webnovel

9

Livia kembali bergabung bersama Sophie dengan wajah lebih ceria. Meski ia tak bisa merayakan malam natal dan pesta, tapi ia bisa membuatnya sendiri.

Sophie, yang melihatnya, bertanya penasaran, "Dapat yang kau inginkan?"

"Lebih dari itu ," jawabnya riang.

Mereka kembali dari kota tak lama kemudian. Livia membeli banyak baju, bukan karena kemauannya, tapi karena paksaan Sophie. Ia juga disuruh membeli sepatu tinggi, sepatu dansa dan gaun pesta.

Saat kembali, ternyata hari sudah sore. Livia langsung masuk ke kamarnya untuk menaruh barang. Para pembantu wanita duduk di ruang makan khusus pembantu. Tapi karena banyaknya wol, jadi sempit. Melihat itu , Livia kembali lagi dan mengetuk pintu kamar Raphael.

"Masuk."

Pintu dibuka perlahan, Livia melongokkan kepalanya dan masuk. Ia melihat Raphael sedang meminum segelas wine. Bau pekat alkohol terasa di sana. Livia meringis melihat ekspresi dingin di wajah Raphael.

"Apa?"

Livia menatapnya takut-takut "Begini, bisakah aku dan yang lainnya meminjam ruang depanmu sebentar?"

Kening Raphael berkerut tajam, "Untuk apa?"

Livia menelan ludahnya, "Kami ingin membuat syal."

"Syal?"

"Iya. Kata Sophie, saat musim dingin tiba, mereka akan membuat syal. Aku juga tertarik untuk membuatnya."

Raphel menaruh gelas di pinggir meja dan mendekatinya. Livia ingin mundur,benar-benar ingin mundur, tapi ia tak mau. Macan harus dilawan macan. Saat jarak mereka semakin dekat, Livia mencium aroma alkohol tajam.

"Aku tidak akan mengijinkannya."

"Kenapa?"

"Mudah saja. Karena ini rumahku."

Livia berjalan mundur dan menegakkan tubuhnya. "Kami hanya meminjamnya sebentar! Kenapa kau sangat pelit?"

Raphael mencengkram tangannya cepat, menarik Livia mendekat. Ia berdesis tajam, "Kau tidak berhak bersuara disini."

Livia menarik tangannya, mencoba melepaskan diri. "Memang. Tapi aku punya alasan kuat untuk meminjamnya sebentar."

"Katakan."

"Tidak sampai aku mendapat ijin dan syalku selesai."

Nyala api amarah terlihat jelas di mata Raphael, "Katakan."

Livia menggeleng. "Tidak mau. Aku bukan budakmu!"

"Saat aku bilang katakan, kau harus mengatakannya!"

"Tidak!"

Senyum dingin pun terukir di wajah Raphael, "Baik, kita pakai caraku."

Tiba-tiba, Livia merasa sangat gugup dan ketakutan. Ia mulai berteriak minta tolong saat tangan Raphael yang lain menarik pinggangnya dan bibirnya dicium keras. Livia menjerit tertahan. Ia tidak mau! Tidak!

Livia meronta. Ia memukul dada Raphael dengan tangannya. Tapi lelaki itu sekuat baja. Raphael memperlembut ciumannya. Perlahan, tangan Livia berhenti memukul dan terkulai lemas. Lama setelah itu, Livia baru mendapat kesadaran dan mendorong dada Raphael.

Ia syok, marah, sedih dan kecewa. Ciuman pertamanya yang ia jaga terampas begitu saja. Menatap marah Raphael, ia menuntut jawaban.

"Apa yang kau lakukan?"

Raphael juga tampak syok. Ia sendiri tidak menyangka dapat mencium wanita lain selain Penelope. Ia sudah gila! Mengendalikan diri dengan bernafas, ia menatap Livia datar.

"Itu caraku agar kau mau mengatakannya."

Mata Livia terbelalak, mulut gadis itu gemetar, matanya menyiratkan sinar terluka.

"Caramu?"

Raphael mengalihkan pandangannya. Ia berbalik membelakangi Livia. Entah kenapa, melihat sorot terluka di mata Livia membuatnya perih.

"Iya, itu caraku. Sekarang katakan alasanmu."

Livia menutup mulutnya saat ia bisa merasakan matanya perih. Caranya? Caranya? Jadi Raphael sengaja melakukan ini? Tega sekali lelaki itu! Dan sangat cara yang biadab! Tapi Livia takkan mengijinkan Raphael merendahkannya lebih dari ini. Tidak!

Matanya berkilat marah dan tersenyum kikuk, "Untuk membuat syal bagi kakakku. Aku anggap kau setuju meminjamkan ruang itu."

Livia buru-buru berbalik saat air matanya terjatuh. Di bawah tangga, ia bertemu Sophie dan Robinson yang hendak menyusulnya. Tapi alangkah kagetnya mereka saat melihat Livia menangis.

"Miss Larodi, apa yang terjadi?"

Awalnya Livia menangis perlahan. "Sophie..." ucapnya gemetar. Ia menghambur masuk memeluk Sophie.

Wanita tua itu mengernyit. "Apa yang terjadi Miss Larodi?"

Tapi Livia hanya menangis disana. Sementara kedua orang itu tampak bingung. Sophie menatap ke atas, tepat saat matanya bertemu dengan sang Duke. "Apa yang terjadi My Lord?"

Raphael menatapnya datar, "Aku hanya memintanya mengatakan alasan kenapa aku harus meminjamkan ruangan ini untuknya."

"Karena kami ingin membuat syal. Ruang yang dulu sudah tidak bisa dipakai."

Raphael mendengus, melipat tangannya angkuh, "Nah, begitu kan gampang? Tapi dia malah tidak mau mengatakannya."

Livia langsung berdiri tegak. Ia mengusap air matanya dengan kasar, "Aku sudah bilang! Tapi kau tidak mengijinkannya!"

Rahang Raphael mengeras, "Karena kau tidak mengatakan alasannya!!"

"Aku sudah bilang ingin membuat syal!"

"Kau tidak mengatakan untuk siapa!"

Livia terisak kecil, ia mengusap bibirnya dengan keras hingga lecet.

"Aku bukan siapa-siapamu kan! Lagipula, aku sudah bilang untuk siapa!"

Tatapan Raphael sedingin es. Ia berdiri di depan tangga dengan sikap mengancam. "Itu setelah aku memaksamu!"

Livia mendesis marah. Tatapan matanya penuh bara api, "Memaksa? Memaksa?! Kau tidak memaksaku! Kau memanfaatkan posisimu sebagai tuan rumah agar aku mau bilang! Kau..kau..! Kembalikan ciuman pertama ku!!" teriak Livia putus asa.

Sophie dan Robinson serta semua pelayan disana tersentak saat mendengarnya. Raphael menatap Livia tenang seolah ciuman tadi hanya angin lalu. "Itu hanya sebuah ciuman! Jangan melebih-lebihkan."

"Apa? Hanya katamu?! Berani sekali kau! Aku diculik oleh penjahat yang dicari di 20 negara karena wajahku ini! Dia juga hampir menciumku, tapi aku berkelit sehingga dia menamparku! Kau tahu berapa sering aku menjaga bibirku dari lelaki berengsek sepertimu?! Dan selama 25 tahun, semua usahaku yang susah payah, kau rampas begitu saja!"

Raphael sedikit kaget mendengarnya. Livia diculik? Kapan? Apa saat ia kemari atau sebelumnya? Kenapa ia diculik? Raphael ingin bertanya, tapi gadis itu tidak mengijinkannya berbicara.

"Aku tak bisa menikah karenamu! Kau harus bertanggung jawab!"

Kini Raphael benar-benar tak bisa bicara. Hanya karena dicium tak bisa menikah? Hanya karena itu ? Wajahnya melongo kaget, sementara Livia berhenti menangis dan menuju ke arahnya. Gadis itu menyemprotkan ingusnya di baju mahal Raphael dan menatapnya angkuh, "Jangan menyalahkanku! Itu salahmu sendiri!"

Livia turun kembali dan menarik tangan Sophie agar mengikutinya. Raphael memandang pakaiannya dengan jijik. Ya Tuhan! Gadis ini sangat jorok!!

***

Livia langsung menjelaskan secara terperinci apa yang terjadi padanya, ia tidak melewatkan atau melebih-lebihkannya. Lalu, di akhir cerita, ia berkata, "Keluarga Larodi sejak dulu sangat menjunjung tinggi kesetiaan. Karena itu , ibuku bilang bahwa aku harus menjaga ciuman pertamaku sampai aku menemukan orang yang mencintaiku! Karna kalau tidak, aku takkan bisa menikah!"

Camila, pelayan yang termuda tersentak kaget, "Separah itu?"

Livia mengangguk, "Tentu. Ibuku juga pernah mengalami hal ini, tapi itu karena ayahku mencintainya saat pandangan pertama, jadi mereka menikah. Kami selalu jatuh cinta pada pandangan pertama."

"Lalu, apakah anda mencintai Duke?" tanya Sophie tiba-tiba.

Kayu kecil yang Livia gunakan untuk merajut terjatuh tiba-tiba. Wajahnya memerah seperti buah ceri ranum dan ia terdiam seperti batu.

"Aku?! Tidak mungkin!"bantahnya keras dan lugas

Ia tersenyum lembut dan mengambil rajutan Livia. "Apa anda ingin meminjam ruangan ini untuk membuatkannya syal?"

Livia, masih dengan wajah memerah karena amarah mengangguk. "Awalnya aku mau meminta maaf dan bereterima kasih karna Raphael memberikanku tempat di sini."

Sophie menggelengkan kepalanya. "Jadi itu alasan yang tak bisa diberikan?"

Livia mengangguk lagi, "Dia takkan mau menerima hadiah ini kalau aku mengatakannya. Tapi aku juga ingin membuat syal bagi kakak-kakakku."

Livia mengangkat bokongnya untuk meredakan rasa malunya. Ia lalu membuka dompet dan mengeluarkan secarik lembar poto. Poto saat 1 tahun lalu, saat mereka berlibur di pantai Bali. Livia diangkat tinggi oleh Michael dan Antonio. Ia duduk di kedua bahu kiri dan kanan kakaknya yang di rapatkan. Antonio dan Michael bertelanjang dada sementara ia sendiri memakai rok mini dan jaket.

Saat ia memberikan poto itu pada para pelayan wanita muda, mereka terdiam lama sebelum menjerit.

"Tidak mungkin! Tampan sekali!"

"Mempesona!"

"Menawan!"

"Sangat sexy!"

"Mauuu!!"

Livia terkekeh melihat tingkah polah mereka. "Baiklah, aku akan memberikan kalian poto mereka."

Para pelayan wanita menatapnya terkejut. Sophie terbahak keras, "Jangan bercanda Miss, mereka ini penggemar berat lelaki muda yang tampan."

Livia menggeleng, "Aku tidak bohong. Kemarin Antonio menelpon dan bilang kalau ia mengirimkan mini laptop untukku. Seharusnya besok sudah sampai."

"Berarti, anda sangat dimanja ya?" tanya Camila penasaran.

Livia mengangguk, "Dan sangat overprotektif. Aku ingat kejadian saat aku umur 7 tahun. Saat itu , aku yang penasaran melihat mereka sangat pandai berenang, diam-diam berenang sendirian saat mereka sekolah."

Sophie mengernyit bingung, "Anda tidak 1 sekolah dengan mereka?"

Livia menggeleng, "Aku dikhususkan di sekolah khusus wanita. Kebetulan hari itu libur. Kembali ke cerita, aku bermaksud membuat kejutan untuk mereka. Agar saat mereka pulang aku bisa berenang bersama. Tapi siapa sangka aku malah tenggelam."

"Tenggelam? Berarti anda tidak bisa berenang?" tanya salah satu dari mereka.

"Iya. Lalu, Dolphie, anjing terrierku yang menolongku. Ia berenang dan menarik kerah bajuku. Ia pasti mencari bantuan karena aku ingat Antonio dan Michael tidak pergi sekolah. Satu sisi aku menyesal dan memarahi diri sendiri, karna aku, mereka tidak sekolah selama hampir seminggu. Aku demam rupanya. Tapi aku juga senang dan merasa diberkati, bahwa ada 2 kakak yang sangat menyayangiku, menjagaku siang malam, dan menghiraukan kesehatan juga pelajaran mereka. Karena itu , aku berjanji pada diriku sendiri agar tidak membuat mereka khawatir lagi."

"Lalu, bagaimana anda diijinkan pergi kesini? Seorang diri pula."

Livia menjentikkan jarinya, "Aku berjanji bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri. tentu saja, aku harus terus menerus membujuk mereka tujuh hari tujuh malam. Meski Michael sedikit melepaskanku, tapi Antonio tidak. Bagi mereka, aku tetap adik kecil mereka yang benar-benar butuh pertolongan."

Camila mendesah bahagia, "Seandainya aku juga punya kakak seperti itu , aku pasti akan sangat bahagia."

Ia menatap Livia dan tersenyum manis, "Anda memang mempunyai wajah wanita jahat itu , tapi hati anda bersih dan ia tidak menang dari anda."

________________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit