"Iya, ayo makan" ucap Gendhis membuka pintu dengan mata menduduk menatap lantai.
Gendhis bergegas menuju meja makan dan mengambil nasi serta lauk yang cukup kedalam piringnya. Pangeran pun begitu, tatapannya sendu dan penuh tanda tanya.
"Gendhis..".
"Pangeran, makan tidak boleh sambil bicara. Ayo, habiskan dulu" ucap Gendhis mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku belum makan, aku hanya ingin bertanya. Siapa laki-laki dalam gambar ini?" tanya Pangeran menunjukkan sebuah foto bergambar laki-laki tua dengan gadis kecil berkuncir dua.
"Kakek ku" jawab Gendhis menghela nafas.
Rupanya bukan perihal kejadian semalam, tanda tanya lain malah muncul dipikiran Gendhis, untuk apa Pangeran menanyakan hal itu. Namun, pikiran itu segera ia tepis karena rasa lega perihal pertanyaan Pangeran bukan kejadian yang semalam.
Keduanya menghabiskan makanan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pikiran-pikiran mengganggu mereka coba lupakan hingga Gendhis beranjak dari tempat duduknya dan berniat mencuci piring yang telah selesai ia habiskan makanannya.
"Biar aku saja, kamu sudah lelah bekerja seharian" ucap Pangeran sedikit merebut spons cuci piring.
"Oke, aku buatin minuman yang enak ya. Dingin juga male mini" ucap Gendhis beralih membuatkan coklat panas untuk Pangeran dan dirinya.
Dua gelas coklat panas tersaji didepan tv, dengan camilan singkong dan ubi kukus hasil kebun sendiri.
"Apa ini?" ucap Pangeran bingung.
"Coba aja, pasti kamu suka" ucap Gendhis sembari dirinya menium coklat panasnya.
"Uwaaahh!! Ini apa? Kenapa rasanya enak sekali? Susu? Ah, bukan. Tapi seperti susu" ucap Pangeran bingung, tak mengerti apa yang ia minum.
"Ini coklat panas, rasanya memang seperti susu. Tapi bukan susu" ucap Gendhis menjelaskan.
Keduanya pun menikmati seruput demi seruput coklat panas yang sedikit menghangatkan tubuh mereka didinginnya malam.
Malam semakin larut, namun Pangeran dan Gendhis hanya saling diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pangeran yang terdiam masih memikirkan foto yang ia temukan dikamar Gendhis, sedangkan Gendhis bingung memulai percakapan. Hingga suatu waktu, terbukalah mulut Pangeran mengucapkan sebuah kalimat yang membuat mata bulat Gendhis terbelalak.
"Oh, ya. Semalam kamu kenapa?" tanya Pangeran polos.
"Emm, maaf. Bukan maksudnya aku mau gitu, aku cuma takut sama petir" ucap Gendhis menunduk dan malu-malu.
Wajahnya memerah dan telingan panas, bukan karna cuaca yang dingin dan coklat panas yang ia minum. Ia hanya tak menyangka jika Pangeran akan kembali membahas kejadian malam itu.
"Tidak, bukan saat kamu memelukku. Tapi saat kamu mengigau" ucap Pangeran lagi.
"Hah? Apa aku ngigo?" tanya Gendhis bingung
"Iya, kamu menyebutkan kata kakek. Apa itu laki-laki yang ada digambar tadi?" tanya Pangeran.
"Iya, itu kakekku. Bentar ya" ucap Gendhis berlalu menuju kamar kakeknya.
Pangeran yang penasaran bukannya menunggu malah mengikuti Gendhis kekamar hingga membuat Gendhis kaget. Keduanya duduk diatas sofa yang dekat dengan pintu masuk, dibukanya sebuah kotak kayu yang nampak tertutup debu sebagian.
Gendhis mengeluarkan satu persatu barang yang diberikan kakeknya, mulai dari sebuah kalung yang diberikan padanya sebagai hadiah ulang tahun ke 17 tahunnya. Sebuah kotak perhiasan kayu dengan ukiran bunga lili yang diberikan kakekknya saat dirinya harus pergi meninggalkan kakeknya dan kembali ke kota. Ia juga menceritakan bagaimana ia bisa kembali ke desa ini yang tidak lain karena permintaan kakeknya, kakek yang teah beranjak renta dan ingin ditemani oleh cucu perempuan yang sangat ia sayangi. Bahkan, sebelum kepergiannya pun kakek masih memberikan sebuah kantung berwarna emas dengan tali serut yang berisi sepasang gelang tali ikatan sama dan sebuah jepit rambut emas dengan batu berwarna biru keunguan. Pangeran hanya terdiam memperhatikan Gendhis, dirinya seakan menyimpan pertanyaan yang tak sanggup ia utarakan pada Gendhis. Kini pikirannya melayang-layang hingga tak memperhatikan beberapa kalimat yang diutarakan Gendhis.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Gendhis menyadari Pangeran yang sedari tadi diam dengan menatapnya kosong.
"Tapi badan mu nggak panas" ucap Gendhis lagi, sembari tangannya menyentuh dahi Pangeran.
"Tidak, tidak. Aku baik-baik saja, aku hanya lelah dan ingin istirahat".
"Oh, oke. Aku keluar ya, selamat tidur" ucap Gendhis mengembalikan kotak kedalam lemari dan keluar dari kamar kakeknya dengan perasaan aneh dan bingung. Dirinya kembai kedalam kamarnya dan segera merebahkan tubuh yang sebenarnya belum merasa ngantuk. Keduanya tak berhenti membolak-balikkan tubuh diatas ranjang dengan pikiran yang sama-sama bingung
"Brukkk!!!" seru suara benda dari arah dapur yang membuat Gendhis terbangun tiba-tiba.
"Oh, kamu rupanya" ucap Gndhis yang sebelumnya berlari menuju dapur untuk mengemeriksa bunyi yang tadi membangunkan dirinya.
"Maaf, suaranya pasti membuat mu terbangun ya? Aku hanya tidak bisa membuka buah ini. Oleh sebab itulah aku gunakan batu ini" jelas Pangeran menunjukkan sebutir keluwek dengan ulekan ditangannya.
"Kamu mau buat apa pagi-pagi gini, matahari aja belum keliatan" ucap Gendhis lagi.
"Hari ini hari pertamaku kerja, aku akan bawa bekal untuk semua yang bekerja dikebun" jelas Pangeran.
"Boleh aku bantu?" tanya Gendhis.
Pangeran hanya mengangguk pelan sembari mencuci semua persediaan daging dilemari pendingin, sebab Gendhis menyuruhnya menggunakan semua daging yang lumayan lama Gendhis simpan. Makanan dengan bahan dasar daging dengan kuah yang hitam pekat, biasanya disediakan dengan tauge dan irisan tahu goreng. Pangeran cukup mengenal makana itu, mungkin beberapa makanan dari kerajaannya cukup sama dengan dunianya saat ini.
Lama berselang hingga matahari pun menunjukkan dirinya malu-malu, Pangeran dan Gendhis telah bersiap dengan bekal yang ia bawa untuk ia bagikan kepada para pegawe kebun yang ingin ia kenal. Inilah pertama kalinya Pangeran bekerja dan menghasilkan uang sendiri, tanpa mengharapkan pajak yang diberikan oleh rakyat. Sedikit demi sedikit, dengan telatennya Gendhis mengajari Pangeran memetik beberapa buah yang dirasa cukup matang. Beberapa buah yang harus dipetik sebelum benar-benar matang juga ia jelaskan secara teliti, pasalnya buah-buah yang harus dikirim keluar negeri tidak boleh sudah matang atau benar-benar matang. Karena akan terjadi kebusukan atau rusaknya buah saat diperjalanan yang cukup memakan waktu. Maka dari itulah, terkadang buah-buah yang akan dieksport terkadang masih setengah matang. Asiknya Pangeran dan Gendhis memetik buah bersama hingga lupa dengan jam makan siang, salah seorang mandor memanggil keduanya untuk makan atau sedikit menikmati waktu istirahat sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaan. Dibantu dengan beberapa buruh lainnya, Pangeran dan Gendhis membagikan makanan yang ia buat tadi pagi, dengan tawa yang menghiasi semuanya. Semuanya menyatu menikmati makanan yang dirasa cukup enak dan puas untuk makan siang, kebersamaan yang tidak pernah Pangeran rasakan data dikerajaan membuat dirinya ikut larut dalam perbincangan semua pegawai hingga jam makan siang telah selesai dan semuanya kembali pada posisinya masing-masing.
Begitu pula dengan Gendhis dan Pangeran, keduanya berpisah karena harus melakukan kegiatan yang berbeda. Gendhis ditugaskan memberi pupuk dikebun sawi dan Pangeran ditugaskan memanen jamur diruangan tertentu yang berisikan beberapa jenis jamur yang siap dipanen. Satu, dua jamur jamur Pangeran masukkan dalam kerjanjang yang berbeda, sesuai dengan jenisnya hingga telah sepenuhnya jamur dalam ruangan itu dipanennya. Cukup lama dan membuat dirinya cukup kehausan hingga dirinya memutuskan keluar dari ruangan itu dan meneguk segelas air putih yang sebelumnya telah ia sediakan didepan ruangan. Namun, betapa terkejutnya ia saat membuka pintu, sebuah sinar yang sangat menyilaukan menyedot paksa tubuhnya masuk kedalam sinar tersebut. Sekuat tenaga Pangeran raih apa saja yang ada didekatnya untuk menarik tubuhnya keluar dari sinar itu, namun sia-sia saja karena Pangeran tekah masuk sepenuhnya dalam sinar itu dan meninggalkan sebelah kaos tangannya bak cinderellah yang meninggalkan sebelah sepatu kacanya.