Semakin lama keadaan di rumah seperti neraka paling panas bagi Belle, tidak ada lagi paman Marlon yang penyayang, bertutur kata lembut, perhatian, semenjak salah paham. Ini sudah lebih dari 1x24 jam. Pamannya masih enggan buka mulut meski berkali-kali Belle ajak berbicara. Di saat pulang kerja juga tak menjenguk William, malah mendekati Candice bahkan mereka bersenda gurau.
Hal itu membuat hati kecil Belle menjerit, menyalahi diri sendiri, sebab begitu mudahnya dia jatuh cinta pada lelaki yang tak punya perasaan. Mengumpat. Di sini Belle bagaikan patung yang tak dianggap, Marlon sangat kejam, dia bebas memperlakukan tak adil. Tapi, tolong ... akui William sebagai anaknya, karena Belle berani bersumpah.
"Paman," cicit Belle seperti tikus kejepit, demi William memberanikan memanggil. "Bisakah kau menimang William sebentar, daritadi dia menangis, sepertinya putramu merindukan ..."
"Merindukan dokter Liam, begitu?" Oh, astaga! Belle menggeleng keras, kakinya melemas sedetik Marlon beranjak masa bodoh.
Mengabaikan Belle, bahkan William juga, anaknya, darah daging paman Marlon sendiri. Hik.
"Oh, lihat, Marlon sekarang tidak peduli lagi padamu." Candice menekap mulut, mengurangi suara tawanya yang sudah keterlaluan. "Kuharap kau lekas sadar diri, tinggalkan pamanmu itu, karena dia sudah tak menganggapmu hidup."
Seiring Candice beranjak pergi dengan mengibaskan rambutnya, bobot tubuh Belle roboh, untung ada kursi yang menampung. Kalau tidak mungkin Belle sudah terjatuh ke lantai bersama buliran air kristal.
Napasnya terengah di sela isak tangis yang kian hebat. Rasanya sulit diungkapkan dengan kata-kata, sungguh. Belle merasa sangat bodoh menerima lamaran Marlon tempo lalu, itu malapeka. Ayah, ibu ... kenapa kalian menyerahkan diriku pada lelaki egois, bahkan tak bertanggung jawab? Belle pikir dia akan mempertahankan paman Marlon, melindungi beliau dari Candice, tapi sekarang percuma.
"Apa aku harus pergi?" Di sini Belle merana, tekanan terus menghampiri, untuk apalagi tinggal meski suka.
Cinta bukan segalanya, jadi Belle memutuskan keluar!
Hanya mengenakan sandal jepit Belle berjalan lambat, mengarungi pekat malam dengan rintihan batin juga tangisan William yang terdengar pilu. Tanpa sepeser uang pun. Belle pergi meninggalkan harta Marlon, ponsel, juga sisa uang belanjanya kemarin.
Tin! Tin!
Kedua mata Belle menyipit, lampu mobil menyorotnya tajam, tidak lama jendela mobil pun terbuka lebar. "Isabeau Chambell?"
Eh? Untuk seperkian detik Belle mengerjap, sebelum akhirnya mengenali orang yang berada di dalam. Di depan mereka dokter Liam menatap tidak percaya, ini sebuah kebetulan. Serius! Belle tak berharap banyak selain bisa kabur dari sini.
"Chambell, tunggu ..." Liam melompat keluar, menarik Belle yang hendak berlari.
"Lepaskan tanganku!" jerit Belle, meronta, dan histeris di dalam genggaman Liam.
"Cham, ini hampir tengah malam! Kau harus pulang sekarang, banyak penjahat di jalan, tidak lucu seorang perempuan dengan anak masih bayi berkeliaran."
Detik itu juga Belle terkekeh, meski bingung dan penasaran Liam tidak bertanya apapun. Kalem.
"Kau yang lucu, aku tidak bermain, asal kau tahu aku ini sedang melakukan jalan sehat pada malam hari."
"Kau bercanda."
"Aku serius!"
"Sudah, dilanjut besok saja, anakmu bisa sakit, Bell."
Spontan Belle terdiam.
Ditatapnya William dengan perasaan berkeping-keping, pun Belle memeluk hangat memberikan kenyamanan. "Bagaimanapun kondisinya, ibu akan mempertaruhkan nyawa untukmu sayang."
"Ayo, kau harus pulang Bell, suamimu pasti mencari ..."
"Tidak! Aku tidak mau pulang ke rumahnya."
"Kalian bertengkar?"
Dokter Liam menatap Belle dengan iba, yang ditatap hanya cengo. Diam seribu bahasa telah keceplosan. Duh, gusti! Tak seharusnya Belle mengatakan hal itu, Liam pasti berpikir telah terjadi sesuatu di antara mereka, meski nyatanya memang begitu. Tercyduk.
Ketika Liam menghela sisi tubuh gadis rapuh itu, isak tangis Belle sontak pecah. Teringat segala perlakuan paman Marlon yang beda. Kendati Belle sudah tidak tahan berada di mansion Marlon Exietera, menyerah, entah sampai kapan dia akan berlabuh seperti ini.
"Maaf, karena aku kalian jadi bertengkar." Pun Belle menggeleng lemah, sebab tidak ada yang bersalah. "Kalau saja aku tak lancang, Marlon tidak akan salah paham sampai ...."
Perkataan Liam terputus saat Belle menyingkirkan tangannya, mundur tiga langkah seolah menjauh. Karena Belle tahu paman Marlon akan bertambah marah jika melihat ini, dia masih memahami makna kesetiaan pada pasangan. Tidak seperti beliau. Yang sanggup menduakan atas dasar terpaksa. Munafik.
"Demi Tuhan! Dengarkan aku, Chambell, kau harus pulang, ini sudah malam."
"Aku tidak mau pulang." Belle bersikukuh dengan pendiriannya, sekali tidak tetap TIDAK. Harga mati.
"Sekarang, katakan padaku kau mau pergi ke mana? Aku bisa mengantarmu."
"Eum, a-ku tidak tahu." Mendadak suara Belle bergetar, mata bulatnya berputar ke kanan lalu ke kiri, dan bergidik ngeri.
Belle sudah berkomitmen tidak ingin menyusahkan orang tua lagi, tak akan pernah, sesusah apapun hidupnya dengan paman Marlon.
Ya, bukan faktor finansial, melainkan susah hati.
"Bell, mungkin ini pilihan yang berat, aku berpikir menawarkanmu tinggal di apartemenku, setidaknya untuk sementara waktu kau akan tinggal aman di sana." Tatapan Liam menyiratkan kesungguhan, niat ingin menolong, bukan mencari kesempatan atau peluang. "Tapi, semua terserah padamu, aku sama sekali tidak memaksa, aku hanya kasihan dan peduli."
Hmm, bagaimana yaa? Belle berpikir keras, sekali lagi ditatapnya sekeliling, semakin malam tampak curam dan menyeramkan. Karena tidak ada pilihan Belle pun mengangguk, ini demi William, dia membutuhkan tempat untuk berteduh.
Dan di lain tempat Marlon merosot bertumpu dinding, menarik rambut ikalnya frustrasi saat mengetahui Belle meninggalkan rumah. Pergi entah ke mana? Dia sudah menelepon keluarga Belle, beserta Rose, tetapi mereka semua tidak tahu. Ini memang kesalahannya, bersikap acuh pada Belle, namun bukan berarti dia menginginkan perpisahan.
"Marlon sayang, sudahlah biarkan gadis kecil itu pergi, sekarang hanya ada kita." Candice memelintir anak rambutnya, memerhatikan Marlon dengan bingung. "Hmm, bukankah ini yang kau inginkan suamiku?"
"Diam kau jalang!" bentak Marlon, matanya memerah, menahan gejolak amarah yang sejak tadi dia tahan.
Spontan Candice membatu di tempat, sangat kaget.
Tanpa berkata lagi, Marlon beranjak mengambil mobil, membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Kepalanya seperti diperas, sakit bukan kepalang, teringat seluruh kejadian yang lalu. Segala bentuk penolakan Belle, sikap kekanakannya, senyum dan tawa gadis itu seakan-akan menghantui jiwa Marlon. Seperti reka ulang.
Arrgh, Belle! Sejauh mobil melaju, bahkan hingga hari berganti usaha Marlon tak membuahkan hasil. Sia-sia. Dia berjalan sempoyongan seperti zombie, kehilangan arah dengan batin terluka. Ketika Marlon memasuki pintu Candice langsung berlari menghampiri, Gloe juga menyambut dirinya bersama dokter Liam yang mendorong kursi roda.
"Astaga! Marlon anakku, kau seperti mayat hidup." Gloe memekik, tidak jauh beda dengan Candice, Marlon hanya menatap tanpa gairah hidup.
"Kau semalaman mencari gadis tak berguna itu, lihat sekarang, dirimu tidak jauh dari gelandangan." Napas Gloe terengah, mulai sulit berkata-kata saat Marlon berbalik seolah tak peduli.
Sedangkan Candice tetap diam, takut salah bicara, bentakan Marlon semalam rasanya masih teringang. Sungguh mengerikan!
"Marlon." Kali ini Liam yang memanggil, otomatis langkah Marlon terhenti tanpa menoleh.
Dokter Liam mengambil napas sejenak sebelum berkata ...