webnovel

Saraswati

Lamat wus katon tejane

yen mbombrong katon mencorong

Aduh..

wiragane sinawang tan amboseni....

Lirik-lirik langgam itu seakan mulai mengajak bibirku ikut mendendangkannya lagi. Klenengan musiknya menembus telingaku dan mulai meracuni otakku. Akhirnya aku pun terlena oleh bius magis gamelannya. Suara sindennya bagus selevel Anik Sunyahni, sinden high class dengan suara yang melengking jernih. Levelnya bisa disandingkan dengan Celline Dion pelantun The Power of Love kalau di barat sana. Benar-benar menarik hati ini kembali untuk mengingat masa lalu. Masa yang tak ingin kuulangi lagi karena niat hati ingin berubah tak ingin nyinden lagi. Ibarat lirik lagu ini, aku sudah kadung tresno dengan dunia tarik suara dan menari sejak kecil. Seperti kecintaan Majnun pada Laila, sampai banyak hal yang tak sepatutnya pun kulakukan demi mendapatkan sinden level high class. Jujur saja ada pertentangan dalam hati ini yang menyadarkanku agar tak lagi ikut mendendangkan lagu lagu macam itu. Suara hati merayu agar tak hanyut lagi dengan jebakan setan yang bernama musik itu. Kugigit bibirku agar aku tak ikut menyanyi. Aku yang sedari tadi di kasur asyik rebahan jadi tak tenang. Suara langgam jawa itu makin terdengar keras sayupnya terbawa angin masuk menembus dinding-dinding rumahku. Kuambil bantal di sebelahku lalu kututupkan di telingaku dan berusaha agar tidur siangku tak terganggu. Lupakan...diam! rutuk hatiku pada jiwaku. Tapi pikiranku tak bisa kuikat kuat dan dia pun melanglang lagi ke masa lalu yang menjadi bagian dari hidupku

###

"Satu...dua...tiga...empat...lima...enam..tujuh...delapan...iyak terus...ugelan tangane diperbaiki!" suara Mas Tejo membahana di sanggar tari. Kami berenam sedang latihan menari di sanggar. Kami latihan menari Serimpi yang akan dipentaskan di dalem agung keraton Yogyakarta bulan depan. Mas Tejo instruktur tariku sejak aku berusia lima tahun. Sudah banyak macam jenis tari yang diajarkannya padaku. Mulai dari tari tradisional jawa seperti Bondan, Gambyong, bahkan tarian2 dari pulau-pulau seberang juga diajarkannya terutama tari Bali. Dia sosok yang kuidolakan. Wajahnya tampan, walau pun badannya agak gemulai karena memang dia seorang penari. Laki-laki Jawa tulen dan masih perjaka, belum menikah. Tak pernah kulihat dia jalan sama perempuan. Rambutnya panjang khas orang kesenian. Jujur saja aku iri sama rambut mas Tejo yang panjang ikal tapi sehat mengkilat, tidak seperti punyaku yang kemerahan. Entah perawatan apa yang dia lakukan. Tapi pernah dia puji aku kayak orang korea. Putih, cantik mata sipit dan rambutnya asli merah jagung. Wah langsung besar kepalaku. Sanggar tari itu milik Mas Tejo sendiri. Dia bangun sanggar itu di sebelah rumahnya yang tak besar tapi artistik. Rumah dan gazebo sanggar yang bercorak Jawa dengan kayu-kayu ukiran Jepara yang kalau dihitung bisa membeli sebuah apartemen di Podomoro. Lumayan rindang dengan sebuah pohon akasia disebelah rumah serta tanaman-tanaman hijau. Gemericik air dari pancuran menambah asri suasana rumah yang bertembok keliling. Kupandangi sekitar dan akhirnya kutatap sosok Mas Tejo. Aah...aku kecewa karena aku tak pernah tahu apa yang ada di hatinya tentang aku. Apakah di matanya aku tak patut untuk mengenal rasa yang bernama cinta di hati? Entahlah!

"Hayooo Sri...perhatikan kakimu!" Teguran Mas Tejo menyadarkanku, ternyata aku melamun sambil memandangi wajahnya. Aku pun tersenyum dan mulai memperbaiki gerakanku. Kuayunkan langkah dan kugerakkan jari dan pergelangan tanganku dengan gemulai, serempak dengan yang lainnya, mengalir seiring lagu.

###

" Sri!" panggil Mas Tejo ketika rehat latihan menari.

Aku pun menoleh. Mas Tejo duduk disampingku sambil mengulurkan sebotol air mineral.

"Ini...kudapatkan dari sumur keramat di pantai selatan Malang. Minum ya. Aku harap kau tak mengecewakanku bulan depan ketika festival sinden di Solo!" Ujar Mas Tejo

" Apakah aku selama ini pernah mengecewakanmu mas?"tanyaku sambil tersenyum manis.

Mas Tejo pun tersenyum. "Sejak kamu berumur lima tahun aku mengajarimu menari. Tiga belas tahun kamu ikut aku. Tak kusangka kau sudah besar sekarang Sri. Kau tak pernah mengecewakanku. Aku bangga punya murid kayak kamu!" Puji Mas Tejo.

"Terima kasih airnya Mas!"ucapku

" Ya...jangan lupa besok ke rumah Pak Dhe Kresno untuk latihan!" Ucap Mas Tejo

Aku menjajaki dunia tarik suara sejak berumur lima belas tahun. Berarti sudah jalan 3 tahun aku jadi sinden. Setiap sabtu malam kami latihan di sebuah paguyuban karawitan Wisnu Budoyo pimpinan Pak Dhe Kresno.

###

Semerbak aroma malam yang bau asap motor kendaraan. Bercampur dengan kabut yang dingin menerpa wajahku menderu bersama angin yang tersibak karena laju sepeda motor yang kami kendarai. Kami menjelajahi jalanan kota Yogyakarta. Sosok Mas Tejo ada di depanku. Dia menjemputku untuk berangkat latihan karawitan malam ini. Jaket hijau armynya yang agak lusuh terasa agak lembab di jemari tanganku. Celana jeansnya keliatannya baru, merk Wrang***, karena terlihat labelnya masih baru belum kumal. Bau sampo merk Cle** sesekali tercium jelas dihidungku terbawa angin dari kibaran rambut Mas Tejo yang tertiup angin. Kurapatkan jaket hoodi merahku dan makin kudesakkan dudukku ke arah laki2 itu karena semakin laju kendaraan angin kota Yogya semakin dingin menerpaku.

###

Dari kejauhan suara gamelan mulai sayup terdengar. Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Berarti perjalanan kami dari rumahku di Bront*Kusu*** ke rumah pak dhe Kresno memakan waktu sejam lebih. Kami berhenti di sebuah rumah yang tak berpagar tapi memiliki halaman yang luas. Sebuah rumah sederhana dengan taman yang terawat rapi terlihat ramai oleh orang yang duduk-duduk melihat orang sedang latihan karawitan di sebuah gazebo. Sepeda motor diparkir di bawah pohon rambutan sama Mas Tejo. Aku pun turun dan memperbaiki celana dan jaket hoodieku.

"Mbak Sri...Mas Tejo...monggo!" Sapa suara yang tak asing di telingaku. Bu Dhe Sukarti istri Pak Dhe Kresno menyambut kami.

"Inggih Budhe!" Jawab kami lalu kami pun berjalan ke arah gazebo.

Anak mataku sekilas melirik sesuatu yang biasa ditaruh di pojokan gazebo. Sebuah tampah berisi bunga, sepiring kecil nasi lengkap dengan lauk ayam, oseng, mie goreng, kopi hitam, air putih dengan bunga setaman di dalamnya. Semerbak bau dupa menusuk hidung, tapi kami sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Kulihat di tempat duduk sinden sudah ada Mbak Yati. Dia tersenyum manis padaku. Tapi aku tahu senyumannya palsu. Bahkan aku takut dengan semua kepalsuannya yang ditunjukkannya padaku. Rasa iri dengkinya membuatku hampir kehilangan suaraku beberapa waktu lalu karena ulahnya menambahkan spiritus di dalam tehku. Tapi karena tak ada bukti untuk menuduhnya sebagai pelaku, akhirnya aku dan Mas Tejo membiarkan semuanya berlalu.

Aku dan Mas Tejo duduk di pinggir barisan gamelan-gamelan yang sedang dimainkan para niyaga. Kami pun larut dalam suasana magis kidung-kidung palaran dan gamelan yang dibawakan oleh para niyaga. Pak Dhe Kresno menabuh gendhang dan sesekali menyahuti suaraku dan mbak Yati yang sedang menyinden. Mas Tejo jadi Wiraswara di sebelahku.

Di tengah-tengah kami asyik latihan tiba-tiba suara HP Mas Tejo berbunyi. Kulihat dia menjauh sebentar demi menjawab telepon. Aku hanya mendengar suaranya mengiyakan seseorang di seberang sana yang sedang menelepon Mas Tejo. Setelah selesai menelepon dia pun kembali duduk disampingku.

"Sri, titip HP ku ya!" Ucapnya tanpa menunggu jawabanku dia memasukkan HP nya ke dalam tas mungilku. Sudah jadi kebiasaan, karena mungkin dia menganggap aku bukan orang lain. Tanpa kusadari dari kebiasaan ini lah yang menyebabkan aku kehilangan cinta pertamaku.

###

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam ketika aku turun dari sepeda motornya Mas Tejo. Kami pun berpisah dengan akrab, saling dadah dan saling melempar senyum. Dia pun melaju kendaraannya pulang menembus malam yang dingin, meninggalkan suara bising sepeda motornya yang akhirnya hilang di balik tikungan. Kutatap kosong jalanan yang sepi, hari sudah larut. Rumah2 tutup semua, hanya lampu-lampu merkuri yang menyala menyemarakkan malam di Jalan Bront* Kusu***. Aku pun berbalik hendak masuk dan tiba-tiba terdengar bunyi HP. Aku terkejut, dan baru sadar itu suara HP Mas Tejo yang dititipkannya padaku. Aku keluarkan HP itu dari tasku dan kulihat nama yang tertera di layar. "Sayangku". Waaah ternyata Mas Tejo selama ini sudah punya pacar toh. Lha kok tidak ngomong sama aku! Ujarku dalam hati agak terkejut bercampur girang. Tapi sebenarnya kutemui juga rasa kecewa dan sedih. Ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan. Kenyataan yang pahit memang. Tapi sudahlah, kuangkat panggilan yang masuk.Tapi tiba-tiba panggilan itu terputus karena batereinya habis. Aku pun menghela nafas panjang. Kukira aku akan bisa berbicara langsung dengan pacar Mas Tejo. Dengan masygul aku masuk ke rumah dan langsung menuju ke kamar. Rumah sudah sepi. Sepertinya Ibu bapak sudah tidur karena lampu ruang tamu sudah dimatikan. Para Jengkerik masih setia bernyanyi di luar. Diantara rerumputan taman rumah kami yang asri. Aku lempar tasku di kursi dan kurebahkan tubuhku kasur. Kupandangi plafon kamar yang bercat putih bersih, dan dinding kamar yang bercat biru. Sekeliling dinding kamarku tertempel gambar-gambar bunga. Tak ada yang istimewa. Kuhela nafasku berusaha meraba apa yang ada di hati dan pikirku. Kenapa ada rasa sakit yang kurasa. Sebuah perasaan kecewa yang tiba-tiba muncul begitu saja menghempaskan euforia cinta pertamaku pada sosok Mas Tejo. Mengapa Tuhan menitipkan rasa itu sedangkan di sisi lain aku tak bisa memiliki sosok itu. Aku galau...iya, karena aku hanya sosok yang belum dewasa.

###

Pagi itu dengan mengendarai sepeda motor aku berangkat sekolah. Kupakai seragam putih abu-abu dan kucangklong tas biru bermotif bunga. Aku memang suka bunga. Terutama bunga sakura. Cantik, itu menurutku.

"Sudah kelas XII berarti waktunya rehat aktivitasnya cah ayu!" ingat ibuku dengan lembut tadi pagi pas sarapan.

Ibuku seorang perempuan kelahiran Yogya. Perempuan sederhana dengan pemikiran yang sederhana. Ibuku hanya ingin aku bahagia dengan menjalani apa pun yang aku suka asal tidak melanggar batas norma. Termasuk berkesenian, dia tak melarang juga tak menganjurkan. Ibuku bernama Ngatmi, dinikahi ayahku saat berumur 17 tahun. Ayahku seorang keturunan darah biru dari Solo. Raden Broto Kusumo, seorang pejabat eselon 1. Darah seni mengalir dari ayahku. Ayahku pencinta seni bahkan dulu ketika masih muda dia termasuk pemain wayang orang yang terkenal. Sosok yang dibawakannya adalah sosok Arjuna. Menurut pandangan masyarakat yang pencinta seni wayang orang. Seseorang yang memerankan tokoh Arjuna biasanya yang paling tampan diantara para anggota paguyuban. Memang demikianlah ayahku. Bahkan di usianya sekarang yang sudah tak muda, gurat ketampanan itu masih terukir indah. Yang menambah kewibawaan ayah dan sebagai alasan ibuku sangat mencintai ayahku. Aaah ibuku dulu pasti juga merasakan hal yang sama denganku ketika bertemu denga ayah. Sama-sama memiliki rasa cinta yang sedang kueja saat ini.

Aku buka pagar rumah Mas Tejo. Aku berniat mengembalikan HP nya yang dititipkannya padaku. Tapi begitu aku mendekat ke pintu rumah. Aku mendengar suara laki-laki yang asing di telingaku.

"Mas sudahlah...jangan marah. Sri itu bukan siapa-siapaku. Aku cuma menganggap dia sebagai adikku!" Ucap Mas Tejo.

Aku membelalakkan mata. Kubuka sedikit pintu rumah bermaksud mengintip siapa sosok yang dipanggil "mas" oleh Mas Tejo. Tercekat tenggorokanku dan kututup mulutku agar aku tak berteriak atapun bersuara. Kulihat seorang laki-laki sedang berdiri dekat jendela ruang tengah dengan wajah yang keras menahan marah.

Mas Tejo mendekati laki-laki itu dan...Jujur saja aku tak ingin menceritakannya lagi karena tiba-tiba saja perutku mual. Aku perlahan menjauh dari pintu tapi kudengar suara Mas Tejo mengatakan. "Mas aku mung tresno sliramu!"

Kiamat duniaku. Ternyata selama ini Mas Tejo....