webnovel

PENCARIAN

Seorang pemuda badung yang sampai umur 20 tahun tidak pernah mengenal cinta. Cinta baginya adalah satu pengekangan terhadap jalan hidup. Namun kisah hidup dan percintaannya berubah ketika dia bekerja sebagai penyiar radio di kotanya yang kecil. Keahliannya dalam bertutur kata membuatnya begitu mudah menarik simpati para pendengar setianya. Kisahnya menjadi sedikit playboy, dikarenakan dia dihianati seorang gadis yang juga menjadi cinta pertamanya. Rasa dendam di hati membuatnya ingin membalaskan sakit yang dirasakannya ke setiap gadis yang dipacarinya. Mabuk, merokok, narkoba dan bergonta-ganti pacar adalah bentuk pelariannya dari sakit hati yang tak pernah hilang dari ingatannya. Tiga tahun berkubang dalam dunia kelam, pertemuan dengan seorang teman barunya, membuatnya mempunyai semangat hidup yang lebih baik lagi. Dari menjadi seorang pengamen jalanan, lalu berubah penyanyi cafe dan berbagai pekerjaan yang lainnya. Hingga pada akhirnya, dia kemudian menemukan sebuah platform penulis online ketika berselancar di dunia maya. Berawal dari menjadi pembaca saja, dia akhirnya berinisiatif untuk menjadi seorang penulis. Apakah plaform online tersebut akan merubah kehidupannya? Panggil saja dia AL.

Ayaas · perkotaan
Peringkat tidak cukup
8 Chs

Rapat Pengurus Yayasan

Para guru yang kaget dengan aksi yang dilakukan siswanya, akhirnya keluar dan menemui mereka.

"Tenang anak-anak, ada apa ini?" Kepala sekolah menenangkan siswanya

"Tolong bapak baca spanduk kami dulu, baru bapak boleh bertanya."

Kepala sekolah kemudian membaca satu persatu tulisan di spanduk yang dibawa para siswa SMA swasta tersebut. Dia kemudian tersenyum ketika membaca spanduk yang lucu tersebut. Guru-guru lain pun juga tidak bisa menahan senyumnya ketika membaca spanduk yang sama.

Setelah bisa mengendalikan senyumnya, kepala sekolah kemudian berkata kepada siswanya.

"Anak-anak, semua bisa dibicarakan dengan baik. Tidak harus dengan cara seperti ini."

"Maaf Pak, tapi kami sudah tidak mau lagi dengan cara yang Bapak tawarkan. Faktanya, kemarin teman-teman kami yang lebih dahulu berdemo malah mendapat skors juga."

Kepala sekolah kemudian mengingat kejadian beberapa hari yang lalu dimana Ardy dan teman-temannya berdemo dan mendapat skors dua minggu tidak boleh ikut pelajaran.

"Baiklah anak-anak, tuntutan kalian bapak tampung. Sekarang kembalilah ke kelas untuk mengikuti pelajaran! Bapak akan membicarakan ini dengan ketua yayasan."

"Kami tidak akan masuk kelas sebelum tuntutan kami dipenuhi," suara Siswa menggema seantero sekolah swasta tersebut.

Di saat Kepala Sekolah diam berpikir untuk mencari solusi, tiba-tiba, Pak Beni keluar sambil marah-marah.

"Kalian ini masih kecil sudah berani berulah! Mau jadi apa kalian nanti!? Masuk kelas!"

Kepala sekolah yang selama ini sabar menghadapi sifat Pak Beni yang emosional, akhirnya tidak bisa lagi berdiam diri.

"Bukan begitu caranya mendidik siswa, Pak Beni! Selama ini saya diam saja karena masih menghargai Pak Beni yang sudah senior di sekolah ini. Bapak hanya mendahulukan emosi tanpa mau berpikir mencari solusi!"

Pak Beni yang tidak menyangka kepala sekolah bisa marah kepadanya kemudian diam.

"Kalian tunggu disini anak-anak. Sekarang juga saya akan membicarakan hal ini dengan yayasan."

Kepala sekolah beserta WAKASEK kesiswaan kemudian berjalan menuju kantor yayasan yang berada di sebelah sekolah SMA swasta tersebut.

Kepala sekolah beserta WAKASEK kesiswaan kemudian berjalan menuju kantor yayasan yang jaraknya sekitar 50 meter dari sekolah SMA swasta tersebut.

"Mohon maaf Bu Desi, Pak Budi ada?" Tanya Kepala sekolah kepada seorang wanita yang bertugas sebagai staff di yayasan tersebut.

"Ada, Pak... Di tunggu sebentar ya!"

Bu Desi kemudian berjalan menuju ruangan Pak Budi yang merupakan ketua yayasan tersebut. Selang 2 menit, Bu Desi kembali menemui Pak Budi.

"Silahkan masuk...! Pak Budi sudah menunggu di dalam."

"Terima kasih Bu."

Bu Desi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah.

"Permisi Pak Budi."

"Silahkan masuk Pak Haris, Bu Dewi!"

"Terima kasih, Pak."

"Mmm, ada perlu apa ya sampai Pak Haris dan Bu Dewi datang kemari?"

"Mohon maaf kalau saya mengganggu waktu Bapak. Kedatangan kami ini terkait tentang demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sekolah kita sekarang."

"Demonstrasi sekarang? Siapa yang demo? kok saya tidak mendengar," sahut Pak Budi.

"Iya Pak. Semua siswa kita yang demo, namun mereka demo dengan damai. Tidak ada teriakan atau berbuat hal gaduh. Mereka hanya menggelar poster dan spanduk."

"Mereka melakukan demo dengan alasan apa dan tuntutannya apa?"

"Begini Pak, mereka sudah gerah dengan Pak Beni yang suka main tangan. Apalagi baru saja Pak Beni juga menskorsing 18 siswa selama dua minggu."

"18 siswa...!? Kesalahan mereka apa?"

"18 siswa itu tawuran dengan siswa STM. Akar permasalahannya karena seorang siswa kita dihajar siswa STM sampai gegar otak ringan dan opname sampai sekarang. Terus ada juga sebab lain yang katanya siswa kita sering dipalak anak STM. Semenjak tawuran itu, siswa STM tidak berani memalak siswa kita lagi. Bagi semua siswa kita, ke 18 siswa itu pahlawan bagi mereka," jelas Pak Haris.

"Lalu tuntutan mereka apa, Pak?"

"Para siswa kita ingin Pak Beni dipecat atau di pindah ke yayasan saja. Dan juga, mereka meminta skorsing untuk 18 siswa itu dicabut."

Pak Budi diam berpikir. Dahinya terlihat mengernyit tebal.

"Sepertinya permintaan siswa agar Pak Beni dipecat itu sulit untuk dikabulkan, Pak. Kita tahu sendiri kalau Pak Beni sangat senior di sekolah kita. Namun kalau mencabut skorsing, itu hal yang gampang."

"Masalahnya Pak, para siswa tidak akan mau masuk sekolah lagi jika Pak Beni masih di sekolah kita. Bahkan ada beberapa siswa yang juga secara terang-terangan mengancam akan pindah sekolah!"

Pak Budi kembali terdiam. Dia bingung harus berbuat apa. Jalan satu-satunya harus mengundang semua pengurus yayasn dan duduk bersama membahas masalah tersebut.

"Baiklah Pak Haris, Kami akan melakukan rapat dengan pengurus yayasan tentang masalah ini. Kami juga tidak mau kejadian menjadi preseden buruk yang bisa membuat nama sekolah kita tercemar," ujar Pak Budi.

"Apalagi saat ini juga sudah mendekati UNAS. Kuatirnya nilai siswa akan jeblok dan daya jual sekolah kita menurun. Sekarang tolong bapak bujuk siswa-siswa untuk kembali mengikuti pelajaran," lanjutnya.

"Lebih baik saya menunggu hasil rapat pengurus yayasan saja Pak. Daripada mengecewakan semua siswa karena saya kembali dengan tangan kosong."

"Baiklah, Pak Haris dan Bu Dewi silahkan tunggu di ruang tamu. Saya akan memanggil pengurus yayasan untuk membicarakan hal ini."

Pak Haris serta Bu Dewi lalu berjalan keluar dari ruangan ketua yayasan dan menunggu di ruang tamu.

Tak berapa lama, beberapa pengurus yayasan datang dan langsung menuju ruangan Pak Budi setelah menyapa Pak Haris dan Bu Dewi.

Satu jam kemudian, rapat pengurus yayasan telah usai dan beberapa pengurus yayasan keluar dan meninggalkan kantor yayasan tersebut.

Tak berapa lama, Pak Budi keluar dari ruangannya, "Pak Haris, Bu Dewi, mari ke ruangan saya."

Pak Haris dan Bu Dewi kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruangan Pak Budi.

"Begini Pak Haris dan Bu Dewi. Hasil rapat Yayasan memutuskan, bahwa mulai besok Pak Beni akan kita tarik dan pekerjakan di kantor yayasan. Sedangkan untuk skorsing yang diterima 18 siswa itu tetap di berlakukan. Apapun alasannya, tawuran adalah perbuatan tidak baik dan bisa memberi contoh buruk kepada yang lainnya," jelas Pak Budi.

"Saya harap, Pak Haris bisa memberi pengertian kepada para siswa kita!" Pak Budi menambahkan.

"Saya akan mencoba berbicara kepada mereka, Pak. Juga kepada 18 siswa yang kena skors itu agar tetap belajar di rumah," balas Pak Haris.

"Kami balik dulu ke sekolah, Pak!" Lanjutnya.

Pak Haris dan Bu Dewi kemudian melangkahkan kaki mereka menuju sekolah SMA yang mereka pimpin.

Sesampainya di depan kantor sekolah, Pak Haris memandang semua siswanya yang berada di depannya. Semua siswa yang berdemo nampak tenang namun berdebar-debar menunggu berita yang akan disampaikan Pak Haris.