Ada banyak hal yang memenuhi pikiranku sekarang ini. Tentang TG, dan semua hal misterius yang mereka kerjakan.
Bagaimana mereka bisa menemukan pembunuh Bimo nantinya? Apa yang akan mereka lakukan? Sejauh apa kemampuan mereka? Ini sungguh membuat rasa penasaranku memuncak.
Tidak ada yang benar-benar tahu siapa mereka, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan bergabung dengan mereka.
Tetapi, jika hanya untuk mengobati rasa pennasaranku, bergabung dengan mereka itu sangat berlebihan.
Apa aku gila? Aku tidak akan melakukan itu.
Hah! Ini menyebalkan!
Aku keluar dari kamar lalu berjalan enggan menuju pintu dan memutar knop pintu. Betapa terkejutnya aku melihat sekawanan mesin pengunyah berada di halaman rumahku dengan keranjang buah yang sudah setengah penuh di tangan mereka.
"Hai, Chang!" sapa Dukun.
Jangan salah, Dukun bukanlah profesinya, itu hanya nama panggilan untuknya karena dia itu indigo. Gadis nyentrik yang terkadang mendapat penglihatan tentang masa lalu seseorang atau masa depan saat bertatap muka dengannya.
Untungnya, dia tidak bisa melihat hanya karena dia mau. Penglihatan itu datang secara acak.
"Hei, ini masih pagi! Udah panen di kebun orang aja kalian!" gerutuku.
Dukun, Dea, dan Rafa hanya menunjukkan cengiran lebar mereka ke arahku lalu kembali sibuk memilih buah jambu di sana.
"Bungkus plastik warna merah jangan diambil!" pesanku sebelum beranjak membuka garasi.
Aku menyesal mengatakan itu, karena bukannya meninggalkannya, mereka malah memetik semua jambu yang terbungkus plastik berwarna merah.
Padahal aku sudah memilihnya untuk kuberikan pada ibunya Dea, hitung-hitung pedekate sama calon mertua, tetapi anaknya sendiri yang merusak rencana itu.
Terserahlah.
"Chang, kedondong belakang rumah ada buahnya gak?!" teriak Rafa.
"Banyak!" sahutku datar.
Tanpa permisi lagi, Rafa langsung berjalan cepat menuju belakang rumahku.
Aku segera mengeluarkan motorku dan memanaskan mesinnya di dekat gerbang. Dukun lalu menghampiriku dan tersenyum lebar.
"Timun di kebun ada? Udah besar belum?" tanyanya dengan smirk menyebalkannya.
"Gak tahu! Cari sendiri!"
"Okay! Oh iya, punya gula merah gak?"
Mungkin inilah yang dinamakan 'diberi hati, minta jantung.'
"Mau ngerujak sepagi ini?" pekikku tak percaya.
"Noh, cewekmu yang ngasih ide!" Dukun menunjuk Dea yang masih asik memilih jambu sambil bersenandung kecil.
Setelah Dukun pergi, aku menghampiri Dea, aku duduk tak jauh darinya dan mengamati gerak-gerik gadis itu. Terpesona? Tentu tidak. Aku hanya heran, kenapa ada gadis seabsurd dia.
"Ndut," panggilku pelan.
"Apa?"
"Aku lagi banyak pikiran!"
"Gak nanya!"
Ingin kumengumpat kasar. Tapi mengingat dia memang orang yang seperti itu, aku hanya menghela napas panjang.
"Aku punya temen, dia ditemuin sama TG dan ditawari untuk bergabung sama mereka. Menurutmu baiknya dia terima apa enggak?"
Aku memperhatikan Dea lekat-lekat, penasaran apa yang gadis itu pikirkan tentang TG.
"Tolak aja!" sahutnya tanpa berpikir terlebih dulu.
"Kenapa?"
"Apa untungnya jadi anggota TG? Setahuku gak ada. Mereka memasang badan untuk menegakkan keadilan? Yang benar saja!" cibir Dea.
Benar juga, jika aku memutuskan untuk bergabung, aku harus tahu terlebih dulu keuntungan apa yang bisa kuperoleh dan tanggung jawab apa yang harus kupikul.
"Mereka selalu melompat ke dalam bahaya, temenmu itu bisa terluka! Kalau ketemu dia, bilangin dia kalo Dea ngelarang dia gabung sama TG!" ucap Dea tanpa menoleh ke arahku.
Hum, lagi-lagi dia benar. Misi yang mereka lakukan bisa saja berbahaya. Jadi aku memang harus lebih hati-hati dalam memutuskan.
"Kamu gak tahu emangnya? TG itu dimusuhi berbagai organisasi dan perguruan yang ada di jawa, karena mereka suka ikut campur! Emang sih, kehadiran mereka sangat membantu, aku juga gak pernah dengar rumor buruk soal mereka, tapi, tetap saja, bergabung dengan mereka itu resikonya berat! Jangan bolehin dia gabung!"
Jujur saja, aku belum tahu masalah itu. Benarkah?
"Tau dari mana?" sinisku.
"Aku kan ada group chat khusus ngegibah para pendekat putri, Chang!"
Aku menghela napas berat dan menggeleng tak percaya. Terniat memang. Sampai ngegibah pun di buatkan group chat khusus. Astaga.
"Lagian itu temenmu yang mana? Hampir semua temenmu aku kenal, jadi yang mana nih?"
"Kepo!" Aku buru-buru menjauh dari Dea sebelum ia memberondongiku dengan lebih banyak pertanyaan.
"Chang, jangan kabur! Tuh di atas ada mangga besar, ambilin dulu!" teriak Dea sambil menunjuk pohon mangga yang terletak tak jauh dari pohon jambu.
"Tinggi!" protesku.
"Panjat!"
"Ogah!"
"Kubilangin bapakku kowe! (Kamu)"
Aku tertawa keras lalu segera kabur dengan motor kesayanganku meninggalkan para mesin pengunyah di sana.
Aku melajukan motorku menuju rumah Bimo. Aku ingin bertanya pada Andini apakah ada perkembangan terbaru dari kasus ini.
Rumah Bimo terlihat sangat sepi, mungkin pak lek sudah berangkat mengajar dan bu lek pergi ke pasar.
Aku langsung berjalan cepat mencari keberadaan Andini. Ternyata ia sedang duduk termenung di ruang keluarga.
"Mas?" pekiknya kaget.
"Gimana, Ndin? Ada perkembangan terbaru soal pelakunya?"
Andini tersenyum tipis lalu menggeleng lemah.
"Mereka pasti sudah kabur atau bersembunyi di suatu tempat." gumamku.
"Sudah, Mas santai saja dulu, TG itu sudah berjanji akan membawa para pelakunya ke hadapan kami, jadi kami cuma harus menunggu dengan tenang." Andini tersenyum hangat.
Sangat mengerikan melihatnya tersenyum dengan wajah pucat dan mata sayu seperti itu.
Belum ada perkembangan yang cukup berarti sampai saat ini. Aku mulai meragukan janji TG untuk membawa mereka kemari.
Sebenarnya, apa saja yang mereka lakukan? Tunggu! Bukankah seharusnya malam nanti adalah malam bulan purnama? Akan kutemui mereka.
***
Tepat tengah malam, aku sudah datang menunggu kehadiran para pria bermasker selendang hitam itu di tempat yang sudah kami kesepakati. Hawa dingin langsung menyeruak menusuk tulang-tulang lenganku yang kini terasa ngilu karena kedinginan. Serius, mereka ingin membuatku terkena hipotermia atau apa?
"Sampean datang, Mas!"
Suara itu.
Aku langsung berbalik dan menghela napas panjang mendapati mereka sudah berdiri tepat di belakangku. Langkah mereka begitu ringan hingga aku sama sekali tidak menyadari kehadiran mereka.
"Bagaimana? Sampean sudah memutuskan?" tanya salah seorang di antara mereka. Sepertinya ia adalah pria yang sama yang mengajakku untuk bergabung dengan TG tempo hari.
"Belum, aku masih mempertimbangkannya!" ucapku lugas.
Seorang pria berjalan mendekat ke arahku.
"Katakan saja apa yang membuat sampean itu ragu!" ucapnya tanpa basa-basi.
"Banyak! Seperti yang kalian tahu, tidak ada yang benar-benar mengetahui organisasi seperti apa TG itu! Aku tentu tidak ingin bergabung dengan organisasi yang tidak kuketahui apa visi misinya!"
"Hanya tetua yang bisa menjelaskan secara gamblang kepada sampean, karena kami juga tidak ingin sembarangan memberi informasi, apalagi kepada orang yang belum bergabung dengan kami!" jawabnya dengan santai.
Ya, itu masuk akal.
"Kalau begitu, aku akan bergabung dengan satu syarat!"
"Silakan,"
"Buka selendang yang menutupi wajah kalian!"
Mereka saling bertukar pandangan. Namun tanpa kuduga, seorang pria yang sedari tadi hanya berdiri di belakang pria yang bernego denganku langsung membuka selendangnya tanpa banyak bicara.
Tunggu!
"Mas?" pekikku tak percaya.