webnovel

Miraila Penyelamatku

Arais berada di depan sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang deras. Arais sudah mengangkat kakinya ke satu besi pembatas jembatan. Dalam keadaan mabuk dan tak dipenuhi otak yang waras, Arais melihat wajah ibunya yang sudah meninggal di dasar sungai.

"Mama. Aku mau ikut Mama," ucap Arais semakin naik ke atas. Dia sudah yakin ingin terjun ke bawah sana.

Kini kedua kakinya sudah naik ke besi bagian tengah. Sisa satu besi pembatas lagi dirinya bisa lolos ke bawah.

Saat dia mau naik lagi, sebuah tangan menarik tubuhnya hingga dia tersungkur dan kepalanya terbentur trotoar jalanan. Keadaannya yang memang sudah mabuk membuatnya tak sadarkan diri. Orang itu pun membawa Arais ke rumahnya.

***

Di sebuah gubug kecil, Arais terbaring di ranjang rotan yang sudah tak layak pakai. Tak ada kasur empuk apalagi tempat yang bersih. Hanya ada lantai tanah yang beradu dengan anyaman dari bambu yang sudah bolong di beberapa bagian.

Sinar mentari mengintip dari atas. Bagian genteng sudah pecah dan tak menutupi rumah itu membuat mentari bisa lebih leluasa memancarkan sinar hangatnya. Arais terganggu dengan cahaya silau itu. Dia pun bangun dan duduk di atas ranjang itu.

"Di mana ini? Apa ini di neraka?" gumam Arais yang mengingat kalau dirinya sudah berusaha bunuh diri. Kepalanya terasa pusing dan dia pun mual.

"Eh, kalo ini neraka, masa ada ... apa ini? Patromak? Lampu patromak jaman dulu?" Arais mengambil sebuah benda dengan bentuk yang antik. Dia melihat benda itu pada pameran barang unik yang pernah dia datangi beberapa tahun silam.

Arais memutar kepalanya. Menyapu seluruh ruangan yang dia tempati dengan netranya. Itu tak pantas disebut dengan rumah. Sangat kumuh dan lembab. Tembok anyaman bambu yang menghitam menjadikan penglihatannya terganggu. Udara yang pengap pun membuat Arais memutuskan untuk keluar dari tempat itu.

"Em, pengap banget. Ini di mana sih? Aduh, kepalaku pusing. Ini pasti efek minuman yang diberikan cowok semalem." Arais memegangi kepalanya yang terasa berat.

Perutnya mual. Seperti ada tekanan yang ingin keluar dari dalam sana.

"Hoek. Hoek. Hoooooek." Akhirnya Arais muntah di depan gubuk reot itu. semua isi perutnya keluar. Mengakibatkan tubuhnya lemas.

Dengan tertatih, lelaki yang memakai kemeja lurik motif hitam hijau itu terduduk di batu. Dia menjauhi muntahannya yang berbau tak enak. Menyengat hidungnya yang tak ingin mencium bau tak sedap.

Pemandangan yang cukup indah terlihat di depan mata. Banyak pepohonan rindang memanjakan netra. Bunga-bunga bermekaran diajak menari oleh kupu-kupu yang datang menghampiri.

Arais tersenyum miris. Hidupnya tak seindah yang dia lihat. Bahkan kini hidupnya sudah hancur seiring terbongkarnya rahasia besar yang ditutupi oleh ayah dan kekasihnya.

Sedang asyik menikmati udara siang, seseorang menepuk punggungnya. Terlihat seorang gadis berwajah jelek dengan kerudung menutupi hampir seluruh wajah, membawa piring tanah di tangannya.

Dia mengangguk. Memberi isyarat untuk Arais menerima pemberiannya.

Baru pertama kali melihat gadis berwajah jelek itu, Arais ketakutan. Dia memundurkan badannya. Bahkan dia berusaha lari. Dia mengira kalau gadis itu bukanlah orang, melainkan hantu. Mana ada orang, tetapi wajahnya sangat menyeramkan.

Arais sudah mengambil ancang-ancang untuk lari. Sayangnya, sebelum dia berhasil kabur, dia menarik tangan Arais hingga Arais pun tak bisa pergi. Satu tangannya memberikan sebuah kertas.

Walau Arais ketakutan, dia berusaha menerima kertas yang diberikan gadis itu. Ada sebuah tulisan yang tertulis tangan di kertas itu.

"Kamu jangan takut. Aku Miraila. Aku memang jelek dan bisu, tapi aku orang baik. Aku yang udah nolong kamu," baca Arais.

"Ka—kamu Miraila? Ka-kamu yang udah nolongin aku?" tanya Arais tak percaya. Dia masih berada di posisinya yang ingin lari.

Miraila mengambil kertas yang tadi ditunjukkan pada Arais. Kemudian dia menulis sesuatu lagi dan memberikannya pada Arais.

"Iya. Aku Miraila. Aku bukan orang jahat. Kamu jangan pergi dari sini. Lagi ada singa yang kelaparan. Kamu bisa dimakan singa itu," baca Arais.

Arais melihat ke arah Miraila. Rasanya aneh mendapati dirinya berada di tempat ini sekarang. Apalagi bersama seorang gadis buruk rupa seperti Miraila.

Jika bisa memilih, Arais ingin menjauh dari gadis buruk rupa itu. Namun, mendengar ada singa kelaparan, Arais memutuskan untuk tetap tinggal di sana.

Kenapa namanya Miraila sedangkan parasnya bertolak belakang dengan kenyataannya? Itu karena sebuah kecantikan tidak serta merta dilihat dari fisik. Hati juga bisa membuat seseorang cantik.

Arais mulai tenang. Dia kembali duduk di atas batu yang tadi dia tempati. Kembali Miraila menyodorkan piring berisi singkong rebus. Dia sudah susah payah mencari singkong dan direbus.

Di salah satu batu yang bersebelahan dengan Arais, Miraila terduduk. Dia pun ikut memakan singkong yang sudah dia bawa.

Dua potong singkong dengan ukuran yang cukup besar dibagi dua. Mereka hanya sarapan itu untuk mengganjal perut.

Arais tertawa miris kala melihat singkong rebus itu. Tak sangka roda berputar begitu cepat. Kemarin dia berada di atas. Sekarang dia di bawah. Kemewahan dan kemegahan tak lagi bisa dia dapatkan. Semuanya menghilang begitu saja.

Biasanya dia akan sarapan sesuka hati. Roti selai, roti bakar, spageti, nasi goreng dan semua yang dia mau bisa dia dapatkan dengan mudah. Kini untuk mengganjal perut saja dia bergantung pada seorang gadis asing yang tak tahu siapa dia.

Arais melirik Miraila yang lahap memakan singkongnya. Dia tertunduk sembari menguyang singkong yang pulen. Arais pun ikut mengikuti. Dia mencoba menikmati singkong agar perutnya tak lagi sakit karena kelaparan.

Di sela memakan singkong, dia ingat kalau dia sempat muntah di depan gubug. Namun kini tak ada bekas muntahannya. Yang ada hanya gundukan pasir yang baru saja ditabur di atas sana.

'Baik sekali Miraila ini. Padahal aku habis muntah tadi. Tapi dia gak marah dan menutupi muntahan itu dengan pasir. Aku berhutang banyak sama dia,' batin Arais memuji Miraila dalam hati.

Miraila tinggal seorang diri di tengah hutan. Wajahnya yang jelek membuat orang kampung mengusirnya dan tak mau berdekatan dengannya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk membangun gubug di tengah hutan yang sepi.

Sudah sembilan belas tahun dia berada di gubug itu. Tentu saja dengan wajahnya yang jelek, tak ada yang berani mendekat. Orang-orang yang pernah melihat Miraila, mengira kalau dia adalah hantu.

Bukannya sedih, Miraila malah bersyukur. Dengan seperti itu dia bisa hidup tenang tanpa takut diganggu orang.

"Kenapa kamu nolongin aku? Aku mau mati. Aku udah gak ingin hidup di dunia ini. Hidupku udah hancur. Percuma kamu susah payah nolongin aku," ketus Arais memarahi Miraila yang menatapnya dengan sebuah senyum samar.

Dia mengambil kertas dan mulai menulis.

"Kalo hidup kamu hancur hanya karena satu masalah, bagaimana dengan hidupku yang sejak kecil harus tinggal sendirian di hutan ini? Tanpa orang tua, tanpa harta benda. Kamu beruntung karena kamu masih punya orang tua dan harta benda yang bisa kamu nikmati. Kamu harusnya bisa bersyukur."

Arais memiringkan senyumannya. Dia menertawai takdir yang sedang dia jalani.

"Bersyukur? Bersyukur untuk apa? Aku diselingkuhi ayah dan kekasihku sendiri. Padahal aku sangat mencintainya. Aku sangat mencintai kamu Sekaaar. Tapi kenapa kamu khianati aku," teriak Arais.

"Kenapa kamu gak balas mereka aja?" Sebuah tulisan dari Miraila membuat Arais berpikir ulang untuk mengakhiri hidupnya.

Apakah Arais akan berubah menjadi Arais yang jahat?