webnovel

OUR JOURNEY

Judul sebelumnya: Rumitnya Persahabatan [REVISI] Entah berapa lama lagi kita dapat bersama. Intinya, waktu yang aku habiskan bersama kalian sangat berharga bagiku. Selalu ada canda dan tawa serta duka di setiap perjalanan kita

Enjizoo44 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
134 Chs

Bab 123

Tiba lah hari dimana William dan Nayara akan sah menjadi suami istri. Acara mereka di gelar di sebuah gedung super mewah, yang dihadiri oleh para petinggi di perusahaan besar, pejabat Negara, dan tentunya keluarga dan teman-teman dari kedua belah pihak.

William, aka mempelai pria berjalan di atas karpet merah yang digelar sebagai alas jalannya. Setelah itu, Nayara, aka mempelai wanita berjalan diiringi oleh Rivano sebagai wali Nayara. Sebelum acara berlangsung, William tidak diizinkan untuk menemui Nayara.

"Anjir, cantik bat dah calon istri Gue," batin William.

Pendeta memimpin acara pernikahan untuk keduanya. Setelah mengucapkan janji suci, Nayara dan William diminta untuk berciuman sebagai tanda mulai detik ini mereka sudah sah menjadi suami istri.

"Selamat William!!!!!!!" Teriak Christ heboh.

"Nayara!!!! Siap-siap nanti Lo bakal jadi ibu rumah tangga kaya Gue!!!!!!!" Teriak Karin tak kalah heboh dengan suaminya.

"Nanti malem udah boleh cetak goal kalian!!!" Teriak Reiga.

"I love you," ucap William sambil menatap Nayara.

"I love you too," balas Nayara lalu kembali mencium bibir William yang mulai detik ini sudah sah menjadi suaminya.

Sekarang pasangan suami istri baru itu sedang berada di mansion mereka. Mansion itu sekarang resmi menjadi mansion mereka. Mereka akan bersiap untuk pergi ke paris untuk bulan madu sekaligus mempermudah William mengurus bisnisnya dan Nayara.

"Makasih ya udah mau nunggu aku sampai detik ini. Love you babe," ucap William lalu mencium kening Nayara lama.

"Terpaksa," kata Nayara disela-sela ciuman William. William melepas ciumannya dan menatap heran sambil mengerutkan keningnya.

"Apa maksudnya terpaksa? Kamu terpaksa nikah sama aku?" Tanya William dengan nada tinggi.

"Yups, karena udah gak ada lagi yang mau sama aku makanya aku mau nungguin kamu."

"Oh gitu, aku akan buat semua orang benci kamu sehingga kamu seutuhnya milik aku," William menyatukan keningnya dengan kening Nayara.

"Besok kita berangkat pagi pake jet pribadi aku," ucap William.

Hari sudah malam, pasangan itu memutuskan untuk tidur.

Pagi ini, William dan Nayara sudah berangkat ke Paris dan akan kembali pulang dua minggu lagi.

****

"Nicholas tunggu!" Raya menarik tangan Nicholas yang akan pergi bekerja.

"Ada apa?" Tanya Nicholas lalu menatap manik mata Raya.

"Aku mau kita cerai sekarang!"

6 bulan sudah mereka menikah. Tapi hingga kini Raya masih belum merasakan apa itu pernikahan yang sesunguhnya.

"Apa maksud kamu? Kayanya kamu masih dibawah pengaruh minuman deh, tidur lagi gih. Aku mau berangkat ke kantor dulu. Nanti kalau ada apa-apa kamu tinggal nelphone aku aja."

"Aku sepenuhnya sadar dan udah mikirin tentang keputusan aku. Aku mau kamu tanda tangani surat ini secepatnya!"

"Apa alasan kamu minta cerai sama aku, hm? Aku kurang apa? Harus kah aku libur dan merenung supaya aku tahu dimana letak kesalahan aku?" Tanya Nicholas.

"Nggak usah Nik, bukan kamu kok yang salah. Ini sepenuhnya salah aku karena aku udah mau nikah sama kamu yang ternyata belum siap untuk menjalin rumah tangga. Aku kasih kamu waktu dua hari untuk tanda tangani surat ini." Raya berucap dengan napas yang tak beraturan. Sejujurnya, hatinya sakit dan dadanya terasa sesak.

"Aku mau kerja sekarang, kamu bahkan belum nyentuh aku sedikit pun. Padahal ini udah enam bulan sejak pernikahan kita." Raya lalu keluar dari kamarnya dan membiarkan Nicholas mematung sendiri di sana.

Tak mau memikirkan hal itu, Nicholas membuang kertas yang Raya berikan padanya. Nicholas lalu berangkat ke kantornya.

"Loh, Raya mana suami kamu?" Tanya Ibu Raya.

"Dia kerja bu, sibuk banget. Ini Raya ada bawa oleh-oleh dari bulan madu kemarin," bohong Raya.

"Wah makasih ya nak. Oh iya, Ibu mau ke lurah dulu yah. Ada pembagian bansos soalnya. Kakak kamu ada di dapur ya." Ibu Raya lalu bergegas menggunakan sandalnya dan meninggalkan Raya di rumah.

"Mbak…"

Raya melihat kakaknya yang sedang memasak untuk berjualan. Raya lalu berjalan mendekat dan memeluk kakaknya.

"Astaga Raya kamu nih ngagetin mbak aja." Kakak Raya berbalik badan dan menatap adiknya yang menangis.

"Loh nangis? Ada apa Ray?"

"Mbak… aku bakal cerai sama suami aku," ucap Raya dengan air mata yang sudah tak tertahan.

"Mbak kan udah bilang dari awal jangan cari suami yang status sosialnya jauh di atas kamu. Mertua kamu jahat ya?" Tanya Kakak Raya sambil mengusap surai Raya.

"Bukan mertua aku Mbak tapi…"

"Tapi apa? Bilang aja Mbak gak bakal marah Raya."

"Nicholas ternyata belum siap buat nikah Mbak. Dia bahkan belum nyentuh aku sama sekali," Raya terus terisak di pelukan Kakaknya.

"Kamu belum disentuh sama sekali sama suami kamu Raya?" Tiba-tiba ayah Raya muncul di belakang Raya.

"Bagaimana bisa? Kamu harus nurut sama suami kamu makanya! Tidak ada perceraian karena perceraian adalah aib bagi keluarga kita! Ingat itu!" Ayah Raya yang merupakan ketua adat di kampungnya dan sangat tegas mengenai hal-hal seperti itu. Itulah sebabnya kakak Raya tidak mau menikah hingga kini.

"Pak, Raya berhak untuk memutuskan pilihan hidupnya. Raya udah bilang tadi kalau dia dan suaminya tidak cocok," kata Kakak Raya mencoba membela adiknya.

"Bapak tidak peduli! Kamu harus bertanggung jawab atas pilihan kamu! Dari awal kamu sudah bapak peringatkan untuk tidak melanjutkan hubungan kamu dengan pria yang bukan pilihan bapak. Tapi kamu malah memilih pria yang memang kaya tapi tidak punya hati!"

"Mulai sekarang kamu tidak di izinkan untuk menginjakan kaki di rumah ini kecuali suamimu datang dengan kamu! Sekarang kamu kembali ke rumah suami mu!"

"Pak…"

"Udah Mbak, bapak bener aku harus bertanggung jawab atas pilihan hidup aku. Aku mau kembali ke rumah suami aku sekarang." Raya pun meninggalkan rumahnya dengan perasaan campur aduk.

"Bapak! Cukup aku aja yang bapak kekang Raya jangan!"

"Bapak tidak mengekang nak, bapak hanya ingin dia mengingat bahwa restu orang tua itu tidak boleh dilanggar. Ingat? Kita semua sudah mencegah Raya untuk berhubungan dengan pria kaya yang sekarang sudah menjadi suaminya. Bapak sudah tahu dari cara dia memandang Raya tidak ada ketulusan sama sekali."

"Pak…"

"Bapak sayang Raya, kamu juga ibumu. Jika sesuatu terjadi dan itu membahayakan Raya bapak pasti menjadi gardu terdepan untuk Raya. Lanjutkan memasak, bapak sudah lapar." Ayah Raya menuju meja makan, duduk dan membaca koran favoritnya. Kakak Raya tersenyum sekaligus tersentuh dengan perlakuan Ayahnya.

****

"Raya, Mama minta tolong bawain ini ke kantor Nicholas ya? Mama mau arisan soalnya udah telat," ucap Sherina.

"Iya Ma," jawab Raya dengan senyuman tulus.

Ibu dan ayah mertuanya sangatlah baik kepadanya. "Gue bakal melakukan hal sebaliknya ke suami Gue. Dia belum siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga maka Gue sangat siap! Gue bakal buat Nicholas nyesel karena udah bersikap kaya gini ke Gue!" Batin Raya.

Raya lalu mengendarai mobilnya ke kantor Nicholas. Karena sudah tahu letak ruangan Nicholas, Raya tidak perlu lagi bertanya kepada karyawan di sana. Raya membuka pintu dan melihat Nicholas sedang duduk dengan dasi yang ditarik oleh seorang wanita sexy entah siapa. Wanita itu menggunakan heels merah dan menaikan salah satu kakinya ke kursi Nicholas sehingga paha wanita itu terekspos jelas.

"Raya? Menyingkir!" Terlihat Nicholas sedikit mendorong tubuh wanita itu dan berlari mendekat ke arah Raya.

Wanita itu membenarkan pakaiannya dan terlihat raut panik di wajahnya.

"Hai Sayang, ini aku buatin kamu makan siang. Kita makan bareng ya?" Raya berjalan masuk dan duduk di kursi kerja Nicholas.

"Kamu juga mau ikut makan?" Tanya Raya kepada wanita itu.

"Tidak terima kasih nyonya," kata wanita itu.

"Kamu udah makan?" Tanya Raya lagi namun dengan ekspresi meremehkan.

"Sayang, jangan tanya kaya gitu. Kamu boleh pergi sekarang," ucap Nicholas dengan gestur tangan mengisyaratkan wanita itu pergi.

"Ehh tunggu dulu dong, kan aku belum selesai nanya. Kamu udah makan belum?" Tanya Raya lagi.

"Belum nyonya," jawab wanita itu menunduk.

"Pantesan kamu mau makan suami saya, selaper itu ya?"

"Sayang udah ya, kita makan di luar aja."

"Niko sayang diem dulu ya, aku masih ngomong sama jalang yang ada di depan aku. Sssstttt." Raya menaruh jari telunjuk di bibirnya.

"Lain kali kalau laper itu makan nasi jangan makan suami orang. Pergi!" Dengan segera wanita itu pergi dari ruangan Nicholas.

"Sayang ini kamu yang masak?" Tanya Nicholas mencoba mengalihkan perhatian Raya.

"Bukan, Mama yang masak. Siapa cewek tadi?" Tanya Raya dengan wajah datar.

"Cuma karyawan biasa, jangan di piki-"

"Aku nggak mikirin itu, cuma nanya doang. Aku pulang ya."

"Katanya mau makan bareng?"

"Kamu kira aku sudi makan di ruangan yang mungkin udah jadi sarang sperma? Aku penasaran udah berapa kali kamu ngelakuin itu sama perempuan lain di belakang aku. Nggak heran sih, karena kamu munafik." Raya berjalan ke arah pintu keluar.

"Oh iya, tentang surat cerai tadi pagi, lupain aja yah. Setelah aku pikir-pikir, kayanya aku emang terobsesi sama kamu deh." Raya lalu keluar dari ruangan Nicholas dengan Nicholas yang setia mematung di meja kerjanya.

Raya mengendarai mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata di jalan tol yang sepi. Pikirannya kini sedang kacau, raganya seperti di tikam berbagai belati.

"Fuck!!!!!!!" Teriak Raya di sebuah jalan yang sangat sepi. Raya turun dari mobilnya dan berjalan gontai ke tengah jalan.

"Nicholas Hanendra! Gue pastiin kalau hidup Lo hancur ditangan Gue. Tinggal tunggu kapan mimpi Gue itu bakal terwujud! Fuck you Niko! Aaakkkhhhh!!!!" Raya mengeluarkan semua kata-kata yang ada di kepalanya. Ditemani angin kencang yang menampar wajah serta badannya dan gelapnya malam serta lampu mobil yang di biarkan menyala.

Raya menendang mobilnya sehingga alarm mobil berbunyi. Merasa bahagia dengan suara itu, Raya terus menerus menendang mobilnya sehingga ia dapat mendengar alarm itu berbunyi tanpa henti.

****

"Akkhhhh!!!!!!!!!!"

"Aku udah berusaha sayang, semua cara udah aku lakuin. Minum obat, olahraga, ke dukun dan segalanya. Tuhan belum ngasih rezeki aja buat kita. Tolong jangan lakuin ini sayang, aku mohon," Putra menangis sambil memeluk Aira. Darah berceceran di lantai kamar Putra.

"Aku capek Putra, aku capek selalu di banding-bandingin sama perempuan lain. Aku juga mau punya anak, aku pingin kaya orang lain!" Teriak Aira semakin histeris.

"Sayang…"

"Ada apa ini?" orang tua Putra masuk ke kamar mereka.

"Astaga!" Ibu Putra syok dan menutup mulutnya.

"Kenapa Aira, Putra?" Tanya ayah Putra.

Tanpa aba-aba lagi, ayah Putra segera menelphone ambulance dan membawa Putri ke rumah sakit.

"Pasien sepertinya mengalami gangguan mental yang ringan, hanya saja jika dibiarkan akan berdampak buruk dengan perkembangannya kelak."

"Apa yang harus dilakukan dok?" Tanya ibu Putra.

Ibu Putra yang mewakili Putra untuk bertemu dokter. Karena Putra menemani Aira yang sedang diobati.

"Sebaiknya pasien segera di bawa ke psikolog agar mendapatkan terapi."

Ibu Putra keluar dari ruangan dokter dan menemui menantu dan anaknya.

"Apa kata dokter, Ma?" Tanya Putra berbisik agar tidak membangunkan Aira.

"Kita omongin diluar ya," Ibu Putra mendahului Putra.

"Apa sebenernya yang terjadi sama Aira Putra?"

"Dia mau bunuh diri karena dia ngerasa kalau Mama selalu membandingkan dia sama perempuan yang udah punya anak."

"Ya tuhan, Mama nggak pernah menyinggung soal anak di depan Aira, Putra. Mama juga ngerti sama keadaan kalian." Ibu Putra meneteskan air matanya, prihatin akan keadaan yang menimpa putra dan menantunya.

"Apa mungkin Aira sering ngelihat Mama gendong cucu tetangga ya? Mama nggak bermaksud buat nyindir Aira nak," kata Ibu Putra.

"Putra juga nggak ngerti sama Aira. Putra bingung Ma," Putra menangis di pelukan Ibunya. Keadaannya yang sekarang sangat sulit untuknya.

"Iya Mama paham, besok kita ajak Aira ke psikolog."

"Aira gila?!" Teriak Putra dengan mata yang makin memerah.

"Enggak, mental Aira cuma keganggu sedikit. Nggak perlu khawatir. Sekarang kamu masuk dan temenin Aira, Mama bakal bawa baju ganti buat kalian." Ibu Putra lalu pergi dari rumah sakit untuk mengambilkan Aira pakaian.

Keesokan paginya, Aira akhirnya sadar dari efek obat bius yang lumayan tinggi.

"Sayang…" Hal yang pertama Aira lihat adalah ibunya dan ibu mertuanya yang sedang menunggu kesadarannya.

"Mama, Putra mana?" Tanya Aira lemah.

"Suami kamu kerja nak, nanti siang dia kesini," jawab Ibu Aira.

Aira menundukan kepalanya, teringat kejadian semalam. Dirinya pasti telah membuat keributan besar kemarin.

"Ma, maaf Aira kemarin…"

"Minta maaf buat apa? Nggak usah dipikirin, kamu stress itu. Nanti kita jalan-jalan sama-sama biar pikiran kamu lebih rilex ya sayang. Makan setelah itu minum obat, Mama kamu yang nyuapin," kata Ibu Putra.

"Aira!" Putra membuka pintu kamar dengan napas yang tersengal.

"Aira kamu udah sadar?" Putra memeluk dan mengusap kepala Aira. Aira menangis dipelukan Putra.

"Aku ada di sini, jangan takut ya."

Plak!

Ibu Putra memukul lengan putranya itu.

"Kamu itu dateng-dateng udah bikin Aira nangis!"

"Maaf Ma."

"Biarin Aira makan dulu, habis ini kita jalan-jalan ya Put. Temenin kita shoping," kata Ibu Putra.

"Ma, Aira pingin ke bukit," kata Aira.

"Boleh, kemana aja kalau Aira mau, Putra bakal anter."

"Iya sayang, tinggal bilang aku bakal anter kamu kemana pun, oke?" Putra mencium kening Aira dan menyuapi Aira.

****

"Halo guys, dah lama kagak ngumpul nih kita," kata Reiga dan duduk di gazebo rumah Nicholas.

Reiga, Hao, Putra, Nathan, dan Nicholas berjanji akan bertemu di rumah Nicholas hari ini.

"Sibuk Gue anjirr, belum sempet main jadinya," kata Hao.

"Gimana perusahaan Lo Nik?"

"Lancar aja," jawab Nicholas dengan wajah yang murung sambil menyesap rokoknya.

"Kenapa muka Lo kusut kaya baju yang belum di setrika? Lo juga Put," tanya Nathan.

"Lo kembaran Niko masak nggak tahu apa yang terjadi sama Niko," kata Hao.

"Lo pasti mikir kalau Gue sama Niko bisa teleportasi gitu? Sharing pikiran?"

"Emang nggak bisa?" Tanya Reiga.

"Bisa kalau Gue belajar ilmu hitam. Sekalian Gue belajar buat nyantet Lu!"

"Sialan!"

"Kemarin Aira hampir bunuh diri."

"…...."

Hening, semuanya terlalu terkejut dengan berita yang di bawa Putra.

"Dia stress karena udah hampir lima tahun dia nikah belum dapet anak juga. Nath, gimana caranya supaya dapet anak?"

"Ya gitu, olahraga kasur," jawab Nathan.

"Udah, tapi nggak berhasil, ada cara lain?" Tanya Putra.

"Nggak tahu juga, cari istri lagi?"

Pletak!

Bugh!

Pak!

"Gila Lo Nath!" Pekik Reiga dan Hao.

"Jangan didengerin Put, dia sesat!"

"Goblok!"

Hao dan Reiga menghajar Nathan.

"Udah we kasihan dia merintih kesakitan," kata Hao.

"Kan cuma ngasih saran doang, Gue juga nggak tahu gimana caranya. Orang Gue nggak minta tapi malah di kasih sama tuhan. Kan aneh," kata Nathan.

"Fey, suami Lo sesat," adu Reiga kepada Freya yang sedang mengobrol bersama Lily.

"Perasaan dari dulu Nathan udah sesat deh. Emang kapan dia lurus?" Ucap Freya.

"Sayang kok ngomong gitu sih? Nggak baik ngatain suami loh," kata Nathan.

"Kan fakta Nathan, dulu aja waktu masih pacaran sama Bella sering ciuman di depan umum. Kewarasannya udah hilang sejak itu!"

"Jangan bawa-bawa masa lalu karena masa depan aku udah ada di depan aku," kata Nathan sambil menyesap kopinya.

"Reiga maksud Lo?" Tanya Hao sambil melirik Reiga yang kebetulan duduk di hadapan Nathan.

"Anjing! Bukan itu maksud Gue astaga!" Nathan mengusap wajahnya kasar.

"Sialan Lo!"

"Raya gimana kabarnya, Nik? Nggak pernah ada kabar semenjak Lo nikah," tanya Reiga.

"Baik-baik aja," jawab Nicholas seperti tidak tertarik dengan obrolan.

"Bukan, udah hamil belum?"

"Belum, orang belum ngapa-ngapain."

"Dari pertama kali Lo nikah, Lo belum ngapa-ngapain juga? Raya gimana?" Tanya Hao.

"Gimana apanya?"

"Lo udah nanya kapan dia mau punya anak?" Tanya Nathan.

"Belum, udah lah nggak usah dibahas nggak penting juga."

"Mata Lo nggak penting! Terus masa depan rumah tangga Lo sama Raya gimana? Kasihan Raya loh Nik," ucap Hao.

"Terus Gue harus gimana dong?" Tanya Nicholas polos.

"Raya yang nggak mau atau Lo yang nggak mau sih?" Tanya Reiga. Hao dan Reiga memang dari awal sudah sangat jengkel tentang tabiat Nicholas yang satu ini.

"Gue yang nggak mau, Gue belum siap. Udah ya Gue mau istirahat dulu." Nicholas lalu kembali ke kamarnya.

"Nath, Lo udah coba ngasih tahu Niko?" Tanya Putra.

"Nggak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan Niko. Lo tahu sendiri dia keras kepala kaya gitu. Gue udah capek ngasih tahu dia," jawab Nathan.

"Seenggaknya Lo coba kasih pengertian kalau karma itu ada. Inget, dia masih punya Nayara. Kalau bukan dia yang kena karma bisa jadi keturunan dia atau siapa pun di keluarga Lo. Salah satu dari mereka," kata Reiga.

"Gue juga takut kalau hal itu sampe kejadian. Tapi apa yang mesti Gue lakuin kalau udah kaya gini? Masalah Gue sama Freya aja belum kelar, ini di tambah lagi harus ngurus anak-anak Gue, Niko, perusahaan. Bukannya ngeluh ya," ucap Nathan.

"Masalah apa emangnya sama Freya? Kelihatannya Lo baik-baik aja deh," tanya Hao.

"Nggak semua hal harus Gue tunjukin ke publik. Bella kemarin dateng ke kantor Gue dan bikin kacau. Di sana ada Freya, Lo tahu Freya sensi kalau berurusan sama Bella."

"Ngapain dia ke kantor Lo?" Tanya Hao.

"Dia mohon-mohon minta kerjaan. Katanya dia tamat di kampusnya Niko, dan Niko rekomendasiin dia di perusahaan Gue. Padahal Niko tahu dia ada di Indonesia aja nggak."

"Terus?"

"Gue terima karena ada surat keterangan dengan nama dan tanda tangan Nicholas. Terus Bella tiba-tiba neror istri Gue bilang kalau Gue bakal balikan sama dia. Freya ngamuk terus minta cerai. Untung Nicholas bantu Gue buat jelasin semuanya ke Freya."

"Terus?"

"Nabrak entar Lo Rei terus terus mulu."

"Gue pecat Bella, dan Gue lagi berusaha ngebangun hubungan Gue sama Freya lagi."

"Akhir-akhir ini rumah tangga kita lagi di uji ya," kata Putra.

"Kenapa harus barengan sih ujiannya?" ucap Hao.

"Biar bisa nyontek lah," jawab Reiga diiringi gelak tawa dari semuanya.

"Udah ya, Gue mau balik dulu. Mau nganter Aira ke psikolog," kata Putra.

"Harus ke psikolog ya, Put?" Tanya Hao.

"Iya gitu deh, udah ya duluan." Putra lalu meninggalkan mereka.

"Gue juga ya mau balik," Reiga juga menyusul setelah Putra.

Reiga berjalan santai masuk ke halaman rumahnya. Ada mobil angkot berwarna biru terparkir di depan rumah Reiga.

"Mobil siapa nih? Keren banget." Reiga mengetuk kap mobil itu lalu masuk ke rumahnya.

"Tante ngapain kesini?" Tanya Reiga saat melihat yang datang mengunjungi rumahnya adalah bibi dan sepupu Lily.

"Sayang, mereka ngapain?" Tanya Reiga di samping Lily.

"Rei, tante kamu bilang mau tinggal di sini untuk sementara. Rumah mereka digusur di desa, gimana menurut kamu?" Tanya Ibu Reiga.

"Maksud Mama?"

"Rumah mereka di gusur Rei, dan mereka pingin tinggal di sini untuk sementara. Tuh lihat barang-barangnya udah dibawa semua. Mereka udah siap untuk numpang di sini," ucap mama Reiga sambil meminum teh nya.

"Iya Rei, ehe. Kita bingung harus tinggal dimana. Cuma kamu dan Lily yang tante punya sekarang. Izinkan kami tinggal di sini untuk sementara ya Rei?" Mohon bibi Lily.

"Untuk berapa lama?" Tanya Reiga dengan tatapan datar.

"Sampai anak tante dapet kerja Rei. Minggu depan dia ada wawancara di perusahaan Sheri Assosiation!"

"Perusahaannya Nathan ternyata." Batin Reiga.

"Oke, Tante dan anak Tante bisa tinggal di sini selama seminggu. Tapi kalau lebih dari itu Tante dan anak Tante harus bayar sewa rumah sebesar lima belas juta per bulan," ucap Reiga.

"Dan satu hal lagi, tante nggak boleh ngajak ngobrol Lily karena Lily merupakan majikan di rumah ini. Paham tante?" Bibi Lily mengangguk antusias.

"Terimakasih Rei," ucap Bibi Lily.

"Apa boleh buat kalau putra saya sudah mengizinkan kalian berdua tinggal di sini. Pelayan, antarkan mereka ke pavilium," ucap Ibu Reiga.

"Pelayan yang lain, bersihkan sofa bekas wanita ini dan buang cangkir yang mereka pakai." Ibu Reiga lalu kembali ke kamarnya tanpa berucap apa-apa lagi. Menurutnya, tidak ada gunanya menanggapi orang yang sombong.

"Ini kamarnya?!" Teriak Bibi Lily.

"Ini kamar yang Nyonya besar siapkan."

"Kamar apa ini? nggak ada jendelanya! Kalau ada yang ngintip pas saya tidur gimana? Terus anak saya kamu suruh tidur dimana?"

"Terserah ibu mau ngatur gimana, saya permisi."

"Katanya orang kaya, tapi kok rumahnya jelek gini! Nak, kamu sekarang istirahat dan besok kamu wawancara kerja yang bener yah. Kalau kamu bisa kerja di sana nanti kamu bakal jadi orang kaya, lebih kaya dari pada orang itu! Tidur ya."

"Bu, Andi laper," ucap Andi, sepupu Lily.

"Iya ibu minta kan makanan sekarang."

Bibi Lily mengambil piring, nasi, serta lauk pauk dengan sangat banyak. Pelayan yang melihat sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah bibi Lily.

"Tante! Tante mau ngapain?" Tanya Lily.

"Mau apa lagi? Emang kamu nggak lihat tante lagi ngapain? Awas abang kamu laper, belum makan. Harusnya kamu nawarin kita makan dulu, jadi keponakan nggak tahu diri banget!"

"Maaf bu, Nona Lily merupakan majikan di sini. Jadi saya harap ibu bisa menjaga kata-kata ibu kepada Nona Lily!" peringat kepala pelayan.

"Oh pantes berani ngelarang, udah jadi Nona besar ternyata. Lupa ya yang ngurus kamu dari kecil itu siapa? Kalau bukan pak de kamu yang ngurus kamu, kamu udah mati kelaparan!"

"Tante bisa kan nggak usah bahas itu lagi? Semenjak pak de meninggal emang tante pernah ngurus Lily? Yang tante lakuin cuma manfaatin Lily doang kan?"

"Ada apa ini ribut-ribut? Lily kenapa Tante kamu?" Tanya Ibu Reiga.

"Saya cuma ingin makan nyonya, tapi dia ngelarang saya. Padahal anak saya kelaperan," ucap bibi Lily.

"Ini belum waktunya makan malam. Hari ini saya biarkan karena kamu baru disini. Tapi lain kali kalau ini terulang saya akan mengusir kamu dari rumah ini. Setelah ini hanya keputusan saya saja yang berlaku!"

"Baik nyonya," tanpa berucap lagi bibi Lily kembali ke pavilium.

"Maaf Ma, Tante Lily ngerepotin mama," ucap Lily sambil menunduk.

"Mama pingin marah, tapi bukan sama kamu. Panggil Reiga kita makan malam sekarang," ucap ibu Reiga sambil mengelus rambut Lily.

"Sombong banget ibu mertuanya si Lily! Cuma ngambil makanan aja pake diurusin! Ini nak, makan yang banyak."

"Bu, Andi harus beli baju buat wawancara besok."

"Baju lagi? Bukannya kemarin udah ibu kasih uang ya buat beli baju?"

"Baju yang kemarin udah kepake, Andi nggak suka pake baju yang sama dua kali. Kasih Andi uang sebelum malam."

"Iya, ini ibu kasih sekarang aja. Nanti kamu beli baju baru lagi nak."

"Bagus…"