Pangeran Narendrajanu berhasil dikirim pergi oleh Mpu Semadya, namun karena besarnya energi ajian yang disuntikkan Mpu Semadya, maka titik final tujuan sang pangeran terlalu jauh hingga ke tahun 2022.
Saat pertama muncul di era modern, sang pangeran berada di kamar seorang gadis bernama Fei dengan luka sayat di pergelangan tangan sehingga gadis itu lekas disembuhkan menggunakan ajian penyembuhan yang pangeran dapatkan dari Mpu Semadya.
Rupanya, Mpu Semadya sangat banyak menyalurkan ilmu kanuragan dan ilmu ghaib Beliau ke Pangeran Narendrajanu sehingga sang pangeran mulai bisa melakukan berbagai macam hal yang ajaib yang tak pernah dia sanggup lakukan dahulunya.
Kini, setelah luka sayat Fei sembuh sempurna tanpa menyisakan jejak, mereka berdua saling bercakap-cakap.
"Aku tak menyangka bisa terkirim ke masa yang begitu jauh di depan begini, Fei." Sang pangeran duduk di kursi belajar milik Fei setelah Fei membersihkan semua bekas ceceran darah di lantai.
"Tuan Narendrajanu …."
"Bagaimana kalau aku memiliki panggilan singkat seperti orang di era ini saja?"
"Ohh, panggilan singkat seperti apa itu?"
"Hm … sebentar aku pikirkan dulu. Hm … bagaimana kalau … aku dipanggil Ren saja? Agar singkat seperti namamu, Fei."
"Um, baiklah, Ren."
"Hei, berapa umurmu?"
"Aku? Um, aku … aku 17 tahun."
"Berarti aku lebih tua darimu. Aku 20 tahun. Panggil aku Mas, Mas Ren."
"Hah?"
"Nah, lihat, kau masih saja pakai hah untuk menjawab, tsk! Sungguh tidak sopan."
"O-Ohh, maaf … Mas Ren. Ehem! Ini … sungguh … ini sangat mengejutkan … mem-membingungkan juga untukku."
"Kenapa kau seperti ketakutan begitu melihatku? Aku bukan orang jahat, dan tidak berniat jahat." Mata Ren menyipit dengan roman wajah tak suka atas pandangan Fei terhadapnya.
"A-Ahh! Bukan … itu bukan … itu … sebenarnya …." Fei terpaksa mengangkat wajah menatap Ren sembari menggeleng kuat-kuat.
"Hei, kau ini kenapa sejak tadi bicara gagap begitu? Apa kau gadis gagap?" Ren malah salah paham mengira Fei memiliki kondisi tertentu mengenai fisiknya.
"Ti-Tidak! Aku …." Fei menunduk lagi, wajahnya terlihat sayu.
"Kau bahkan jarang menatap menatapku saat bicara, kenapa? Apakah aku begitu jelek di matamu?" duga Ren.
"Astaga, bukan!" Fei mendongak sekali lagi, makin gugup karena disalahpahami sejauh itu. Dua tangannya bergerak-gerak ke depan dengan gesture penyangkalan.
"Lalu kenapa sikapmu seperti itu? Kau duduk meringkuk seperti orang ketakutan, dan kepalamu lebih banyak tertunduk pula, suaramu lirih saat menjawab dan serba ketakutan." Ren menjabarkan semua yang dia lihat dari Fei saat ini.
"Aku … aku …."
"Apakah aku benar-benar menakutimu?" tanya Ren sambil condongkan tubuh ke depan menghadap Fei yang duduk di tepi tempat tidurnya.
"Ti-Tidak …."
"Jawab yang tegas kalau memang tidak. Ayo, bicaralah lebih keras." Ren gemas sendiri karena sikap Fei benar-benar seperti orang ketakutan. Apa dia terlihat ganas dan menakutkan?
"Aku … aku tidak berani, Mas Ren …," cicit Fei sambil meringkuk tundukkan kepala beserta meremas tangan sendiri di pangkuan.
"Kenapa tidak berani? Maksudnya apa?"
"Aku … aku tak boleh bicara keras-keras di sini." Suara Fei masih lirih.
"Hm? Tak boleh bicara keras-keras? Siapa yang memberi perintah semacam itu padamu, Fei?" Ren makin penasaran, kepalanya dimiringkan sembari kening berkerut disertai mata menyipit curiga.
Tiba-tiba ….
Cklakk!
Pintu kamar Fei dibuka dengan kasar, dan muncul seorang gadis seumuran Fei yang berseru, "Kenapa aku dengar berisik-berisik di sini, sih?!"
Fei dan Ren sama-sama terkejut dan menoleh ke gadis itu. Wajah Fei terlihat takut, sedangkan wajah Ren justru penuh tanya. Dan melihat kedua orang itu di dalam kamar, mata si gadis berbinar dengan senyum lebar, berkata, "Haa! Rupanya kau memasukkan lelaki ke dalam kamar! Mih! Pih! Lihat kelakuan jalang keponakanmu ini, Bu!" Ia berteriak keras-keras tanpa beranjak dari tempatnya di ambang pintu.
Fei lekas berdiri dan menghampiri gadis itu, berkata dengan wajah ketakutan, "N-Nai! Nai, jangan salah paham, kumohon! Aku … aku tidak memasukkan dia … aku …."
"Halah! Kau masih ingin berkelit? Dasar jalang!" Naila, atau yang biasa dipanggil Nai pun mendorong kening Fei cukup keras sehingga Fei terhuyung ke belakang.
Baru saja Nai selesai berbicara, muncullah seorang wanita dan lelaki dewasa, datang tergopoh-gopoh ke kamar Fei.
"Ada apa, Nai sayank?" tanya si wanitanya.
"Kenapa, Nai?" tanya si lelaki.
"Lihat itu, Mih, Pih! Bocah ini ternyata cukup jalang juga sampai memasukkan lelaki ke rumah kita, bahkan disembunyikan di kamar!" Suara Nai menggelegar seakan sedang menjatuhkan vonis berat terhadap Fei.
Wajah Fei makin menunjukkan ketakutan. Itu adalah keluarga pamannya, dan rumah ini memang milik sang paman, dimana Fei menumpang tinggal semenjak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan mobil saat Fei masih SMP dulu.
Karena tak ingin ada salah paham, Fei berusaha memberikan penjelasan. "Pa-Paman … Bi-Bibi, ini bukan … aku tidak memasukkan—"
"Ohh, jadi begini kelakukan keponakanmu, yah Mas Win!" Wanita itu menoleh ke pria di sampingnya sambil berkacak pinggang dan pandangan melotot tajam. "Bagus sekali! Hendak menjadikan rumah kita sebagai sarang aib dan kebejatan!"
Pria yang dipanggil Win, adalah paman kandung Fei, segera membujuk istrinya, "Duh, Mamih sayank, aku benar-benar tidak tahu kalau … kalau kelakuan dia ternyata seperti itu. Mamih jangan terlalu emosi, yah! Tenangkan hati Mamih, biar mukanya tidak tegang, sayang kan sudah pakai banyak skincare."
Sepertinya Beliau jenis lelaki takut istri.
"Nggak bisa, Papih!" Si bibi menolak tegas bujukan suaminya. "Aku curiga, jangan-jangan dia sering memasukkan banyak lelaki ke rumah ini secara diam-diam! Huh!"
Fei lekas pergi ke bibinya dan mengiba, "Bibi Wen, sungguh, Bibi … aku sama sekali tidak memasukkan siapapun ke dalam kamar kecuali Lan saja." Dia menyebutkan nama sahabat perempuan dia, Mirlani atau Lan.
"Hee?" Bibi Wen melotot ke Fei sambil menepis keras tangan Fei yang memegang lengannya. "Sudah tertangkap basah begini masih bisa berkelit? Apa kau ingin bilang kalau mata kami bertiga ini buta, heh?" Ia makin melotot.
"Mih, jelas-jelas bukti sudah ada." Nai terus memprovokasi. "Mih, Pih, daripada dia jadi aib di keluarga kita, lebih baik usir saja dia dari sini! Kalau terus dipelihara, nanti malah keluarga kita kena sial!"
Bu Sarweni atau akrab dipanggil Bibi Wen menaikkan dagunya mendengar saran sang putri. Sepertinya dia sedang menimbang ini dan itu. "Tapi, kalau dia diusir, lalu siapa nanti yang mengerjakan pekerjaan rumah? Siapa yang menyapu, mengepel, bersih-bersih dan memasak?" Ia menoleh bingung ke putrinya.
"Ahh, Mamih ini! Kan uang bapak dia masih banyak di tabungan! Bisa kita gunakan untuk bayar pembantu lainnya!" Nai langsung menyodorkan solusi.
"Tapi, kalau nanti uang itu dipakai untuk bayar pembantu, biaya skincare Mamih jadi berkurang, dong …." Bibi Wen menatap Nai dengan tatapan bimbang.
"Apakah kalian sudah selesai?" Suara berwibawa Ren menginterupsi percakapan ibu dan anak.