webnovel

Perihnya Kejujuran

Ren dan Fei keluar dari rumah untuk berjalan-jalan di akhir pekan ini, sekaligus Ren ingin mengenal suasana era modern.

Benar saja, dia berulang kali bergumam takjub melihat ini dan itu di sepanjang jalan. Bahkan mereka naik angkot dan masuk ke mall meski tidak membeli apa-apa karena terbatasnya uang Fei.

Ketika Fei mengajak bersantai duduk di taman seberang mall, Ren menoleh ke Fei dengan wajah serius dan berkata, "Fei, aku boleh tanya?"

Fei berdebar-debar, kira-kira pertanyaan macam apa yang akan dilontarkan Ren? Dia meneguk salivanya dan berkata, "Si-Silahkan, Mas."

"Fei, kuharap kau bisa menjawab jujur semua pertanyaanku."

"Semoga Fei bisa, Mas."

"Harus bisa. Hm, Fei, kenapa kamu tinggal dengan keluarga pamanmu?"

"Itu … um, ayah dan ibuku sudah tak ada."

"Mereka sudah meninggal?"

Fei hanya mengangguk sebagai jawaban dan kepalanya mulai menunduk karena sedih teringat akan kedua orang tuanya.

"Maaf jika aku malah membuatmu sedih begini, Fei, tapi aku benar-benar ingin mengetahui segalanya mengenai kamu. Kuharap kau tidak keberatan. Kalau boleh tahu, kenapa kedua orang tuamu bisa meninggal? Kapan?"

"Mereka meninggal ketika aku masih kelas 1 SMP, Mas. Kami waktu itu sedang berekreasi keluar kota. Ayah menyetir dan ibu ada di depan. Aku duduk di belakang. Kami hendak ke kebun binatang karena aku sudah lama ingin ke sana. Tapi di perjalanan, ayah menghindari mobil dari arah berlawanan yang sedang menyalip truk besar padahal markah jalan lurus tak terputus dan jalanan cukup sempit. Maka dari itu, mobil ayah pun menabrak beton pembatas jalan dengan sangat keras." Suara lirih Fei mengalun sembari kepalanya tertunduk.

"Mereka … meninggal di tempat?"

"Ya, betul."

"Dan kau …."

"Kata warga, aku terlempar keluar. Aku sempat dirawat satu bulan lebih di rumah sakit setelahnya."

Ren tidak melanjutkan pertanyaannya mengenai itu dan mengganti ke topik lain. "Lalu, kau tinggal bersama keluarga pamanmu?"

"Ya."

"Tapi sikap mereka buruk padamu, Fei. Kenapa tidak pindah ke kerabat lainnya saja?"

"Tidak ada yang bersedia. Kerabat yang lain kurang mampu dan tak ingin aku menjadi beban bagi mereka. Itu alasan yang aku dapatkan dari mereka."

"Jadi, keluargamu yang lebih mampu diantara mereka, yah?"

"Sepertinya begitu, Mas. Setahuku, ayah sering membantu kerabat jika mereka datang ke rumah minta bantuan ini dan itu. Meski ayah tak pernah mengatakan padaku, tapi aku tahu sendiri, aku dengar sendiri saat mereka meminta bantuan uang kepada ayah."

"Tapi ketika kau membutuhkan bantuan, mereka dengan kejam menolakmu? Hghh … kerabat yang luar biasa, yah!" Ren menahan geramnya. Lagi-lagi dia teringat akan ibu selir dan anaknya yang telah mengkhianati keluarganya.

"Aku bisa apa, Mas? Aku masih terlalu kecil untuk protes atau menuntut."

"Nah, Fei, bukankah kalau ayahmu orang yang berkecukupan, pastinya kau akan menerima sejumlah warisan, bukan?" Ren sudah pasti paham akan ini. Di era manapun, warisan tetap bermakna sama dan prosesnya pun sama.

"Itu … semua aset dan uang ayah dipegang oleh paman dan bibi."

"Hah? Maksudmu … paman dan bibi yang di rumah itu?"

Fei mengangguk.

Dari sini, Ren langsung paham. Rupanya uang yang seharusnya menjadi hak milik Fei sudah dikangkangi oleh paman Win dan bibi Wen. "Tapi … kenapa mereka malah memperlakukanmu seperti pelayan di rumahnya? Kau bahkan memakai baju lusuh."

"Itu …."

"Fei, jangan menutupi apapun atau aku akan gunakan kekuatanku untuk membuatmu jujur," ancam Ren.

Ketakutan Ren akan memakai sihir aneh seperti yang dilakukan ke bibi dan sepupunya, Fei tak berani menutup-nutupi lagi. "Bibi … bibi mengambil semua baju-bajuku waktu itu dan memberikannya ke Nai yang seumuran denganku. Katanya aku kurang pantas dengan baju itu, lalu bibi … bibi membelikanku baju dari pasar loak."

Napas Ren terhirup dingin ketika dia menyedotnya kuat-kuat usai mendengar ucapan jujur Fei. "Pasar loak, yah … hmm … luar biasa sekali bibimu itu, hmm …."

"M-Mas! Tolong jangan apa-apakan bibi lagi, yah! Aku yakin dia sudah sangat menderita menjadi bisu begitu. Kumohon jangan hukum bibi, yah Mas!" pinta Fei sambil memegangi lengan Ren secara spontan hingga dia tersadar dan melepaskannya secara kikuk.

"Hghh … lalu … waktu aku muncul di kamarmu, kenapa tanganmu berdarah?"

Sebuah pertanyaan yang sangat ingin dihindari oleh Fei, tapi ketika dia melihat tatapan tajam Ren, nyalinya mengkerut dan dia tertunduk sambil berkata lirih, "Aku … aku waktu itu … hendak … bunuh … diri, Mas."

"Bunuh diri! Kenapa?"

"Aku … aku merasa sudah tak sanggup hidup lagi. Di rumah, paman dan semuanya memperlakukan aku dengan buruk. Di sekolah, aku juga … juga harus … menghadapi tekanan dari teman-teman lain," cicit Fei lirih.

"Kau … kau ditindas juga di sekolah?"

Fei mengangguk sambil air mata mulai jatuh di pangkuannya.

"Di mana SMA kamu, Fei?"

"SMA Harapan Luhur."

"Apa itu sekolah yang bagus? Layak?"

Fei terdiam. Dari diamnya Fei, Ren sudah bisa menebak jawabannya.

"Hghh … Fei … ya ampun, Fei, malang nian kau ini." Ren gusar, ingin marah tapi pada siapa? "Fei, apakah kau tak mempunyai teman di sekolah?"

"Ada satu teman baikku sejak SMP. Namanya Lan, Mirlani. Dia … dia sampai ikut ke SMA tempat aku bersekolah demi terus menemani aku." Fei menyusut air matanya.

"Kenapa bukan kau saja yang mengikuti Lan di SMA yang Lan inginkan? SMA yang kau masuki … itu pilihanmu sendiri?"

Kepala Fei menggeleng. "Itu … pilihan bibi. Katanya biayanya jauh lebih murah dan tidak membutuhkan banyak biaya untuk uang masuk serta uang gedung."

"Hghh! Wanita itu!"

"Mas, jangan apa-apakan bibi, yah! Itu … mungkin karena bibi ingin agar uang ayah di tangan mereka tidak lekas habis."

"Omong kosong! Aku tak percaya itu niat tulus mereka! Hm, nanti pasti akan aku korek dari mereka mengenai itu!"

Fei meremas tangannya di pangkuan sambil terus menunduk karena malu pada sekitar jika ketahuan sedang menangis meski tidak keras-keras.

"Kau ingin mengakhiri hidupmu sendiri karena banyaknya kemalangan yang terjadi padamu. Hm … bagiku itu salah, Fei, tapi aku juga bisa memahami peliknya pikiranmu saat itu."

"Aku … saat itu aku hanya … hanya ingin bisa berkumpul lagi dengan ayah dan ibu. Aku berpikir, untuk apa tetap di dunia jika dunia tidak menginginkanku."

"Hghh … Fei, meski menurutmu dunia tidak menginginkanmu, namun kau tak boleh menyerah. Apalagi kamu memiliki sahabat seperti Lan. Coba bayangkan seperti apa perasaan Lan jika kau mengakhiri hidupmu? Padahal dia sudah mencurahkan perhatian kepadamu, bahkan rela masuk ke sekolah yang sama denganmu."

Mendengar nasehat Ren, Fei jadi berpikir ulang dan perlahan dia setuju akan ucapan Ren tadi. Dia egois dan melupakan Lan. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa perduli Lan yang telah banyak berkorban selama ini untuknya.

"Arrghh … haarghh …." Terdengar suara merintih tak jauh dari mereka. Ren segera menoleh ke sekeliling mencari sumber suara.