"Kau harus pulang, Ace. Biar kami menemanimu di sini," bujuk Namtan di telepon. Sepupu Ace itu sungguh gigih meski tetap menerima penolakan. "Tapi, dia sudah tidak ada. Dan aku cemas jika kau tetap tinggal sendirian seperti ini."
Ace pikir, dia memang melakukan hal sia-sia. Namun, perasaannya pada Drake masih sangat kuat. Dia tetap tak percaya sang kekasih sudah kehilangan nyawa, meski nyata-nyata tubuh itu kini terbaring di peti.
"Kau ini hanya tertidur, kan ...." bisik Ace. Senyum lelahnya terpatri di wajah. Dan dia berharap kedua mata Drake terbuka lagi jika esok nanti tiba. Seperti sebelumnya. Seperti biasanya. Ace tak pernah serindu ini dengan sentuhan hangat Drake hingga sekarang. "Tapi, kau dingin sekali. Dan harusnya luka fatal itu tidak ada."
Atau seharusnya aku saja yang mati.
Ace pun tertidur di tempat kremasi malam itu. Tiga hari tiga malam, dia tak mau pergi meski didera oleh kelaparan. Baginya, kejadian dramatis seperti kecelakaan sebelum menikah hanya ada dalam film. Sayang tidak. Hal itu memang menimpanya, bahkan sebelum Ace tahu mereka akan menikah di gedung apa.
"Phi, aku senang kita sampai ke sini."
Ace memimpikan hal yang sama berulang kali. Adalah saat mereka baru turun di Badar Udara Internasional Subarnabhumi, Thailand. Drake menggenggam tangannya begitu erat.
"Aku juga."
Mereka saling berpandangan saat itu. Mata bertemu mata. Senyum bertemu senyum. Lalu bibir bertemu bibir. "Terima kasih sudah jadi kekasihku selama ini." Ace pun tertawa kecil.
"Apa-apaan. Kau pun harus berterima kasih aku mau jadi kekasihmu selamanya."
Biasanya Drake akan menciumnya lebih ganas jika mengatakan hal manis seperti itu. Anehnya, tidak. Sang kekasih hanya diam, mendengus gemas, lalu mengajaknya melanjutkan perjalanan.
Selama ini Ace berpikir, momen mirip berpamitan oleh seseorang yang akan mati itu hanya mitos. Toh hal-hal seperti itu magis sekali jika dibayangkan. Jadi, untuk manusia standar dalam menjalani kehidupan sepertinya, itu sungguh sulit dipercaya.
"Aku benar-benar ingin mati," batin Ace pada pagi buta. Itu adalah hari ketiga dia tertidur di lantai rumah duka, tanpa mau diganggu siapa pun. Kedua matanya mungkin terkatup, tetapi hatinya sering terbangun beberapa kali dengan begitu lelahnya. "Aku ingin menyusul atau menggantikan dia. Ke mana pun. Atau apa pun pilihannya. Aku tidak mau menetap atau meninggalkan negara ini. Terlalu sakit, tapi dia ingin bersamaku di sini-" (*)
(*) Rumah duka: sebutan di kawasan Milan untuk tempat kremasi.
"Kau akan membusuk jika terus seperti itu," kata seseorang tiba-tiba. Suaranya berat, dekat, dan Ace bisa menghirup aroma hujan dari tubuhnya. "Bangun, pulang sana. Tempat ini bukan untuk orang hidup, Bodoh." (*)
(*) Petrikor: aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering. Anggaplah ini aroma khas asli Mike si iblis.
Awalnya, Ace mengabaikan sosok itu seperti kepada penjaga rumah duka yang coba membangunkannya. Namun, kali ini bulu kuduk Ace berdiri karena sesuatu.
"Siapa?‖
Ace yakin dia tidak mendengar suara langkah kaki sebelum membuka mata. Jadi, jika memang ada orang yang menemani, pasti sekarang ada di dalam ruangan ini. Tapi kenapa--
"Kau mencariku?"
DEG
Ace pun mengucek mata yang lengket dan bengkak. Dia duduk, lalu berkedip beberapa kali demi melihat lebih jelas.
Sosok itu tampak nyaman, meski Ace yakin memakai cravat bisa membuat lehernya geli. Ada benang-benang emas yang menjadi motif bordiran elegan di sana-sini. Namun, dengan mata kuning keemasan, kulit pucat, dan senyuman tidak beres membuat Ace yakin sosok itu bukan lagi manusia. (*)
(*) Cravat: Dasi ikat leher pada abad ke-17.
"Ah, apa aku masih bermimpi?"