webnovel

Pelayan Itu Adalah Pengeran Baruku

Laki-laki macam apa yang akan lebih dipilih seorang gadis? Seorang CEO yang kaya, cerdas, sukses dan bersifat manis, atau justru sosok pelayan yang kalem, maskulin, dan 100% setia merawatmu setiap saat? Dilema inilah yang sedang dialami Citra, seorang artis populer berumur 20 tahun. Apakah dia menginginkan seorang pangeran, atau apakah hidupnya justru akan lebih baik kalau didampingi seorang pelayan setia? Citra harus segera memutuskan siapakah tunangannya yang sebenarnya, dan ini benar-benar membuatnya gundah! “ Aku mencintai Miko!” Tapi Miko tidak bisa mencintai Citra karena hatinya hanya untuk Yulia, mantan Miko. Lalu apa yang harus Citra lakukan? Haruskah dia merelakan cinta pertamanya hilang? Apa dia harus membuka hatinya untuk seorang pelayan!? Yang benar saja!

Engladion · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
420 Chs

Pertanggungjawaban dari Satya

Setelah terdiam lama, Citra tiba-tiba bertanya, "Kalau begitu masalah tunanganmu, apa yang akan kamu lakukan?" Satya tidak ragu-ragu dengan pertanyaan ini, dan dia segera menjawab, "Pernikahan kami dibatalkan."

Citra menoleh lagi dan melihatnya dengan serius. Dia berkata, "Bagaimana jika aku tidak memasukkanmu ke penjara?" Setelah Citra mengucapkan kata-katanya, Satya tetap diam selama tiga detik, "Sama saja. Kami tetap tidak akan menikah."

Itu benar. Pernikahan Satya dan Laras pasti akan dibatalkan apa pun yang terjadi.

Citra memandangnya, di bawah rambut hitamnya yang tebal, wajah tampan pria itu tampak tanpa cela. Ekspresinya tenang dan tegas. Namun, Citra bisa melihat ada goresan tajam di dadanya dan bekas gigi di bahunya. Tidak diragukan lagi, semua itu pasti karena usahanya melawan Satya semalam. Saat mengingat kejadian tadi malam, bibir merah Citra terlihat cemberut.

Kaki kecil Citra bergerak perlahan dari karpet abu-abu untuk mendekat ke Satya yang sedang tertunduk. Dia mendekati kakinya, dan akhirnya menginjak lututnya. Satya memperhatikan gerakan Citra, tapi dia tidak bergerak, dan justru perlahan menyipitkan matanya. Kaki lembut wanita itu merangkak di atas pahanya. Satya tidak menghentikannya atau mengatakan apa pun, hanya saja napasnya menjadi lebih berat.

Citra membungkuk. Dia masih menggosokkan kakinya ke lutut Satya seperti sedang main-main. Gadis itu memperhatikan reaksi Satya yang diam saja. Tak lama kemudian, Satya mulai buka suara, "Saya pikir akan sangat sulit bagi Anda untuk melupakan perlakuan saya tadi malam." Satya menatap kaki itu. Kaki Citra kecil, putih, dan kurus. Sepertinya bisa dipegang hanya dengan satu tangan. Citra terus menggosokkan kakinya ke lutut Satya dengan sengaja yang membuat pria itu seperti mendapatkan siksaan.

Satya berkata lagi. Suaranya parau, "Saya akan menyerahkan diri. Nona juga harus siap-siap karena seseorang akan menjemput Anda untuk merias dan memberikan gaun pengantin Anda." Kata terakhir itu diiringi dengan gerakan Satya untuk bangun. Napas Satya tiba-tiba terasa berat saat menatap wanita yang kini sudah duduk di ujung tempat tidur. Citra mengenakan kemejanya yang hitam dan lebar hingga membuatnya tampak sangat ramping dan sangat menawan.

Tadi malam, setelah Satya menuntaskan aktivitasnya, Citra masih telanjang dan kelelahan, tetapi dia meracau kedinginan dan ingin mengenakan pakaian untuk tidur. Oleh karena itu, Satya mengambil kemejanya yang masih di bawah tempat tidur dan membalut tubuh gadis itu. Setelah itu, Citra akhirnya menyerah, menutup matanya sambil terisak, dan akhirnya tertidur.

"Kamu akan menyerahkan dirimu?" Citra menunduk, bibir merahnya bergetar. Kini kaki putih Citra sudah kembali menggosok paha Satya. Dia melanjutkan, "Aku tidak ingin kamu menyerahkan dirimu dan masuk penjara. Aku akan memberimu dua pilihan. Pilihan pertama, kamu harus mengembalikan keperawananku yang telah kamu ambil. Pilihan kedua, kamu akan menjadi suamiku yang bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan tadi malam." Citra menatap Satya lekat-lekat. Kamar tidur Citra menjadi sunyi untuk beberapa saat.

Suara samar pria itu terdengar, "Pria normal akan memilih yang kedua."

"Bagaimana denganmu?" tanya Citra.

Satya menjawab lagi, "Tentu saja saya normal."

Citra menarik kakinya menjauh dari paha Satya. Matanya juga tidak lagi tertuju padanya, tetapi melihat ke luar jendela sekarang. Dia berkata, "Tentu saja kamu memilih yang kedua karena aku lebih cantik dan lebih kaya dari tunanganmu. Kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, 'kan?" Satya tidak mengatakan apa-apa, tetapi dia bangkit.

Ketika Citra menyadari bahwa pria itu bangkit dari duduknya, wajah tampannya sudah berjarak sangat dekat dengannya. Pria itu berkata, "Saya bisa berjanji untuk menjadi suami nona yang pasti akan lebih baik dari Tuan Miko, tapi…" Sebelum melanjutkan kalimatnya, dia meletakkan tangannya di bahu Cira dan memeluknya, "Saya punya dua syarat."

"Syarat?" Citra hampir terkejut dan mengira bahwa dia salah dengar, "Kamu berani membuat persyaratan denganku?"

Satya menjelaskan dengan sabar, "Meskipun keputusan dibuat oleh Anda nantinya, ada peraturan yang masih harus Anda ikuti. Persyaratan saya untuk istri saya kelak sangat sederhana. Pertama, selama nona tinggal dengan saya, jaga jarak dari pria lain."

Citra menunggunya. Suara rendah yang menempel di telinganya tidak terdengar selama setengah menit. Kemudian, dia bertanya, "Bagaimana dengan yang kedua?"

"Kedua, saya seorang laki-laki," jawab Satya.

Citra mengerti maksud Satya. Matanya melebar, bibirnya nyaris bergetar karena amarah, "Satya, kamu…" Citra tidak percaya bahwa pria ini bahkan berani mengajaknya untuk menemaninya di ranjang.

Satya tersenyum samar, "Aku akan bicara secara informal denganmu mulai sekarang. Kamu menginginkanku selama ini, 'kan? Bukankah aku berhasil membuatmu orgasme tadi malam?"

Mata Citra terbuka lebar karena tidak percaya. Dia bahkan ingin menampar pria itu. Tapi kali ini, pergelangan tangannya dicengkeram kuat oleh Satya. Dia berkata dengan suaranya yang selalu terdengar acuh tak acuh, "Kamu boleh menamparku. Tamparan pertama adalah karena aku telah mengecewakanmu, dan yang kedua adalah karena apa yang telah kulakukan padamu tadi malam. Pikirkan ini, karena aku mengatakan yang sebenarnya, apakah itu membuatmu marah dan ingin menamparku?"

Wajah Citra menjadi pucat karena amarah. Satya tersenyum tipis, "Terlebih lagi, jika aku tidak bisa menyentuhmu bahkan setelah aku jadi suamimu kelak, lebih baik aku masuk penjara daripada menjadi budakmu."

Citra menggigit bibirnya. Pergelangan tangannya masih dipegang oleh pria itu. Dia berteriak, "Lepaskan aku!" Satya menatap wajahnya, lalu melonggarkan jarinya yang mencengkeram tangan Citra.

Citra menunduk dan mengusap pergelangan tangannya. Meskipun Satya tidak benar-benar menyakitinya, dia menunduk dan berkata dengan dingin, "Kamu ingin tidur denganku. Seandainya kamu bisa, apa yang akan kamu berikan untukku?" Satya menjawab, "Apa pun. Selama yang kamu mau, semua yang aku punya, semua yang aku bisa, akan menjadi milikmu."

Citra tercengang sesaat sebelum dia mengangkat kepalanya untuk melihat Satya. Seperti biasa, mata pria itu dalam dan tenang. Saat mata Citra bertemu dengan matanya, jari-jarinya di kasur sedikit melengkung. Dia berkata lirih, "Oke."

Setelah Citra selesai berbicara, dia mengulurkan tangannya dan mendorong Satya agar tidak terlalu dekat dengannya. Dia bisa tenggelam karena aroma tubuh Satya yang sangat menggoda. Citra memalingkan wajahnya, "Aku lapar, belikan aku sarapan." Satya menegakkan tubuh dan bertanya dengan suara rendah, "Kamu ingin makan apa?"

Citra menjawab, "Susu kedelai, bubur kacang merah, nasi goreng, ayam panggang, sushi, roti panggang, pizza, telur rebus, roti isi selai, dan semuanya." Pria itu mendengarkan dengan tenang, "Semua?" Citra berkata, "Tadi malam aku tidak makan malam. Sekarang aku ingin makan semuanya." Satya mengangguk dan berkata dengan ringan, "Oke, tolong katakan lagi nama makanannya karena aku lupa."

Citra marah sekaligus, "Aku tidak peduli. Aku tidak akan mengatakan apa yang telah aku katakan untuk kedua kalinya. Ingat-ingat saja sendiri." Pria itu tidak banyak bicara, hanya berkata, "Oke, aku akan membelinya." Sebelum Satya beranjak, dia berkata tanpa sungkan, "Lepaskan pakaian itu. Aku akan memakainya."

Citra terdiam. Dia merasa canggung setelah menyadari bahwa dia sedang memakai pakaian Satya. Jika pakaian itu dilepas, tidak ada sehelai benang pun yang akan menutupi tubuh mungil Citra. Semuanya sudah diambil oleh Satya dan dilemparkannya ke ruang tamu.

Citra bangkit, berjalan ke lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dan pakaian rumahnya. Dia masuk ke kamar mandi, tentu saja tak lupa menutup pintunya. Beberapa menit kemudian, Satya mengetuk pintu dan bertanya dengan suara rendah, "Berikan pakaiannya padaku." Suara seorang wanita dengan terdengar dari dalam, "Maaf, aku tidak sengaja membuatnya basah."