webnovel

OUR JOURNEY

Judul sebelumnya: Rumitnya Persahabatan [REVISI] Entah berapa lama lagi kita dapat bersama. Intinya, waktu yang aku habiskan bersama kalian sangat berharga bagiku. Selalu ada canda dan tawa serta duka di setiap perjalanan kita

Enjizoo44 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
134 Chs

Bab 130

William keluar dari kamar Nayara, ia melihat Rivano sedang bersantai di gazebo rumah seorang diri. William lalu menghampiri mertuanya itu.

"Will, Nayara masih tidur?" Tanya Rivano.

"Nggak Pa, Nayara lagi mandi."

"Kenapa muka kamu lesu gitu? Ada masalah?" Rivano menyuruh William duduk di hadapannya.

"Nggak ada apa-apa kok, Pa."

"Bohong, muka kamu lesu begitu apanya yang gapapa. Masalah sama Nayara?"

"Nggak, tapi kayanya ini bagusnya di omongin sama Mama Sherina aja."

Sherina tiba-tiba sudah muncul di belakang William dan duduk di sebelah menantunya itu. Membawa dua cangkir kopi.

"Kenapa? Omonginnya aja Will, kalau kamu nggak ngomong sama kita sama siapa lagi? Nggak usah kuat di depan kita gapapa." Sherina menatap tulus mata William.

"Sebenernya…"

William menceritakan segalanya tentang masalah Nayara.

"Huh, jadi Nayara nggak ngerasa seneng sama bayinya?" Tanya Sherina.

"Bukan nggak seneng Ma, Nayara kadang ngerasa gitu. Dia padahal sadar kalau dia harusnya nggak boleh gitu. Apa Nayara nggak mau nikah sama William?"

"Bukan, itu karena dia nggak pernah kepikiran buat punya anak makanya gitu. Gapapa, biarin dia untuk sementara. Apa Nayara pernah mau bunuh bayinya?" Tanya Sherina.

"Nggak, tapi barusan William mimpi itu."

"Itu cuma mimpi, gapapa. Berdoa aja yah." Rivano mengelus pundak William.

"Nanti Mama coba omongin ini lagi sama Nayara ya Will. Sekarang ayo kita siapin makan malam, udah mau jam tujuh."

Semua anggota keluarga sudah ada di meja makan.

"Wahh, kelihatannya enak nih! Sania mau udang," kata Sania.

"Ini tante kasih, makan yang banyak ya kalian berdua," kata Raya.

"Tania, kenapa nak? Kok mukanya kaya gitu?" Freya melihat ke arah Tania yang hanya bengong menatap piringnya.

"Tania bingung mau makan yang mana, terlalu banyak soalnya," kata Tania dan mengundang gelak tawa seisi rumah.

"Mau makan semuanya boleh, mau semuanya emang Tania?" Tanya Raya.

"Iya tante! Tolong ya," kata Tania dan tersenyum.

"Anak Lo lucu Fey."

"Emak nya aja lucu, apalagi anaknya." Freya mengibaskan rambutnya di hadapan Raya.

"Dih."

"Kak, maaf ya nggak bisa bantu. Lemes banget," bisik Nayara ke Freya.

"Gapapa, bumil nggak boleh capek-capek. Duduk aja kamu," kata Freya.

"Perasaannya udah mendingan kan, Sayang?" Tanya William.

"Iya udah lebih baik dari pada tadi."

"Makan ya semuanya, ini masakan Mama loh."

"Iya Ma, bukan masakan Mama juga tetep kita sapu kok," kata Nathan.

"Batu pun kamu makan, heran Mama." Sherina menggelengkan kepalanya.

"Nih, udah aku kupasin udangnya." Nicholas menyerahkan udang yang sudah dikupas olehnya untuk Raya.

"Baik kalau ada maunya aja," Gumam Raya.

"Hehe."

"Nath~" Rengek Freya.

"Apa?"

"Itu loh…" Freya menunjuk udang yang belum di kupas.

"Apa? Nggak suka? Taruh aja nanti aku yang makan."

"Astaga! Suami Gue kagak peka!" Freya menghela napas paarah.

"Apa sih Fey? Kamu mau apa?"

"Nggak jadi! Udah telat!"

"Ya sudah kalau gitu." Nathan kembali makan dengan damai.

"Nih Ma, di makan juga." Rivano memberi Sherina salad sayurnya.

"Makasih ya Pa," ucap Sherina tersenyum jahil ke arah suaminya.

"Haha, iya Mama."

"Mau makan yang mana?" Tanya William. Dia harus memastikan Nayara dulu baru dirinya.

"Mau sate telur aja, satu aja."

"Apa lagi?"

"Hmm," Nayara berpikir sejenak.

"Hmm, apa aja deh Will. Aku juga nggak tahu lagi mau makan apa."

William menuruti perkataan Nayara dan mengambilkan semua makanan yang ada di meja makan.

"Nayara, ambil sendiri dong makanannya. William belum makan dia," kata Sherina.

"Nggak Ma, William harus mastiin Nayara makan dulu baru William bisa makan." William masih fokus kepada Nayara.

"Perhatian ya William, iri 'kan Gue jadinya," kata Freya.

"Fey, suami Lo ngelihatin Lo tuh," kata Raya dan menunjuk Nathan.

"Biarin, nggak peka dia."

"Habis itu kamu juga makan Will, biar bisa jagain Nayara."

"Siap Pa!"

"Pa, kalau seandainya Niko nolak tawaran Papa tadi gimana?"

"Nggak gimana-gimana, cuma ya Nathan bakal kesusahan. Soalnya ilmunya Nathan kurang tentang perusahaan di Afrika."

"Pa! Ngeremehin Nathan nih ceritanya?" Teriak Nathan.

"Bukan ngeremehin, bilang dari awal biar nanti nggak ribet. Paham?"

"Emang ada apa Pa?" Tanya Nayara.

"Papa selama seminggu ini mau cek kesehatan di Indonesia, perusahana di Afrika nggak ada yang ngurus. Gimana kalau kamu aja yang pergi kalau Kakak kamu nggak bisa?"

"Jangan, Nayara masih lemah," cegah Sherina.

"Gapapa, Nayara siap kok. Naya juga udah pernah kan ngurus perusahaan Papa."

"Yakin kamu Nay?" Tanya Nicholas.

"Iya, Naya gapapa."

"Terus William? Kamu mau ninggalin William?"

Nayara melihat William yang menunduk, tak berniat makan.

"William udah gede, Ma. Nanti kalau dia kangen Naya dia bisa nyusul Nayara. Kak Niko nggak usah pergi biar Naya aja. Naya mau istirahat dulu," ucap Nayara. Nayara lalu bangun perlahan dan kembali ke kamarnya.

"William nyusul Nayara dulu ya."

"Nayara baik-baik aja kan, Ma?" Tanya Nicholas yang terlihat khawatir dengan Nayara.

"Baik kok, dia cuma nggak mood aja kayanya. Makan lagi."

"Dari baru dateng lesu amat muka pengantin itu. Ada apa diantara mereka? Apa William selingkuh?" Kata Nathan.

"Ngawur kamu! Nggak mungkin William ngelakuin hal kaya gitu, jangan ngaco kalau ngomong!" Peringat Sherina.

"Kan cuma nebak."

"Sebenernya kalian ngomongin apa sih?" Tanya Tania.

"Ini pembahasan dewasa Tania. Tania sama Sania belum boleh tahu, oke?" Ucap Raya.

"Oke."

"Kamu yakin mau pergi, Sayang?" Tanya William.

"Iya, aku kayanya perlu suasana baru deh."

"Dulu aku ajakin kamu pindah nggak mau. Tapi kalau emang kamu maunya gitu, aku persiapkan semua kebutuhan kamu selama di sana. Aku juga bakal nyuruh dokter kenalan aku buat ikut sama kamu. Gimana?"

"Tumben nggak ngelarang?"

"Aku juga tahu kalau kamu itu jenuh 'kan di mansion mulu. Aku bakal nganter kamu terus nemenin kamu sebentar, habis itu balik ke Indonseia. Perusahaan aku juga perlu di urus."

"Makasih ya Will."

Nayara lalu memeluk William erat.

"Perasaanya gimana sekarang? Masih buruk?"

"Nggak, cuma lemes aja. Kita nggak usah nginep ya langsung pulang ke mansion."

"Kenapa? Padahal kamu jarang banget ketemu sama keluarga kamu." William mengusap lembut wajah Nayara.

"Iya aku tahu, tapi aku pingin langsung balik ke mansion nggak pingin nginep."

"Nginep semalem aja yah, Sayang. Semuanya juga mau nginep dan masih mau ngobrol sama kamu. Besok pagi-pagi kita langsung balik ya."

"Iya deh." Nayara pasrah dan mengiyakan saran William.

"Nah, pinter."

"Ayo sekarang kita keluar, atau kamu mau lanjut tidur?"

"Mau keluar deh, udah hilang ngantuknya."

"Yaudah ayok." William menggenggam tangan Nayara. Diluar, semua orang sudah selesai makan dan sedang mengobrol di ruang tamu

.

"Nggak jadi tidur Nay?" Tanya Nicholas.

"Nggak."

"Sini duduk disebelah Kakak." Nayara pergi ke dekat Nicholas dan langsung menyenderkan kepalanya di bahu kakaknya. Nicholas dengan lembut mengusap kepala adiknya itu.

"Will, nggak cemburu 'kan Lo?" Tanya Nathan terkekeh.

"Kalau sama Kak Nicholas mau gimana lagi? Tahan untuk malam ini." William memejamkan matanya.

"Anjir, posesif amat Lo. Gue aja jadi suaminya Freya nggak seposesif ini kok."

"Iya nggak posesif, terus ngapain kamu nyuruh aku kerja di rumah aja, hm?"

"Biar ada yang ngurus anak Fey." Freya menyikut pelan perut suaminya.

"Kenapa? Akhir-akhir ini mood nya jelek ya?" Tanya Nicholas.

"Sedikit, kadang pusing."

"Udah ke dokter?" Nayara mengangguk.

"Apa kata dokter kalau gitu?"

"Katanya emang kalau hamil kaya gitu, tapi jangan terus di biarin. Nanti berpengaruh sama bayinya."

"Berarti yang kamu harus lakuin apa?"

"Nggak boleh moodnya jelek?"

"Iya, bisa aja kamu ngelakuin hal yang kamu suka dan sebagainya. Jangan biarin mood kamu yang jelek itu mempengaruhi kamu, oke?" Nicholas mengecup singkat kepala Nayara.

"Ck! Apa masalah Lu Nay? Biar Gue yang bantu nyelesaiin, gimana?" Tanya Nathan.

"Jangan ganggu Nath!" Pekik Nicholas.

"Bukan cuma Lo doang kakaknya Nayara. Gue juga. Ayo sini adikku yang manis, apa masalah mu biar kakak yang bantu." Nathan menaik turunkan alisnya menghadap Nayara.

"Diem Kak Gue lagi nggak mood!" Ucap Nayara.

"Anjirr, ya udah."

"Kita langsung balik ke mansion ya Ma, Pa." Kata Nayara. William sudah memaksa Nayara untuk menginap tapi Nayara tetap menolak.

"Nggak nginep?" Sherina.

"Nggak, besok-besok aja nginepnya. Yaudah, Naya pergi ya," Kata Nayara buru-buru.

"Sebaiknya kalian nginep aja Nay. Mama sama Papa jarang ketemu kalian. Will nginep ya?" Kata Nathan.

"Gue gapapa, tapi Nayara minta pulang ke mansion," jawab William.

"Nay, nginep aja yah? Mama kangen sama kamu loh." Sherina bergeleot di lengan Nayara.

"Nggak bisa Ma, obat Naya ketinggalan di mansion. Kalau nggak minum obat nanti nggak bisa tidur karena muntah terus. Udah ya Ma kita balik dulu," kata Nayara. Dengan cepat Nayara menarik tangan William.

"Kamu nggak sebaiknya nginep aja, Sayang? Lebih aman kalau ada Mama Sheri yang jagain kamu," kata William sambil fokus menyetir.

"Nggak, aku lebih suka di mansion, lebih tenang. Will, kepala aku pusing lagi." Nayara menyenderkan kepalanya dan memejamkan matanya.

"Kita ke dokter lagi, gimana? Kamu pucet banget," Tanya William dan mengelap keringat Nayara.

"Nggak usah, kayanya cuma perlu istirahat aja." Nayara tersenyum singkat.

"Perasaan dari tadi capek mulu kenapa dah." Batin Nayara.

"Kita ke dokter, aku nggak menerima penolakan."

William melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, William turun dan memutari mobilnya untuk membukakan Nayara pintu.

"Will, aku beneran gapapa. Cuma pusing dikit." Nayara mencoba menahan tangan William yang akan melepaskan sitbeltnya.

"Muka kamu pucet, itu gapapa? Aku bantu turun, ayo."

Nayara pasrah dan ikut turun bersama William. William mengambil nomor antrian, kondisi rumah sakit lumayan ramai. Entah kenapa tapi malam ini banyak sekali ibu hamil yang datang menemui dokter spesialis Nayara. Tidak ada kursi yang tersisa di ruang tunggu.

"Kita tunggu di sini aja." William berlutut, memangku Nayara dengan satu kakinya. Sementara kaki yang lain menopang tubuhnya dan Nayara.

"Nostalgia nggak Will?" Tanya Nayara dan mengusap kepala suaminya.

"Tentang apa?"

"Dulu kamu pernah sakit, kondisi rumah sakit lagi rame. Aku minjemin kamu bahu aku, itu sebelum kita pacaran. Kalau nggak salah, pas masa dimana kamu jadi bodyguard aku. Inget?" Tanya Nayara.

"Ohh itu, astaga. Hal yang nggak bisa aku lupain sampe sekarang. Aku baper banget hari itu, aku sampe nggak bisa tidur gara-gara kamu ngelakuin itu." William dan Nayara terkekeh pelan. William menyelipkan rambut Nayara ke belakang telinga wanita itu, dan menatap tulus.

"Bos!" Pekik Grey mengagetkan keduanya.

"Grey! Gila Gue kaget!" William sontak memarahi Grey.

"Maaf Bos."

"Ngapain di sini Grey?" Tanya Nayara masih setia duduk di pangkuan suaminya.

"Saya lihat lokasi kalian berdua ada di rumah sakit. Jadi saya buru-buru dateng. Apa yang terjadi?" Tanya Grey.

"Aaaa Grey, Lo perhatian banget deh." William menggeplak kuat lengan Grey yang penuh dengan tato.

"Saya mau cek kesehatan, itu doang. Makasih ya Grey, udah khawatir." Kata Nayara.

"Tunggu sebentar," kata Grey. Grey berlari lalu mengambil sebuah kursi plastik yang kosong.

"Silahkan duduk." Grey menyerahkan kursi itu untuk Nayara.

"Makasih sekali lagi, Grey." Nayara lalu duduk di sana.

"Gimana kalau Gue angkat Lo sebagai kepala bodyguard di rumah Gue?"

"Bos serius?" Grey menatap William dengan mata yang berbinar.

"Serius, Lo jadi pemimpinnya. Gue suka cara Lo kerja." William menepuk pundak Grey.

"Tapi, kalau Lo berkhianat seluruh harta yang udah Lo dapetin selama kerja bareng Gue akan Gue sita. Tidak terkecuali harta yang udah Lo pake. Datanya akan Gue simpan selalu, berlaku juga untuk semua bodyguard. Lo yang bertugas buat laporin semua tindakan curang yang dilakuin para pelayan dan yang lain," ucap William.

"Baik Bos, terima kasih sekali lagi. Terima kasih, Nona Nayara. Nyonya maksud saya."

"Lo balik duluan aja," kata William.

"Kalian?"

"Tenang, ini cuma periksa kesehatan. Tolong pastiin kamar kita berdua bersih."

"Baik Bos!"

Grey langsung pergi dari sana. William dan Nayara sudah mendapat giliran. Mereka berdua sekarang berada di dalam ruangan.

"Kondisi kehamilannya aman-aman saja, cuma ya ada beberapa ibu hamil yang memang selama masa kehamilannya itu selalu lemas. Ibu dan Bapak tak perlu khawatir tentang hal ini. Obat yang saya kasih kemarin masih 'kan Pak?"

"Masih."

"Itu diminum terus sampe habis, setelah itu lihat perkembangan. Kalau masih lemas, temui saya lagi. Itu saja dari saya, ada yang ditanyakan atau disampaikan lagi?"

"Makanan yang pantang di konsumsi apa ya Bu?" Tanya Nayara.

"Makanan yang pantang di konsumsi oleh ibu hamil antara lain, papaya, nanas, paha ayam, dan kepiting. Itu beberapa."

"Oke, terima kasih dok. Kalau gitu kami pamit dahulu."

"Baik."

Sesampainya di mobil, William langsung mengusap kepala Nayara dan melajukan mobilnya.

"Udah aku bilang aku gapapa, kamu sih." Ucap Nayara.

"Kamu selalu ngeluh pusing soalnya, kan jadi panik. Kamu mau makan apa?"

"Baru aja habis makan di rumah Mama. Bisa-bisanya kamu nyuruh aku makan lagi."

"Gapapa, asal kamu seneng. Kacang ijo deket rumah?"

"Nggak, aku nggak pingin apa-apa. Cuma pingin tidur udah itu aja."

"Oke!"

Kondisi kamar Nayara dan William sudah rapi. Para pelayan sudah melakukan semua yang diperintahkan William.

"Kamu tidur duluan, aku masih harus nyelesaiin kerjaan aku."

"Hm'm."

Seperti biasa, William akan pergi ke ruang kerjanya dan menghabiskan malam di sana. Tak terasa, jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Sudah lima jam dirinya berada di ruang kerjanya dan bekerja tanpa henti. Kini, sudah waktunya William untuk istirahat.

William terlebih dahulu pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Lalu ke tempat tidur. William memandangi Nayara yang tertidur damai dengan tangannya yang seperti biasa selalu ada di perutnya.

"Selamat tidur ya Sayang." William mengecup lama kening Nayara dan mengusap perut Nayara perlahan lalu tertidur.

Jam tiga pagi keadaan di mansion Nayara sangatlah tenang, sungguh berbeda dengan rumah kontrakan yang di diami oleh Astrid dan Saka. Hujan lebat membuat plafon mereka jebol dan kebocoran terjadi di beberapa titik rumah mereka.

"Saka, aku capek. Nggak kuat lagi." Ucap Astrid.

"Bertahan, pegang sebentar lagi. Udah hampir ketutup lubangnya."

Saka memaku setiap lubang yang ada di rumah mereka. Sudah hampir satu jam lamanya pasangan itu heboh karena kebocoran.

"Huh, akhirnya ketutup semua."

"Astrid menjatuhkan dirinya di atas sofa. Diikuti Saka yang juga duduk di lantai dengan kepala yang bersandar di sofa.

"Maaf ya Sayang, rumahnya ternyata bocor." Ucap Saka.

"Ini mah karena hujannya yang membabi buta. Capek ya? Sini aku pijitin."

Astrid bangun dan memijat bahu suaminya. Saka memejamkan matanya merasakan nikmat yang diberikan oleh Astrid.

"Uhh di kanan kerasin lagi, Yang. Nah itu wahh."

Plak!

Astrid memukul pipi Saka.

"Aduh, kenapa sih kamu ni? Sakit tahu." Saka mengusap pipinya yang panas akibat tamparan Astrid.

"Kesel aja, gapapa."

Saka menahan marahnya, untung dia sayang Astrid.

"Besok kita tutup sehari ya?" Tanya Saka

"Kenapa? Udah bosen dapet uang?"

"Nggak, sekali-sekali kita juga butuh liburan kali. Ya? Sekali aja, besok aja."

"Untuk sekarang mending jangan dulu. Kapan-kapan aja kalau udah punya uang banyak."

"Besok temen-temen mau kumpul di toko. Boleh ya?"

"Kalau itu boleh banget, sekalian jualan. Jam berapa dateng?"

"Pas jam istirahat makan siang. Nayara sama William juga bakal dateng."

"Lah, aku sampe lupa kalau Nayara sama William juga temen kita. Habisnya nggak pernah ikut kumpul sih. Gimana kabarnya dia sekarang?"

"Nggak tahu, besok aja tanya."

Keesokan harinya…

"Ciah, Nay. Tumben Lo berdua dateng," ucap Egi.

"Iya nih, sibuk soalnya," jawab William.

"Sok sibuk anjir, Gue aja masih nganggur di rumah," kata Christ.

"Lo nganggurnya ngasilin duit, kalau Gue tiduran yang ada di omelin bapak Gue," kata William.

"Kaya anak kecil deh, masih aja diomelin. Kasihan Nayara."

"Jadi Saka dong enak, dapet istri yang rajin," kata Egi.

"Rajin karena bulanannya nggak pernah nunggak, malah kadang melebihi. Ya kan sayang?" Saka merangkul pundak Astrid.

"Bapak-bapak emang gini. Dulu kalau Gue ikut main sama Papa Gue yang diomongin juga ini. heran deh," kata Karin.

"Terus ngomongin apa lagi dong? Ngomongin bisnis udah bosen," kata Christ.

"Gimana keadaan janin Lo Nay?" Tanya Andrew.

"Dia baik. Doa'in ya Andrew biar dia sehat terus." Kata Nayara

"Amin, pasti. Gue doain yang terbaik buat kalian berdua. Usia kandungan Lo berapa?" Tanya Andrew lagi.

"Baru tiga bulan, masih jauh."

"Iya, sabar. Btw ngidam apa Lo?"

"Akhir-akhir ini lagi suka sama bubur kacang ijo di dekat rumah Gue."

"Will, penuhin semua keinginan temen Gue. Harus loh ya bukan usahain!" Peringat Egi.

"Nggak Lo kasih tahu juga Gue udah sadar. Lo kapan jadian sama cewek Lo itu? Gue kira Lo ngondek tahu," kata Willam.

"Gue? Udah sebulan, tapi masih belum yakin." Jawab Egi.

"Belum yakin gimana?" Tanya Andrew.

"Ya Lo tahu Gue ragu-ragu kalau pacaran. Jadinya ini aja Gue nggak tahu mau kemana nanti."

"Ya kalau nggak pulang pasti ke kantor yakan?" Jawab Christ.

"Hubungan Gue mau di bawa kemananya nggak tahu! Sialan Lo!"

"Santai dong, mazeh. Gue kan cuma ngasih tahu. Ajak aja langsung ketemu Mama Lo. Lo udah dua lima loh masak mau tetep jadi jomblo."

"Iya emang sendiri lebih baik, tapi kalau berkeluarga lebih sempurna. Di sini cuma Lo doang yang belum punya istri Gi," kata Dita.

"Nanti deh, Gue coba cari di LOX aja."

"Lo kira barang bekas?" Kesal Dita.

"Terus mesti nyari kemana lagi? Gunung ku daki, lembah ku sebrangi. Tapi nggak juga nemu jodoh. Terus Gue mesti apa anjing?" Egi menjatuhkan kepalanya.

"Fokus sama pacar Lo yang sekarang. Kalau jodoh nggak akan kemana."

"Nayara udah mau jadi Mama. Gue otw juga, Lo kapan Rin?" Tanya Dita.

"Dita Lo hamil?" Teriak Karin dan Astrid bersamaan.

"Iya nih, baru dua minggu hehe."

"Anjirr, temen Gue pada gercep semua yah. Gue kapan dong? Gue juga mau," rengek Karin.

"Christ, kode tuh," kata Andrew.

"Iya, lagi usaha." Christ menyesap kopinya.

"Gue juga mau, Saka ayo buat." Astrid melihat ke arah Saka.

"Iya, nanti malem kita tancap gas yah."

Seminggu berlalu, ini saatnya Nayara berangkat ke Afrika untuk mengurus bisnis ayahnya.

"Ayo, silahkan ikut kami." Beberapa orang dengan seragam lengkap mengawal Nayara dan William.

"Selamat datang di Libya Nyonya Nayara. Ini kamar hotel untuk Nyonya. Beritahu saya jika ada keperluan yang Nyonya butuhkan selama di sini." Nayara diberikan kunci kamar hotel oleh penjaga hotel.

"Kamarnya nyaman?" Tanya William mengikuti Nayara yang berkeliling kamarnya.

"Iya, kamarnya luas isi gazebo dan kolam renang. Kamar mandinya juga nggak gelap. Pas!" Nayara mengacungkan jempolnya.

"Kak Nathan nanti nyusul kamu tiga hari lagi. Jadi selama tiga hari itu, aku yang bakal nemenin kamu. Masalah di kantor aku minta tolong sama Papa aku buat ngurusin perusahaan aku sementara. Kamu mau makan? Biar aku panggil pelayan yang tadi."

"Boleh. Aku mau seafood."

"Oke." William lalu mengambil telephone yang dikhususkan untuk memanggil pelayan tadi.

"Halo, saya William Ackerley. Iya ada yang saya butuhkan. Tolong bawakan kami makan siang. Menu seafood tanpa kepiting, dan buah-buahan tanpa nanas dan papaya. Terima kasih." William menutup telponnya dan berjalan ke arah Nayara yang sedang duduk di sofa.

"Bentar lagi pelayannya bawain makanan. Selama kamu di sini, tolong jaga diri ya sayang. Aku nggak bisa jagain kamu jauh lebih lama dari di Indonesia. Kemungkinan kita nggak akan ketemu minimal seminggu. Aku udah suruh dokter spesialis kenalan aku kesini nanti, dia masih di pesawat. Jangan terlalu stress, kalau nggak kuat kamu pulang aja yah." William mengelus kepala Nayara.

"Seperti biasa, kamu posesif. Tapi makasih karena udah peduli sama aku. Kamu tenang aja, aku akan jaga diri dan jaga bayi kita. Kamu juga jaga diri, jangan telat makan. Aku tahu kebiasaan kamu yang suka lupa makan. Pokoknya aku nggak mau denger Papa Thomas bilang kalau kamu sakit." Nayara menangkup wajah William.

"Permisi makanan…"

William langsung mengambil pesanannya. Makanan yang William pesan tidak terlalu banyak, karena dia tahu jika Nayara tidak akan menghabiskan semua makanannya.

"Kamu nggak mesen?"

"Nggak, aku udah kenyang tadi udah makan banyak di pesawat. Sini aku bantu kupasin kerangnya. Sedikit aja ya makan seafoodnya, banyakin buah."

"Iya pak."

"Dasar."