webnovel

Pelayan Itu Adalah Pengeran Baruku

Laki-laki macam apa yang akan lebih dipilih seorang gadis? Seorang CEO yang kaya, cerdas, sukses dan bersifat manis, atau justru sosok pelayan yang kalem, maskulin, dan 100% setia merawatmu setiap saat? Dilema inilah yang sedang dialami Citra, seorang artis populer berumur 20 tahun. Apakah dia menginginkan seorang pangeran, atau apakah hidupnya justru akan lebih baik kalau didampingi seorang pelayan setia? Citra harus segera memutuskan siapakah tunangannya yang sebenarnya, dan ini benar-benar membuatnya gundah! “ Aku mencintai Miko!” Tapi Miko tidak bisa mencintai Citra karena hatinya hanya untuk Yulia, mantan Miko. Lalu apa yang harus Citra lakukan? Haruskah dia merelakan cinta pertamanya hilang? Apa dia harus membuka hatinya untuk seorang pelayan!? Yang benar saja!

Engladion · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
420 Chs

Pengawalnya adalah Seorang Bajingan

Satya menciumnya lagi dan lagi. Pengawal pribadinya itu berani menciumnya. Citra jadi gila. Dia terlalu mungil, sehingga seorang pria dapat dengan mudah memeluknya. Terlebih lagi, lengan dan dada Satya seperti dinding besi yang tidak bisa ditembus, tidak peduli seberapa keras Citra memukul dan berjuang. Dia tidak bisa pergi dari belenggu Satya.

Satya mencium bibir Citra dengan intens. Dia benar-benar tidak memiliki keahlian apa pun tentang wanita sebelumnya. Kali ini dia hanya mengikuti keinginan batinnya dan naluri seorang pria yang ingin menikmati bibir Citra yang manis dan lembut. Tangan Satya masuk ke dalam pakaian Citra tanpa sungkan. Dia mencari kelembutan lainnya. Tak disangka, bagian tubuh Citra yang tertutupi oleh pakaian jauh lebih harum dari yang dia kira. Kulit gadis itu lebih lembut dari yang dia kira, selembut sutra.

Jika tadi Satya mencium Citra karena efek obat, maka sekarang sepertinya dia benar-benar tenggelam dalam pesona Citra. Satya sudah dikendalikan oleh hasrat dan hawa nafsunya sendiri.

Citra hanya bisa membiarkan dirinya diserang oleh Satya. Selama ini dia tidak pernah merasakan begitu jelas betapa mengerikan perbedaan kekuatan fisik antara pria dan wanita.

Satya memegang bibir Citra dan menelusuri bentuk bibirnya dengan ujung lidahnya. Setelah berciuman beberapa saat, dia dengan paksa membuka mulut Citra untuk mengabsen giginya. Dia menyerbu Citra dengan sewenang-wenang. Di sisi lain, Citra memukulinya dengan putus asa, tetapi tidak ada gunanya. Dia bahkan tidak tahu mengapa pria ini tiba-tiba menjadi seperti ini. Satya dengan kuat mencium bibirnya dan merasakan setiap inci mulutnya.

Kemesraan dan amarah yang bercampur jadi satu membuat Citra gemetar dan tatapannya kosong. Setelah ciuman Satya di bibir Citra selesai dan dia terengah-engah, pria itu akhirnya meninggalkan bibir Citra yang merah dan bengkak, lalu turun di sepanjang dagu putihnya.

Citra terengah-engah dan berteriak sambil mendorongnya, "Satya, apakah kamu sudah gila?" Suaranya baru bisa keluar, tapi dia telah ditekan oleh Satya hingga terbaring di sebuah sofa empuk. Satya menindihnya.

Citra akhirnya bisa melihat wajah Satya dengan jelas. Wajah tampan itu tepat di atasnya, dan matanya yang gelap dipenuhi dengan hasrat yang berapi-api. Satya menatapnya seperti binatang buas yang sedang menatap mangsanya. Keringat telah menetes dari dahi Satya yang menambah keseksiannya. Citra bahkan tidak menyadari bahwa pakaian longgar di tubuhnya hampir terlepas. Dadanya naik turun dengan keras. Dia berkata dengan marah dan gugup, dan suaranya bergetar, "Ada apa denganmu, Satya? Sadarlah!"

Saat ini, Satya tidak bereaksi. Citra bertanya-tanya apa yang terjadi padanya? Apakah dia Satya?

Pria itu melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya, menatap Citra tanpa ampun dengan matanya yang tampak ganas. Bibir tipisnya sedikit terbuka, suaranya serak, "Citra." Dia memanggil nama Citra tanpa sebuatan nona. Lalu, dia melanjutkan kalimatnya, "Aku ingin melakukan itu denganmu."

Citra menatapnya dengan tidak percaya. Kepalanya hampir meledak saat memikirkan tentang hal ini. Pupil matanya melebar, dan tiba-tiba dia mendorong Satya dengan seluruh kekuatannya. Usahanya berhasil, Satya berguling dari sofa ke lantai. Setelah itu, Citra memanfaatkan kesempatan ini untuk bangkit dari sofa, pikirannya kosong. Dia hanya ingin melarikan diri dari Satya.

Sayangnya, pria itu menariknya kembali hanya dengan satu tangan dan menekannya di sofa. Citra sudah sangat ketakutan. Dia mulai menangis dan memohon, "Satya, Satya… Jangan lakukan ini padaku. Aku mohon, Satya."

Satya tidak menggubris Citra. Dia justru meletakkan bantal yang ada di sofa ke belakang punggung Citra. Dia membungkuk dan mencium gadis itu lagi. Kini dia pindah dari bibirnya ke pipi, dan akhirnya dia memegang daun telinga Citra.

Citra terlalu gemetar hingga membuat Satya merasa kesal. Satya berbisik, "Bersikaplah yang baik." Napas pria itu terasa di seluruh leher Citra. Suaranya rendah dan seksi, "Jika tidak, aku mungkin akan menyakitimu. Mengerti?"

Kalimat ini dengan jelas mengatakan kepada Citra bahwa tidak ada ruang bagi dirinya untuk melarikan diri dari Satya. Citra terisak dan menggelengkan kepalanya pada dada Satya, "Jangan. Tidak, Satya, kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini, kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini."

Bibir tipis pria itu masih menempel di telinganya. Suara beratnya terdengar lagi, "Aku bisa, dan aku pasti akan berhasil."

Satya memandangi penampilan wanita yang sedang menangis di dadanya. Dia sebenarnya tidak tega, tetapi keinginan untuk menyerangnya masih terus muncul. Dia menundukkan kepalanya dan mencium kelopak mata Citra satu per satu, dan berkata, "Jangan menangis. Semakin kamu menangis, aku akan semakin menyakitimu."

Citra membeku. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Satya barusan. Pria itu sudah tiga tahun berada di sisinya, tapi baru kali ini Citra mendengarnya berkata seperti itu. Pada akhirnya, Citra tampak putus asa. Dia memejamkan mata dan terisak-isak, namun kini dia tidak lagi meronta-ronta. Hanya tubuhnya yang gemetar.

Pakaian Citra sudah dilucuti oleh Satya, hanya menyisakan rambut hitam panjangnya yang berantakan dan melapisi kulitnya yang seperti salju. Bahu indah Citra masih tampak bergetar.

Satya tidak pernah merasa bahwa dia adalah seorang pria dengan nafsu yang sangat besar. Tetapi pada saat ini, hanya ada keinginan untuk meniduri seorang wanita, terutama Citra, wanita yang telah dia lindungi dengan hati-hati selama tiga tahun. Bertentangan dengan Satya, Citra menangis tanpa henti.

Satya tidak peduli. Dia menggenggam dagu Citra dan memaksanya untuk membuka mulutnya. Lalu, dia menciumnya dengan ciuman yang dalam dan lama. Ketika Citra tenggelam dalam ciumannya, Satya memaksa Citra membuka kedua kaki rampingnya dan menikmati tubuh gadis itu.

"Ah!" teriak Citra lagi. Wajahnya pucat karena kesakitan. Saat ini, dia merasa seperti tubuhnya tiba-tiba terkoyak. Dia hanya merasa bahwa dia akan mati, "Aku akan membunuhmu, Satya. Kamu bajingan! Binatang!"

Citra menggertakkan gigi dengan penuh kebencian saat ini, terutama karena pria yang menidurinya adalah Satya. Pria itu tiba-tiba berubah dari pelindung yang dia percayai menjadi lelaki bajingan. Citra menggigit bahu Satya dengan kuat, tapi pria itu hanya mendengus kesal sambil melanjutkan aktivitasnya.

Citra segera berteriak kesakitan. Dia juga terisak, sedangkan jemarinya mencengkeram baju Satya erat-erat, "Sakit… sakit, Satya. Berhenti. Cepat keluar. Aku mohon… keluar." Citra benar-benar kesakitan, seolah dia sedang sekarat.

Citra merasa sangat tidak nyaman, sedangkan Satya tidak bisa berhenti. Tubuhnya terasa sangat panas karena bergairah, keringat menetes deras. Pernapasannya menjadi tidak teratur, dan tergesa-gesa. Dia menundukkan kepalanya dan mencium pipi Citra, lalu berkata dengan suara rendahnya, "Tidak bisa masuk. Tahan sebentar lagi, ya?"

Citra menangis hampir kehabisan napas. Ketika pria itu mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, Citra merasa lebih kesakitan. Dia ingin mendorong Satya untuk melepaskan diri dari rasa sakit yang mengelilinginya. Satya mengerutkan keningnya, dan meletakkan tangannya yang gelisah di atas kepalanya dengan satu tangan. Suara rendahnya mengancam Citra, "Citra, coba lagi."

Citra masih menangis. Entah tangisan itu adalah cerminan dari rasa sakit, amarah, atau kebencian. Dia memutar tubuhnya dengan sisa kekuatannya hingga membuat pria itu kehilangan keseimbangannya seketika, dan tubuh Satya tidak lagi menekan tubuh Citra.

Citra membuka matanya, hanya untuk merasakan bahwa rasa sakit yang menyelimutinya agak menghilang. Kemudian, dia dengan naif berpikir bahwa itu semua hanyalah mimpi buruk yang sudah berakhir.