webnovel

PENDAR CINTA DI TEPI SUNGAI ELBE (2)

Pesawat yang ditumpangi Nina dan Lintang tiba pagi hari di Dresden Airport. Perjalanan hampir 17 jam membuat Nina tersiksa. Apalagi dengan suara bising pesawat terbang. Badannya masih terasa melayang saat kakinya menjejak ke tanah. Dia hampir terjatuh tapi dengan sigap Lintang menangkap lengannya. Lintang memegang tangan Nina sampai keluar bandara yang modern itu. Nina merasa risih dengan sikap Lintang, tapi dia tak ingin juga melepas tangan suaminya. Nina merasa takut. Suasana tampak asing bagi Nina yang tak pernah keluar negeri. Tiba-tiba sekarang dia dikelilingi orang-orang asing yang secara penampilan, bahasa dan kultur yang berbeda. Bersama Lintang dia mendapatkan rasa aman.

Cuaca dingin langsung membekap mereka begitu keluar dari bandara. Lintang mengajak Nina naik taksi menuju kota Pirna, di pinggiran Dresden. Dresden ibukota negara bagian Sachsen, berbatasan langsung dengan Republik Ceko. Kota tua ini dibelah oleh aliran sungai Elbe yang romantis. Tak ada perbincangan di antara mereka selain sopir yang menanyakan alamat yang dituju. Lintang dengan fasih menjawabnya dalam bahasa Jerman sedangkan Nina tak paham sama sekali. Bahasa Jerman terdengar aneh di telinganya. Si sopir seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahunan, menggunakan topi pet dan berjaket tebal. Untuk menghilangkan kesunyian si sopir bernyanyi sepanjang jalan. Cukup menghibur. Membuat Nina senyum-senyum sendiri walau dia tak paham apa maksud nyanyiannya. Bahasanya terdengar lucu. Nina melihat Lintang diam memandang keluar melalui jendela taksi. Apakah dia sediam ini. Bahkan di pesawat selama 17 jam dia tak mengajaknya mengobrol selain bertanya, apakah kamu lapar? Apakah kamu baik-baik saja? Dan sisanya Nina tertidur pulas di pesawat.

Nina ingat waktu berangkat di bandara Yogyakarta, ayah ibu Mertodimejo dan Pramoedya mengantar keberangkatan mereka berdua. Peluk hangat, doa keselamatan dan salam perpisahan tak urung membuat air mata tumpah begitu saja. Ayah menitipkan Nina pada Lintang untuk dijaga sebaik-baiknya selama di negeri orang. Lamunannya buyar saat tiba-tiba ada suara aneh berasal dari perut Nina dengan nyaringnya. Ya, Nina merasa lapar. Hal itu membuat Lintang langsung menoleh ke arah Nina yang langsung nyengir kuda.

Perjalanan hanya membutuhkan waktu 20 menit. Mereka sudah sampai di sebuah kota kecil Pirna. Kotanya sepi dan rumah juga berjauhan. Taksi berhenti di sebuah rumah sederhana beratap warna putih dan berdinding bata merah.

"Kita sudah sampai" ucap Lintang. Laki-laki itu turun lalu membukakan pintu taksi untuk Nina.

Nina pun turun dan memandang rumah di depan matanya. Inikah rumah Lintang? Pikir Nina. Wah sepi sekali kotanya, bisa-bisa Nina merasa kesepian di sini. Udara dingin membuat Nina tak tahan terlalu lama di luar. Dia mengikuti langkah Lintang masuk ke dalam rumah. Dia pandangi punggung suaminya.

"Dialah imam untukku, tapi apakah aku akan sanggup menjalani kehidupan selanjutnya bersamanya?" tanya Nina dalam hati.

Di dalam rumah, Lintang langsung menyalakan semua lampu. Rumah itu sederhana. Hanya ada satu kamar tamu, satu ruang tengah yang tersambung ke dapur, satu kamar mandi, dua kamar tidur dan satu ruang kerja. Nina langsung tertarik dengan ruang tengah yang berpintu kaca lebar menuju ke teras belakang. Dia memandang teras belakang hanya dari balik kaca. Dia tak berani keluar karena sangat dingin sekali diluar. Langkahnya menuju ke lemari pajang yang ada di ruang tengah. Ada foto-foto keluarga Pramoedya terpajang di sana. Mata Nina tertuju pada sosok perempuan muda yang duduk di antara keluarga suaminya. Owh ini anak gadis keluarga Pramoedya yang meninggal itu? Ya memang mirip dengan Nina, hanya saja gadis itu tidak berkacamata dan kulitnya lebih gelap.

"Dia bernama Kartika, adikku, lebih tepatnya adik angkat, karena kami tak sedarah. Dia diadopsi oleh keluarga kami karena ibu tak bisa memiliki anak lagi karena sakit," jelas Lintang tiba-tiba di belakang Nina. Nina tak menyangka cerita keluarga Pramoedya menyedihkan sekali, pantas ibunya Lintang sampai menangis saat di kereta waktu itu.

"Kamu lapar, tunggu sebentar ya, aku akan memasak untukmu," ucap Lintang dengan wajah yang begitu dekat. Nina menjadi grogi lalu menyingkir dari depan Lintang.

"Aku akan membantumu." ucap Nina langsung berjalan menuju lemari pendingin melihat bahan apa yang tersedia untuk dimasak.

Mereka hanya memasak kentang tumbuk dan menggoreng sosis yang berukuran besar. Esok mereka akan ke kota untuk berbelanja dan jalan-jalan seperti yang dijanjikan oleh Lintang.

Setelah makan mereka minum teh di dapur. Nina memandangi sosok suaminya yang ada di depannya.

"Apa yang kau lihat?" tanya Lintang mengagetkan Nina yang kepergok memandanginya.

"Aku hanya penasaran, mengapa kau setuju dengan ide pengantin pengganti daripada menikah dengan kakakku?" tanya Nina serius.

"Kau ingin tahu alasannya? Karena aku ingin menikahimu bukan kakakmu?" jawab Lintang.

Jujur saja Nina terkejut, hatinya melambung banga sebenarnya. Baru kali ini ada laki-laki yang bilang sedemikian menghibur untuk dirinya. Tapi rasa sangsi dan gengsi menguasai hatinya untuk menguji kebenaran kalimat yang diucapkan Lintang.

"Bohong, Kita tak pernah bertemu sebelumnya," ucap Nina sangsi.

Lintang hanya tersenyum. Lalu dia masuk ke dalam kamar membuat Nina bertanya-tanya karena semuanya masih kelabu bagi Nina. Tak lama kemudian Lintang keluar dari kamarnya membawa sebuah kotak. Kotak itu di taruh di atas meja di depan Nina.

"Bukalah," perintah Lintang pada Nina.

Nina yang penasaran membuka kotak itu dan melihat ke dalamnya. Seekor kumbang badak yang sudah mati di dalam kotak kaca kecil. Siapa Lintang? Apa kaitan dirinya dengan kumbang badak?

"Masih belum ingat?"tanya Lintang sambil duduk mendekati Nina. Nina menggeser tempat duduknya.

"Belum, siapa kamu, ingatanku sangat buruk tentang masa lalu," terang Nina mengakui kekurangannya.

"Kamu ingat ketika waktu itu di sungai dekat rumahmu kamu menolong anak laki-laki yang tenggelam karena tak bisa berenang?" tanya Lintang mengingatkan. Nina mencoba mengingat masa itu. Ya Nina ingat saat itu dia berumur enam tahun sedang bermain di pinggir sungai di sekitaran rumahnya yang masih sawah. Dia sedang mencari kumbang badak saat itu bersama Ayu. Tak sengaja, dia melihat anak laki-laki yang bermain sendirian di pinggir sungai lalu jatuh terpeleset dan hampir tenggelam karena sungainya dalam. Nina yang pintar berenang saat itu langsung menolong anak laki-laki itu. Karena terus menerus menangis, Nina memberikan kumbang badak yang dia tangkap kepada si anak laki-laki agar terhibur. Ayu mengantar anak laki-laki pulang. Sedangkan dia pulang untuk mengganti baju. Sejak saat itu dia tak pernah bertemu dengan si anak tenggelam. Tak disangkanya anak laki-laki itu Lintang, suaminya yang ada di depan matanya.

"Ya, aku ingat itu sekarang. Tapi bagaimana bisa kau menyimpan benda ini sekian lama?"tanya Nina yang disambut senyum Lintang.

"Kupikir karena kekuatan doa dan cinta," jawab Lintang.

Nina mencebikkan bibirnya. "Gombal," balas Nina walau dalam hatinya dia merasa melayang.

Lintang terkekeh. Baru kali ini dia melihat Lintang tertawa agak keras. "Jadi Nyonya, apakah kita akan tidur sekamar malam ini?" tanya Lintang untuk menggoda Nina.

Nina pun terkesiap. Dia langsung membulatkan mata dan menaikkan alisnya. Dia langsung ngacir menuju kamarnya sebelum terjadi sesuatu yang di luar kendalinya.

***

Lintang masuk ke kamar Nina dengan mengendap-endap. Dia buka pintu kamar istrinya yang sedang tertidur lelap. Lintang duduk di lantai di samping tempat tidur sambil memandangi wajah Nina yang cantik dan polos. Lama Lintang memandangi istrinya sampai akhirnya dia beranikan diri menyentuh hidung dan pipi Nina perlahan. Dia tahan rasa yang bergejolak dalam dadanya. Lalu dengan suara keras dia membangunkan Nina. "Ayo bangun...bangun!" teiak Lintang di samping Nina. Nina langsung membuka matanya.

"Selamat pagi, bangun Nyonya kita shalat subuh," ucap Lintang di telinga Nina.

Nina masih mengantuk. Tentu saja jam waktu shalat akan berbeda dengan di Indonesia. Nina terkejut saat sadar sudah ada Lintang di samping tempat tidurnya. Reflek dia tutupi kepalanya dengan selimut.

"Ayo sholat subuh, setelah itu siap-siap kita ke kota," ajak Lintang sambil tersenyum manis pada Nina. Nina masih menutupi muka dan kepalanya menggunakan selimut tak bergerak sama sekali.

"Kamu keluar, aku...aku..malu," ucap Nina terbata di dalam selimut.

Lintang menarik selimut Nina, tapi tangan Nina memegang erat selimutnya. Lintang mengalah lalu menjauh. "Baiklah, cepet segera shalat dan mandi," ucap Lintang sambil keluar kamar. Lintang menghela nafas lalu berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

***

Lintang dan Nina menaiki mobil menuju pusat kota Dresden. Nina menikmati nuansa kota tua Dresden yang memiliki banyak bangunan tua dari zaman pertengahan. Gedung-gedung bergaya Baroq dan Gothik mendominasi, sedikit bangunan pencakar langit. Mereka berjalan berbaur bersama para pejalan kaki menuju sebuah supermarket untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari. Mereka juga mendatangi Bioladen (toko buah dan sayur organik) untuk membeli sayur dan buah-buahan. Di tengah jalan Lintang berhenti sebentar di sebuah Blὕmenladen (toko bunga) dan membelikan sekuntum bunga mawar merah untuk Nina. Istrinya sudah duluan ke mobil memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi. Begitu Nina menutup bagasi, Lintang menjulurkan sekuntum mawar di depan istrinya. Nina tersenyum dan menerima bunga dari suaminya. Dia tak menyangka ternyata Lintang laki-laki romantis, sabar dan perhatian, jauh dari sangka awalnya yang mengatakan Lintang orang yang bebas tanpa aturan. Lintang mengajak Nina ke Brὕhl's Terrace atau Balconny of Europe untuk menikmati pemandangan kota Dresden dan Sungai Elbe. Tempat ini menyerupai beranda atas dengan ukuran yang luas. Dari balkon dengan gaya Renaisans ini mata Nina bisa menagkap pemandangan sungai Elbe dengan kapal-kapal yang membelah arus. Di sana ternyata Nina tak sendiri, banyak wisatawan yang datang sekedar menikmati keindahan kota Dresden dari jauh. Tengah hari mereka pulang ke rumah.

Di rumah Nina membantu Lintang menyimpan makanan ke dalam lemari pendingin. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke gawai Lintang. Sepertinya sebuah panggilan darurat.

"Aku harus ke rumah Tuan Schultz, dia tiba-tiba pingsan," pamit Lintang kepada Nina. Laki-laki itu langsung ke dalam kamar lalu mengambil tas dokternya dan memakai jaketnya di dalam lemari.

"Assalamualaikum," pamit Lintang langsung beranjak menuju pintu.

"Wa'alaikumsalam," jawab Nina.

Nina tahu kalau Lintang seorang dokter. Nina berjalan tergesa mengantar suaminya dari belakang. Dia membantu suaminya memakaikan jaket dan membukakan pintu.

"Aku akan cepat pulang, kalau kau mau jalan-jalan silakan saja. Hati-hati dengan kawat kandang sapi punya tetangga. Kawatnya dialiri listrik" terang Lintang sambil keluar rumah.

Nina menganggukkan kepala, lalu tiba-tiba dia dikejutkan sebuah ciuman di pipi oleh Lintang. Eh! Nina diam mematung terkejut dengan yang dilakukan Lintang. Lintang masuk ke dalam mobil sambil tersenyum memandang Nina yang masih terlihat syok di depan pintu. Kena kau! Pikir Lintang. Mobil Lintang melaju dan menghilang di belokan jalan.

Nina menghela nafas, lalu keluar berjalan ke halaman. Dia celingak celinguk melihat sekeliling. Dia langkahkan kakinya sekitar 500 meter ke sebuah rumah tetangga Lintang. Rumah itu terletak tak jauh dari sebuah lahan yang luas dengan sapi-sapi yang sedang merumput. Lahan itu memang dipagar keliling dengan kawat. Owh itu yang dimaksud oleh Lintang. Kawat itu dialiri listrik untuk menghindari pencurian. Andai di Indonesia diberlakukan demikian, pasti akan banyak tetangga yang protes. Sampai saat ini peternakan tradisional di Indonesia masih banyak yang dibiarkan di lahan-lahan kosong dan dikebun-kebun. Kecuali jika peternakan diregulasi secara modern, bisa saja dikelola secara kandang per kandang dan diberi makan serta nutrisi yang sesuai.

"Hallo Guten Tag, Kartika" sapa seorang perempuan bertubuh tambun berambut blonde dengan lipatan leher empat jenjang. Nina langsung menoleh lalu tersenyum.

"Hallo.." jawab Nina grogi karena tak tahu bahasa Jerman.

Wajah si Perempuan Blonde agak terkejut karena yang disapa ternyata bukan Kartika, adik Lintang.

"Sind Sie die Schwester von Herr Lintang?" (Apakah Anda adik dari Pak Lintang?) tanya perempuan Jerman itu memastikan.

"I'm sorry. I cannot speak Germany. Can you speak English?" (Maaf, saya tidak bisa bahasa Jerman, Apakah Anda bisa bahasa Inggris?) tanya Nina balik pada si perempuan tambun itu.

Si perempuan itu tersenyum. "You are not Kartika, are you?" (Kamu bukan Kartika, kan?) tanya perempuan itu dalam bahasa Inggris yang sangat membuat Nina lega.

Percakapan mereka lancar dalam bahasa Inggris. Nina bersyukur perempuan tambun itu lancar bahasa Inggrisnya. Nina diundang masuk ke dalam rumahnya. Perempuan itu biasa dipanggil Nyonya Wilhem, sudah lama bertetangga dengan keluarga Pramoedya sejak lima tahun yang lalu. Dia mengira Nina adalah Kartika, adik Lintang. Nina bisa memahami mengapa Nyonya Wilhelm sampai salah menyebut dirinya Kartika, karena memang dia mirip gadis yang sudah meninggal satu tahun yang lalu. Nyonya itu baru tahu jika Nina adalah istri Lintang. Dia menceritakan semua hal tentang kebaikan Kartika sampai suatu hari Nyonya Wilhelm sempat melihat Kartika pergi dari rumah kakaknya itu dengan menangis tersedu pada suatu siang di musim dingin dua tahun yang lalu. Dia tak tahu apa yang terjadi, bisa jadi dia bertengkar dengan Lintang. Setelah itu Nyoya Wilhem tak pernah melihat Kartika di rumah Lintang. Nina semakin penasaran dengan sosok Kartika. Seberapa dekat dia dengan Lintang dan apa yang terjadi di musim dingin tahun lalu. Apakah Nina cemburu? Nina menakar hatinya. Ya seharusnya dia sebagai istri seharusnya cemburu, tapi itu sudah masa lalu, toh Kartika sudah meninggal. Untuk apa mencemburui orang yang sudah mati.

Nina pulang ke rumah dengan membawa banyak sayuran dari Nyonya Wilhem. Lintang banyak membantunya saat Tuan Wilhelm kambuh rematiknya. Lintang lah yang dimintai tolong terlebih dahulu. Nina tersenyum bahagia sambil memandangi sayuran yang ada dalam kantong kertas di tangannya. Dia berjalan masuk ke halaman rumah, tapi langkahnya tiba-tiba berhenti demi melihat sosok yang sedang berada di depan pintu. Ayu, kakaknya sedang menunggunya sambil jongkok di dekat pintu depan. Ayu menggosok-gosokkan telapak tangannya karena kedinginan. Ayu diam tercekat oleh rasa jengkel bercampur kasihan.

"Oiii...apakah kau akan membiarkan tamumu kedinginan dan membeku di luar?" tegur Ayu menyadarkan Nina.

"Kau...masuklah," ucap Nina akhirnya bisa menguasai diri agar tidak langsung marah dan mengomeli Ayu.

Mereka masuk ke dalam rumah. Ayu langsung duduk di ruang tengah, melepas kupluk rajutnya. Rambutnya yang panjang terurai. Gaya Ayu sangat berbeda dengan Nina. Ayu lebih sekuler dibanding Nina. Ayu hanya memakai kerudung dulu saat masih sekolah menengah atas. Sejak dia kuliah di Berlin, dia tak pernah sekalipun menutup aurat dengan benar. Ibu dan ayahnya merasa menyesal membiarkan Ayu selama ini seenaknya sendiri. Nina mengambilkan minuman cokelat mint untuk Ayu. Nina duduk di sebelah Ayu.

"Bahagia?" tanya Ayu pada Nina setelah menyesap coklat minta sebagai penghangat tubuh.

Bruuk! Sebuah bantal melayang ke wajah Ayu. Ayu hanya nyengir dan memeluk bantal sofa yang dilempar adiknya.

"Apa yang sudah kamu lakukan Kak? Kamu menyeretku ke dalam pusaran air yang abadi. Aku tak bisa mundur lagi sekarang, aku sudah kehilangan idelismeku karena kamu," omel Nina pada Ayu.

"Seharusnya kau berterima kasih padaku karena sudah menjadikanmu istri dari Lintang. Dia laki-laki baik dan akan membahagiakanmu. Percayalah, dia tipe setia. Aku mengenalnya sejak dulu saat tahu tentang rencana perjodohan yang bodoh itu," terang Ayu.

"Kalau kau memang tahu Lintang laki-laki yang baik kenapa kau mundur dan malah minggat bersama pacar bulemu itu? Jangan-jangan kalian sudah merencanakan semuanya?" tanya Nina penasaran.

"Tanya gadis yang ada di foto itu. Dialah yang menyebabkan aku mundur," terang Ayu yang makin membuat Nina tak paham. Bagaimana Nina bisa bertanya pada orang yang sudah meninggal.

"Kak, Kartika sudah meninggal setahun yang lalu. Bagaimana aku bisa bertanya pada orang mati?" tanya Nina.

Ayu menghela nafas. "Ya, aku tahu dia sudah mati, tapi Lintang jatuh cinta pada adiknya sendiri. Ingat, mereka tidak sedarah. Sedangkan aku juga mencintai Albert. Kami tak bisa dipisahkan lagi Na," terang Ayu.

Nina duduk diam dan memandang Ayu dengan tatapan yang tak percaya.

"Dan sekarang ketika Kartika sudah tiada, kau selipkan aku di antara mereka berdua sebagai ganti adik angkatnya?" tanya Nina lagi.

Ayu diam tak bisa berkata-kata lagi. Diamnya Ayu cukup sebagai jawaban atas pertanyaannya. Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin Nina mengulang jalan hidup yang terlanjur bergulir. Nina menata perasaan dan pikirannya. Dia menyandarkan badannya ke belakang, Nina kesal. Ingin sekali dia cakar Ayu, tapi dia langsung istighfar. Sebuah kesialan ataukah sebuah keberuntungan memiliki kakak seperti Ayu. Dia akhirnya terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan.