webnovel

Kembalikan Arais Seperti Dulu Lagi

Doni hanya bisa melihat bagaimana Arais memperlakukan ayahnya. Dia ingin tahu seberapa kejam Arais bisa menyiksa ayahnya sendiri.

'Aku gak tahu kenapa kamu bisa berubah seperti ini Pak Arais, tapi aku akan buat kamu kembali sopan dan patuh pada ayah Pak Arais sendiri,' ucap Doni dalam hati.

"Siapa yang mau protes lagi? Siap-siap angkat kaki dari perusahaan ini. Aku adalah pemegang sembilan puluh lima persen saham di sini. Siapa pun yang tidak menuruti perkataanku, siapkan surat pengunduran diri sekarang juga," kata Arais dengan tatapan tajam.

Seketika suasana meeting berubah hening. Semua menunduk dan tidak berani berkata apapun.

"Tidak ada yang mau berkata lagi atau barangkali mau protes dan menggantikan Bapak pranaya terhormat? Sekarang dia adalah bawahanku. Aku yang menguasai perusahaan ini dan aku berhak memperlakukan siapa pun sesuka hatiku" tambahnya sambil menyapu seluruh pandangan ke semua karyawan.

"Maaf Pak Arais, jadi untuk pemimpin proyek selanjutnya siapa, Pak?Aku udah siap dengan presentasi dan akan aku jelaskan pada pemimpin proyek kita nanti," potong Doni agar suasana sedikit mencair.

"Pemimpin proyek tetap Bapak Pranaya, tapi kamu harus selalu mengawasinya. Aku gak mau proyek ini gagal lagi. Mengerti kamu, Doni!" titah Arais pada Doni.

Doni tersenyum, apa yang dia rencanakan berjalan mulus. "Iya, Pak. Aku akan selalu mengawasi Pak Pranaya."

Meeting pun selesai. Arais segera meninggalkan ruang meeting, sedangkan Doni dan Pranaya berkumpul untuk membicarakan proyek selanjutnya.

"Maaf, Pak. Aku gak bisa membela Pak Pranaya saat Pak Arais memperlakukan Bapak sangat tidak manusiawi," sesal Doni ketika dia bertatap muka dengan Pranaya.

Bukannya marah, Pranaya malah tersenyum. "Tidak apa-apa. Saya senang bisa membantu anak saya sendiri."

"Bapak tidak marah diperlakukan seperti itu oleh Pak Arais di depan semua orang?" Doni keheranan.

"Kenapa saya harus marah? Saya memang ayahnya, dia juga waktu kecil pernah meminta tolong pada saya dan sekarang saya kembali pada masa itu. Masa di mana Arais sangat membutuhkan tenaga saya dan saya senang karena saya bisa membantunya," jawab Pranaya.

Ingatan Pranaya berkelana di masa muda dulu, ketika dia baru mempunyai anak berumur satu setengah tahun. Iya, dia adalah Arais saat kecil.

Pranaya sangat menyayangi Arais. Di waktu senggangnya, dia selalu menyempatkan waktu untuk bersama Arais dan istrinya. Dia masih ingat ketika Arais meminta tolong untuk mengambilkan makanan dan dengan senang hati Pranaya pun mengambilkan makanan itu untuk untuk anak tersayangnya.

Sekarang, masa-masa itu terulang lagi. Walaupun Arais sedikit berubah, Pranaya tetap menganggap Arais adalah anaknya. Anak yang selalu menjadi anak dan tidak akan pernah menjadi orang tua di matanya.

"Suatu saat nanti, kamu akan merasakan apa yang saya rasakan sekarang. Jangan pernah marah pada anak kamu sendiri. Anggap saja sekarang Arais sedang salah jalan dan saya akan berusaha untuk mengembalikan Arais ke jalan yang benar," tekad Pranaya sambil menatap syahdu pada mata Doni.

"Aku kagum dengan pemikiran Bapak dan aku juga heran kenapa Pak Arais bisa berubah sejahat ini padahal Bapak dan Ibu dulu tidak pernah mengajarkan Arais seperti ini," tanya Doni dalam kebingungan.

"Bukan orang tua saja yang menentukan sifat seorang anak, tetapi lingkungan dan teman mempunyai peran yang besar untuk merubah sifat seseorang. Mungkin sekarang Arais sedang salah pemikiran. Dia kenal dengan orang yang salah dan hidup di lingkungan yang salah, sehingga sifatnya pun berubah menjadi salah. Kalau kamu peduli dengan dia, mari kita rubah Arais agar baik seperti dulu lagi," ajak Pranaya.

"Aku sangat peduli dengan Pak Arais, Pak dan aku dengan senang hati akan membantu Pak Pranaya untuk mengembalikan jati diri Arais seperti dulu lagi," sambut Doni dengan hati gembira.

"Terima kasih karena kamu sudah mau membantu saya. Apa kamu punya rencana untuk mengembalikan Arais seperti dulu lagi?" telisik Pranaya.

"Iya, Pak. Aku punya rencana bagus dan aku harap ini bisa berjalan lancar. Aku tahu sekali kalau Pak Rais bukan orang jahat. Dia hanya terpengaruh oleh orang-orang jahat dan aku ingin Pak Rais kembali baik bukan hanya pada Pak Pranaya, tetapi pada semua orang," harap Doni.

"Amin, semoga keinginan kita untuk merubah Arais menjadi baik akan terwujud," ucap Pranaya.

***

Arais menunggu Miraila di kamar rawatnya. Miraila masih lemah karena luka tembakan di bagian dada atasnya. Namun, sekarang keadaannya jauh lebih baik. Apalagi setiap hari Arais menyempatkan diri untuk menjaganya.

"Kamu butuh sesuatu? Mau minum? Aku ambilkan, ya?" tawar Arais saat melihat Miraila mulai terbangun dan berusaha duduk

"Iya, aku haus," jawab Miraila.

Arais pun mengambil minuman yang sudah ada sedotannya. Dengan sangat perhatian, Arais membantu Miraila untuk minum. Setelah Miraila selesai minum, dia pun mengembalikan air minum itu di atas nakas.

"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah jauh lebih baik dari kemarin?" tanya Arais.

"Iya, jauh lebih baik dan sangat baik karena kamu selalu menemani aku. Aku pasti akan semakin baik kalau kamu menjadikan aku bagian terpenting dalam hidupmu," balas Miraila dengan tatapan penuh cinta.

Arais menundukkan wajahnya. Dia tidak sanggup ditatap seperti itu oleh Miraila. Arais masih belum bisa mencintai Miraila dan dia tidak ingin menjawab pertanyaan Miraila tempo hari di saat ini.

"Kata dokter, kalau hari ini kamu sudah merasa baik, kamu bisa pulang. Kamu bisa dirawat jalan di rumah. Tapi kalau kamu masih ingin dirawat di sini, aku akan ganti ruang rawatnya yang lebih baik agar kamu bisa cepat sembuh." Arais mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin Miraila kembali membahas masalah pernikahan.

"Kenapa? Kamu ingin aku cepat pulang karena kamu gak mau kaga aku lagi, ya?" tanya Miraila kecewa.

"Bukan seperti itu. Aku takut kamu bosan di sini. Sudah satu minggu kamu di rumah sakit dan aku kira kamu sudah sehat dan ingin beraktivitas seperti biasa lagi," pikir Arais.

Sesungguhnya Arais pun sudah jenuh terus menjaga Miraila. Setiap saat wanita itu menyinggung soal pernikahan dan Arais tidak nyaman.

"Iya. Aku udah lebih baik. kalau begitu hari ini aja aku pulang. Percuma juga aku tetap di sini kalau kamu jagain aku gak ikhlas. Aku gak ingin kamu membuang-buang waktu kamu secara percuma," jawab Miraila kasar. Dia marah pada Arais.

"Kalau kamu ingin pulang sekarang, aku akan menghubungi dokter dan mengurus kepulangan kamu. Sebentar lagi Doni akan ke sini dan aku akan mengurus kepulangan kamu, sekalian membayar administrasinya. Kamu tidak masalah ditinggal sebentar 'kan?" ucap Arais, tidak peduli dengan perasaan Miraila.

"Iya, pergi saja sekarang. Aku udah sehat dan kamu gak usah ke sini lagi. Selamanya gak usah temui aku. Aku cuma beban untuk kamu," dengus Miraila kesal bercampur sebal.

"Kenapa kamu berkata seperti itu? Bukan maksud aku seperti itu. Aku hanya ... aku hanya." Arais tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena apa yang diucapkan Miraila memang benar.

"Hanya apa? Hanya bosan terus lihat aku atau bosan terus dengar keinginan aku untuk menjadi istri kamu? iya, pengorbanan aku dan semua jasa-jasa aku emang gak pernah kamu anggap. Kamu hanya anggap aku sebagai beban dan benalu untuk kamu. Aku paham dan mulai sekarang, kamu gak usah perduliin aku lagi. Setelah pulang dari rumah sakit ini, aku akan pergi dan anggap kita pernah kenal," tegas Miraila.

Arais terdiam. Dia bingung harus berkata apa.

Q