pria itu.
Apa dia sedang mengejekku?
"Sampean ini mengejek apa bagaimana? Sudah jelas-jelas saya kalah telak barusan, tumbang berkali-kali! Bisa-bisanya dibilang imbang!" gerutuku kesal.
Pria itu tertawa lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Di sini, selain Asep sama Mas Wisnu, ndak ada yang bisa tahan sama seranganku." ucapnya dengan penuh kebanggaan.
Ya, dia memang sudah seharusnya merasa bangga. Kekuatan, kecepatan, dan teknik menyerangnya itu bukanlah lelucon. Aku yang seorang atlet ini bahkan kuwalahan saat mencoba menebak setiap serangan yang akan ia lakukan, karena itulah aku banyak kecolongan tadi.
"Kenalin Mas, namaku Arya!" ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya kepadaku, dan tentu saja langsung kusambut dengan senang hati.
"Aku Bayu, Mas."
"Oh, anaknya Pak Haji Abdul?" tanyanya yang langsung membuat keningku berkerut.
Serius, dari mana dia tahu bapakku?
"Iya, tahu dari mana Mas?" tanyaku bingung
"Yo tahulah, orang bapakmu itu dulu pelatihku!"
Hah? Apa?
"Mas anggota Perguruan Selendang merah?" tanyaku pelan.
Aku tahu Bapak adalah anggota Selendang Merah, akan tetapi setahuku sudah lama sekali beliau tidak aktif melatih. Jadi, jika Mas Arya ini siswanya Bapak dulu, berarti Mas Arya sudah latihan pencak silat sedari kecil, mengingat usianya tidak terlihat jauh dariku.
"Iya Mas, aku anggota Selendang hitam, dulu Mas Abdul itu gualak sekali, keras, salah dikit hantam, banyak yang gak kuat sama metode pelatihan yang Mas Abdul ajarkan. Hanya sedikit yang bertahan, salah satunya ya aku ini. Dulu itu aku yang paling kecil padahal."
Aku langsung tersenyum mendengar cerita Mas Arya. Pantas saja, Bapak selalu mencemoohku setiap kali aku mengeluh badanku remuk sepulangnya latihan.
"Nostalgianya kapan-kapan aja, Ar! Bayu belum kenalan sama yang lain!" sela Mas Asep.
"Telat, wong tadi anak-anak baru saja pergi," ucap Mas Arya dengan entengnya.
"Ada masalah apa memangnya?" tanya Mas Asep dengan santainya.
"Ada tukang adu domba! Biasa Sep, anggota Selendang Kuning mau nyerang Perguruan Banyu Biru." sahut Mas Arya.
Ah, aku pernah mendengar pertikaian kedua perguruan tersebut. Dari cerita yang kudengar, ada beberapa anggota Peruruan Banyu Biru yang membakar rumah salah satu anggota Perguruan Selendang Kuning, karena itulah, sepertinya mereka ingin membalas dendam.
"Sinting, orang jelas-jelas itu kelakuan anggota perguruannya sendiri kok mengambing hitamkan Perguruan lain. Pelakunya juga sudah dipenjara. Siapa lagi yang bikin rusuh?" ucap Mas Asep sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Maksudnya apa Mas, kelakuan anggota perguruannya sendiri?" selaku.
"Jadi kemaren itu yang bakar rumah anak Selendang Kuning ya anggota seperguruan mereka sendiri. Karena dendam pribadi, tapi selalu saja ada provokator yang mengambing hitamkan perguruan lawan." terang Mas Asep.
Wah, kalau seperti itu memang keterlaluan jadinya. Yang tidak bersalah, tidak tahu apa-apa bisa jadi korban.
"Udah banyak massa yang mereka kumpulkan, ada dua truk. Ini anak-anak pada ke sana buat ngasih pelajaran provokatornya. Kalau mau kenalan, itu di dalam ada Mas Bondan. Tapi kayaknya lagi jalan-jalan. Entah siapa yang dia temui."
Aku mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Mas Arya.
Di dalam ada Mas Bondan, tapi dia lagi jalan-jalan? Jadinya Mas Bondan itu di dalam apa jalan-jalan?
"Sampean tahu istilah ngeraga sukma ndak, Mas?" tanya Mas Asep kepadaku.
Aku berpikir sejenak, dan mengangguk pelan. Ya aku tahu sedikit, setahuku, ngeraga sukma itu keluarnya sukma dari raga, dan berada di alam yang berbeda, di tempat sedulur (saudara) papat kiblat lima pancernya. Papat kiblat lima pancer sendiri disebut sebagai entitas yang hidup di dimensi astral. Eksistensinya, muncul bersamaan dengan lahirnya manusia. Menjadi bagian dari kehidupan yang berfungsi sebagai ruh pembimbing atau penjaga. Bahkan jika terkoneksi dengan baik dengan kemampuan khusus, bisa diajak berkomunikasi.
Dan setahuku, hanya seseorang yang memiliki ilmu tingkat tinggi, atau dibilang sakti, yang mampu melakukan sesuatu seperti ini, mengingat resikonya cukup besar.
Aku pernah mendengar beberapa kasus, roh tersesat di alam lain, yang mengakibatkan raga yang tertinggal di dunia ini menjadi gila, linglung, dan tidak sedikit yang akhirnya meninggal dunia.
"Sebentar lagi juga keluar, sudah cukup lama dia jalan-jalannya." celetuk Mas Arya.