webnovel

Patah Paling Parah

Ndari mengalami perubahan hidup semenjak hadirnya sosok wanita yang meminta dipanggil ibu. Wanita yang mampu membuat hati ayah luluh bahkan merampas hartanya secara tak sadar. Ditambah lagi hadirnya saudara tiri yang berlagak seenak jidat membuat Ndari muak. Wanita itu benar-benar membuat tertekan batin setiap hari. Ndari diperlakukan tidak adil hingga akhirnya, memutuskan kabur. Meninggalkan semua kemewahan dan memilih tinggal di rumah pacar. Namun, apa yang terjadi? Dia malah terpaksa diusir orang tua pacar demi menghindari fitnah tetangga. Lantas bagaimana kelanjutan hidup Ndari?

Natasya_Drsye · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
36 Chs

Merasa Menang

Sesampai di rumah Ndari langsung membuka dua tas yang dibawanya. Betapa terkejutnya saat mengetahui isinya adalah baju. Bibirnya nyengir tak percaya sebab selama ini ayah belum pernah membelikan baju. Beliau hanya memberi uang dan membiarkan anaknya membeli sendiri. Bahkan di saat Mama masih hidup pun juga demikian.

"Sepertinya Ayah sudah dibutakan oleh cinta tak jelas dari Tante Mitha," keluhnya. Tak sabar membuka bingkisan yang satu lagi dan isinya adalah aneka kue. Kalo itu sih, masih tergolong wajar.

"Haduh … kenapa kepalaku malah sakit lagi!" teriak Ndari merasakan sakit yang menekan di kedua pelipis.

Lehernya juga terasa tegang, sakit dan pandangan mata mulai ngeblur. Ndari memilih masuk kamar dan tidur. Tak peduli dengan bingkisan yang diobrak-abrik itu, masih berada di atas meja.

Padahal Atmaji sudah menyempatkan diri jam istrihat kerja untuk membeli aneka kue. Sdangkan baju sudah dibelinya beberapa waktu yang lalu. Selama ini di letakan di mobil agar tidak ketahuan anaknya. Namun, malah ketahuan dan diambil.

"Tak apa. Masalah baju bisa dibelikan lagi lain waktu. Yang terpenting, Mitha mau menjadi istrku, hehe."

Saking senangnya sampai lupa siang ini belum sempat makan. Atmaji memilih mengisi perutnya dengan es dengan. Yang kebetulan ada tak jauh dari sana. Bergegas ia turun dan memesan. Tak disangka malah bertemu dengan Miko.

"Miko," tegur Atmaji menepuk pundak.

Miko kaget, sudah lama tak berjumpa dengan ayah Ndari semenjak kuliah. Bibirnya tersenyum, "Apa kabar Om?"

"Alhamdulillah. Kamu sendiri?"

Keduanya menikmati es degan pinggir jalan sembari bincang-bincang. Kali ini wajah ayah Ndari tampak bahagia. Bahkan sampai sudi menyapanya lebih dulu.

"Kamu jarang main ke rumah Om. Bagaimana hubunganmu Dengan Ndari?"

"Hehe iya Om. Sudah jarang main soalnya kuliah dan ngekos."

"Ohhh … itu, Ndari enggak mau ditawari kuliah. Enggak kerja juga, Om jadi bingung."

"Hehe ...." Miko nyengir tak tahu harus bagimana menanggapinya.

Ayah Ndari bangkit sekaligus membayar es degan yang diminum Miko, "Berapa Mas, dua gelas?"

"Enggak usah Om. Saya bayar sendiri," ucap Miko mencegah.

Tetapi Atmaji sudah mengeluarkan dompet dan tetap membayarkan. Wajahnya tersenyum sembari memasukan kembali dompetnya ke dalam kantong belakang. Miko malah merasa tak enak, "Enggak papa. Kapan-kapan main lagi ya. Om, duluan."

"Iya Om. Hati-hati," pungkas Miko tidak bisa lagi megelak karena sudah dibayarinnya.

Dengan cepat ia mengambil ponsel menghubungi Ndari. Tetapi berkali-kali berdiring tak kunjung diangkat.

***

Atmaji masih saja senyum-senyum saat menyetir. Ah, rasanya seperti gila bercampur tak menyangka. Mitha yang dulu hilang dalam hidupnya kembali hadir. Menerima untuk ijadikan istri.

"Haduh tak sabar … kira-kira acara perayaannya Mitha minta yang bagaimana ya."

Kegelisahan mulai dirasakan, sampai kantor malah menelpon Mitha. Bertanya tentang acara yang diinginkan. Sebelum kembali Atmaji memang menyempatkan untuk meminta nomor telepon.

"Jadi bagaimana Sayang. Untuk acara kita nanti, inginnya yang seperti apa?"

"Mas … santai aja dulu. Kita bisa bicarakan nanti, lagian masih di kantor. Enggak enak lho didengar orang lain."

"Yah, mau bagiaman lagi. Namanya juga enggak sabar, hehe."

"Hehehe, Mas Maji bisa aja." Mitha tertawa.

Begitu juga dengan Atmaji tak bisa menghentikan senyumnya. Hatinya berbunga-bunga dan anehnya, setiap yang melitas di depannya semua disenyumi. Orang-orang kantor jadi heran degan tingkah anehnya.

"Sayang … maaf ya kalo aku kesannya malu-maluin hehe. Soalnya cintaku padamu bukan main-main, hehe."

"Ihhh, apaan. Gombal deh … inget umur, kita itu sudah memiliki gelar orang tua." Mitha mengatakan dengan kalem.

"Cintakan tak memandang umur Sayang, iya 'kan. Jadi bagaimana mau yang mewah, sederhana atau …"

"Mas, jagan terburu-buru dulu. Lagian Ndari belum setuju. O ya, saya sendiri juga belum ada rundingan dengan Sinta."

"Sita pasti mau. Sebagai anak harusnya senang melihat orang tuanya bahagia. Iya'kan."

Mitha tersenyum jahat. Atmaji adaah pria yang mudah sekali diluluhkan. Buktinya saja hanya bermodal kata maaf dia bisa luluh. Meskipun di awal dirinya tampak canggung untuk kembali. Tetapi akhirnya juga kembali, "Ternyata benar apa yang menjadi milik kita akan kembali ke kita."

"Apa Sayang?"

Astaga, Mitha menutup mulutnya. Tak sadar jika suaranya didengar oleh Atmaji. Haduh, digigitnya bibir bawah cemas.

"Hehe, enggak papa."

"Ayo ngaku, jangan enggak papa saat ditanya."

"Tadi itu Mitha katakana, apa yang mejadi milik kita akan kembali ke kita."

"Ohhh … sebuah takdir, begitukah?"

"Hehe iya … sudah dulu, ya Mas. Mitha lagi masak ini. Mas juga lagi kerja, nanti malah terganggu."

"Ohhh kamu lagi masak. Oke, aku tutup hehe. Enggak sabeh deh nyobain masakan kamu."

"Tenag aja, nanti pasti ada waktu untuk mencobanya…" Mitha mengakhiri telepon dan memastikan benar-benar sudah mati.

Mitha menguap, kakinya melangkah menuju cermin. Tersenyum kagum pada dirinya sendiri. Diusianya yang tak lagi muda ternyata bisa meluluhkan hati pria, hehe. Tangannya memegang perut, "Sepertinya aku harus diet."

"Haduh kasian sekali anak Atmaji hehe … Ndari, Ndari. Bayi kemarin sore sudah sok-sokan ngajak perang. Emangnya kamu pikir kamu itu mampu!" oceh Mitha sembari menuju dapur.

***

Ndari bangun dan kaget saat memeriksa 3 panggilan tak terjawab dari Miko. Dengan cepat menghubungi kembali.

"Halo," sapa Miko.

"Kamu tadi telepon aku pas tidur. O ya, ada emangnya kok tumben bangit. Biasanya sibuk smaa kuliahan. Lagian aku tu heran sama kamu. Kenapa sekarang kayak enggak ada waktu buat aku. Sadat enggak sih kamu iu berubah. Dulu ya, waktu aku hampir bunuh diri. Kamu adalah alasanku untu tetap hidup. Tapi sekarang kamunya malah menghilang …."

Miko sebenarnya juga heran. Semenjak jarang komunikasi Ndari semakin cerewat dan tentu hal itu membuatnya tak suka. Cowok mana yang betah diceramahi setiap kali ingin memberi kabar.

"Mik kenapa sih kamu diam aja."

"Kamu udah gomongnya. Kalo udah supaya gantian," sahut Miko.

"Iya sudah. Tapi kamu dengar enggak apa yang kukatakan tadi!"

"Dengar Sayang." Miko menaraik napas kemudian mengembuskannya.

"Emang aku tadi bilang apa? Coba ulang."

Waduh! Mati kalo sudah begini. Miko mengaruk-ngaruk kepala yang tak gatal. Mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dikatakan oleh Ndari.

"Mik, jawab!"

"E- intinya kamu bilang aku menghilangkan. Aku enggak menghilang cuman lagi sibuk aja," sahutnya membela diri.

"Ya elah. Itu sama aja!"

"Iya deh. Aku yang salah,"

"Emang salah kamu di mana?"

Haduh ribet banget itu anak, "Aku itu enggak salah cuman memilih salah supaya kamu diam. Paham?"

"Oke. Kalo nyuruh aku diam. Ya udah, matiin aja. Ini kumatian."

What! Aneh memang. Saat ponsel dimasukan celana malah ditelepon lagi sama Ndari. Dasar perempuan sikapnya berubah-ubah, "Halo apa lagi."

"Aku mau tanya. Kamu telepon aku berkali-kali tadi kenapa sih?"

"Aku cuman mau kasih kabar. Tadi ketemu Ayahmu pas beli es degan terus dibayari deh. Gitu dong, udah dulu, bye."