webnovel

Malam Pertama Arais

Arais terkejut saat sebuah tangan dari belakang menyentuh pundaknya dan ketika dia menoleh, dia semakin dibuat kaget dengan sosok yang ada di depannya. Dia berdiri dan memandangi sosok itu dengan wajah tidak percaya.

"Iranela? Apa itu kamu?" tanya Arais mematung.

Wanita itu tersenyum. Dia mendekat lalu memeluk Arais. Arais terdiam, tidak membalas atau menolak pelukan itu. Satu detik, dua detik hingga sekian detik dia tersihir dengan kedatangan wanita itu. Dia berada sangat dekat dengannya. Ini mimpi atau kenyataan? Arais tidak tahu.

Sekian detik Arais tersihir oleh dekapan Irabela. Namun, dia segera sadar.

"Pergi kamu." Arais tersadar dan menjauhkan tubuhnya dari Iranela setelah sebuah angin menghembus dingin pada tengkuknya.

"Kenapa, Sayang? Ini aku Iranela, kekasih kamu? Bukannya kamu cinta banget sama aku?" tanya Iranela dengan sebuah senyum manis.

Wajah Arais berubah geram saat mengingat video yang menunjukkan sikap menjijikan Iranela pada ayahnya.

"Pergi kamu dari sini. Untuk apa kamu ke sini? Sana kamu sama Papa. Bukankah itu yang kamu mau? Nikah sama dia," hentak Arais penuh amarah.

"Oh, ternyata kamu udah tahu. Bagus kalo gitu. Jadi aku gak usah pura-pura lagi. Jadi ... kamu pergi dari rumah karena kamu udah tahu kalo aku sama Om Pranaya punya hubungan istimewa?" tambah Iranela tanpa rasa bersalah.

Arais sangat geram melihat wajah girang Iranela saat mengakui kesalahannya. Bukannya malu, dia cenderung bangga melakukan itu semua. Seolah-oleh itu adalah prestasi yang patut dibanggakan.

"Kenapa kamu lakuin itu di belakang aku, Iranela? Apa salah aku? Aku cinta banget sama kamu. Aku rela nglakuin apa aja demi kamu tapi kenapa kamu malah khianati aku," sesal Arais.

Iranela membelakangi Arais, menatap bintang di bawah sana yang seolah melambai-lambai meminta untuk diambil. Dia lalu tersenyum miring.

"Lihatlah ke diri kamu, Sayang. Aku ini cewek modern. Aku butuh kehangatan dan sentuhan. Sedangkan kamu ... sok alim. Mana pernah kamu nyentuh aku. Beda dengan Om Pranaya yang selalu buat aku melayang. Hmmm, kamu kalah jauh dari dia," hina Iranela tanpa memikirkan perasaan Arais.

Jijik sekali mendengar Iranela mengatakan semua itu. Jika tidak mendengar sendiri, pasti Arais tidak akan percaya kalau Iranela bisa mengatakan semua itu. Dia sudah berubah.

"Gila kamu Iranela. Aku gak nyangka ternyata kamu gak lebih baik dari cewek murahan."

"Ha ha ha. Kamu baru tahu, ya? Kamu gak pernah ngrasain bagaimana permainan aku di ranjang, sih. Kamu pasti ketagihan. Sama kayak Om Pranaya. Makanya ... jadi cowok jangan terlalu polos. Rugi jadi cowok polos. Atau jangan-jangan ... kamu gak bisa berdiri, ya? Lembek kayak sikap kamu. Heh!" cibir Iranela. Wajahnya terlihat sangat menyepelekan Arais.

Tangan Arais terkepal kuat. Ingin sekali dia meninju mulutnya yang sangat kotor. Sayangnya, dia tidak bisa berbuat kasar pada wanita. Dia selalu teringat perkataan ibunya yang menyuruhnya menghormati dan menyayangi perempuan.

"Kamu?" Arais geram.

"Apa? Kamu mau ngomong apa? Mau ngomong kurang aja? Atau apa? Hah? Ngomong aja gak bisa apalagi mukul. Sini pukul kalo berani. Nih-nih," tantang Iranela sambil memasrahkan pipinya.

Iranela terus memancing Arais hingga Arais tak bisa menahan amarah. Malam itu membuat Arais gelap mata. Dia tak tahan dengan perkataan Iranela yang sangat menusuk. Dia pun mendekat kemudian segera memberinya pelajaran. Bukan dengan kekerasan justru dengan perlakuan yang akan membuat Iranela menyesal.

Dia menyeret Iranela ke belakang gubug. Tanpa Arais sadari dia mengecup bibir Iranela dengan liar. Dia memainkan lidahnya di dalam rongga mulut hingga Iranela kewalahan. Walaupun dia tidak pernah melakukan itu pada siapa pun, dia tahu bagaimana membuat seorang wanita merasa melayang dengan sentuhan seorang laki-laki.

Iranela yang tidak tahu Arais bisa melakukan itu, tidak bisa mengelak. Bahkan kini sudah terlambat untuknya menyelamatkan diri. Arais sudah membuka seluruh bajunya dan dia pun membuka paksa baju yang melekat pada tubuh Iranela. Tanpa ampun dia tumpahkan seluruh amarahnya pada Iranela yang sudah menghinanya.

Sepenuh tenaga disertai kebencian Arais tumpahkan semuanya pada tubuh Iranela yang sudah tak berdaya. Hingga dia pun selesai dengan pelepasan yang membuatnya puas.

"Apa ini yang kamu inginkan, hah? Ini? Hanya sekedar ini? Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Kenapa? Masih kurang? Aku akan memberikannya lagi sampai kamu tidak bisa melupakan malam ini," sungut Arais sangat marah. Dia terus menghujam tubuh Iranela sampai Iranela kesakitan.

Di bawah sana Iranela merasakan perih yang luar biasa. Perlakuan kasar yang diberikan Arais sukses membuatnya tersiksa dan menyesal karena sudah menghina pria itu.

Untuk kedua kalinya Arais melepaskan calon anaknya di rahim Iranela dan saat itulah dia merasakan sangat lemas. Tubuhnya terkulai di atas raga polos Iranela hingga dia tertidur pulas.

***

Mentari menyinari bumi. Miraila yang sudah bangun segera membangunkan Arais yang tidur di depan gubug.

Arais membuka matanya lalu memicingkan mata karena sinar mentari membuat matanya silau.

"Hmmm, udah pagi, ya?" racau Arais sambil melihat sekeliling.

Arais tidur di depan gubug sendirian. Jadi semalam hanya mimpi?

Miraila menyodorkan sebuah kertas. "Ayo kita ke sungai? Cari ikan untuk sarapan."

Arais tersenyum lalu mengiyakan ajakan Miraila. Walaupun dia masih bingung dengan kejadian semalam, dia mencoba melupakannya.

Sepanjang perjalanan, Arais terus merasa heran. Semalam rasanya sangat nyata, tapi ternyata hanya mimpi. Bahkan, dia sepertinya masih bisa mencium bau khas rambut Iranela yang basah oleh keringat. Parfum yang melekat di tubuhnya pun masih bisa dia cium. Apakah itu sebuah pertanda kalau Arais masih menyimpan rasa cinta untuknya?

Sudah sampai di sungai, Arais duduk sejenak di batu besar yang ada di sisi sungai.

'Lupain, Arais. Itu cuma mimpi. Lagain mana mungkin Iranela ada di sini? Dia gak mungkin juga datang ke sini, dia udah bahagia sama Papa." Arais bergumam dalam hati.

Melihat air sungai yang jernih, dia segera menjeburkan diri. Berenang untuk membersihkan badannya dari kotoran serta mencari ikan yang masih banyak di sana.

Miraila duduk di sekitar sungai. Mencari kayu lancip yang bisa digunakan untuk menombak ikan. Sungai yang jernih akan mudah untuk menangkap ikan walau hanya dengan kayu.

Sebuah kayu sudah ada di tangan, Miraila segera berdiri di sisi sungai. Biasanya di sana ada ikan-ikan yang sedang mencari makan lumut hijau.

Sementara Arais asyik berenang sambil mencari ikan di dasar sungai, Miraila menunggu ikan datang ke tepian. Miraila sedang tidak ingin berenang, dia lebih memilih menunggu saja.

Sedang asyik menunggu datangnya ikan, tiba-tiba Arais muncul dari dasar sungai.

"Miraila." Arais sengaja mengagetkan Miraila.

"Aaa," teriak Miraila karena kaget. Tubuhnya terhuyung dan jatuh ke sungai. Untungnya Arais segera menangkap dan membawa tubuh Miraila berenang ke tepi sungai.

Dari dekat Arais bisa melihat wajah Miraila yang tidak terlalu jelek. Bersih, hanya saja ada bekas seperti terbakar. Menurut Arais itu tidak terlalu jelek.

"Sudah sampai. Aku dapat beberapa ikan. Lihat ini, besar-besarkan?" Arais menunjukkan beberapa ikan yang dia ikat menggunakan tali yang dia temukan di dalam sungai.

Miraila yang masih kaget, terus berusaha menormalkan degup jantungnya. Dia cemberut dan marah pada Arais.

Melihat Miraila yang terlihat tidak ramah, Arais mendekat. Sangat dekat. Hingga Miraila bisa merasakan hembus angin dari lubang hidung Arais.

Jantung Miraila pun berdebar-debar. Terasa dadanya sesak. Apa yang akan dilakukan Arais padanya?