webnovel

Melingkar di Atas Lantai

Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi di dalam rumahku saat ini? mengapa rasanya begitu tegang terasa?

Di luar sana orang-orang masih sibuk dengan perayaan hari raya yang belum juga usai meskipun sudah beberapa hari terlewat. Akan tetapi, yang terjadi di dalam rumahku sangat amat jauh berbeda. Yang ada hanyalah keheningan dan kegamangan yang secara tiba-tiba menyelimuti.

Bayangkan saja, di dalam rumah itu ada lima orang penghuni, tapi tidak ada satu pun yang saling bertegur sapa. Terkadang kita akan berpapasan secara tidak sengaja, tapi kemudian berlalu begitu saja. Tidak ada panggilan, tidak ada senyuman ataupun sapaan untuk menandakan kehadiran satu sama lain. Semuanya sibuk dengan dunia masing-masing yang sedang mereka bangun sendiri.

Aku yang selama ini menghabiskan waktu di dalam kamar pun menyadari perbedaan atmosfer rumah selama beberapa hari terakhir ini. Semua orang seperti menghilang ditelan bumi. Terkadang aku menemukan beberapa anggota keluarga tapi tidak ada di antara kami yang memulai pembicaraan untuk membuat satu sama lain bertahan lebih lama. 

Rasanya cukup bagi kami menyadari jika satu sama lain dalam keadaan baik-baik saja.

***

Suasana yang semula hanya keheningan dan kegamangan kini berubah dalam sekejap mata menjadi kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama terpendam.

Kami berlima tiba-tiba saja berada di tempat yang sama. Duduk melingkar, saling menatap wajah satu sama lain. Wajah mereka semua memancarkan ekspresi yang benar-benar berbeda satu sama lain. 

Ibuku tertunduk dengan air mata yang terus mengalir hingga membuat wajahnya serupa kepiting rebus. Ayahku diam dengan kekecewaan serta kemarahan yang berusaha ditahan semampunya. Sementara kedua adikku memasang raut wajah kecewa serta kebingungan yang sama sekali tidak bisa mereka sembunyikan. Aku bahkan tidak yakin jika adik bungsuku mengerti dengan semua hal yang sedang terjadi saat ini di hadapannya.

Cukup lama kami duduk melingkar dalam diam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang tuaku. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani memulai pembicaraan saat ini. 

Sembari menanti salah satu dari mereka untuk memulai pembicaraan, aku berusaha mengendalikan kemarahan yang rasanya sudah di ujung ubun-ubun kepalaku. 

Entah mereka sadari atau tidak tentang caraku menatap mereka dengan penuh kebencian dan kemarahan. Di balik tatapan yang begitu tidak bersahabat aku menyimpan perasaan was-was. Aku menduga-duga apa yang akan dikatakan oleh orang tuaku, walaupun aku tahu apa sebenarnya yang akan dikatakan oleh mereka kali ini.

"Mama kalian minta pisah dari Papa…" ucap ayahku yang memecahkan keheningan di antara kami.

Kalimat itu seketika menusuk dadaku. Di saat yang bersamaan pula pecah tangis dari ibu dan kedua adikku. Sementara itu, kedua tanganku gemetar menyembunyikan kemarahanku. Sekuat tenaga aku mengendalikan emosi yang sudah memuncak ini. Aku berusaha mendengar kalimat-kalimat lain yang segera terlontar dari ayahku.

"Sekarang Papa sudah tidak bisa apa-apa. Mama kalian sudah menuntut itu. Papa pun sadar kesalahan Papa, Tapi di sini Papa menekankan kalau Papa tidak pernah menginginkan hal itu. Mungkin Mama kalian sudah terlalu lelah hidup seperti ini dengan Papa. Papa sadar, selama dua puluh tahun, Papa belum bisa membahagiakan Mama kalian."

Kali ini aku benar-benar kehilangan kendali atas akal sehatku. Kulirik ibuku dengan begitu tajam, menuntut pembelaan diri yang akan dia katakan. Tapi  hingga batas waktu yang kutentukan dalam diriku tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut ibuku selain isak tangis yang semakin menjadi.

Seketika aku pun berteriak dan memaki ibuku yang hanya diam membisu. Dalam setiap kata-kata yang yang kuucapkan, seluruhnya mengandung amarah yang sudah lama terpendam di dalam hatiku.

"Terserah! Terserah lu berdua mau ngelakuin apa. Mau pisah atau engga silahkan gua gak peduli. Tapi gak ada satu pun dari kalian yang boleh bawa adik-adik gua. Semuanya ikut gua."

Tidak ada henti-hentinya aku memaki mereka dengan begitu keras. Bahkan tidak cukup sampai di situ, aku semakin membabi buta memaki-maki ibuku yang sedang berusaha memelukku tapi selalu kutepis.

"Lu tau gak setiap malem gua nangis? denegr gak lu? kepikiran gak lu gua nangis tiap malem? Hah? mikir gak lu"

Aku benar-benar tidak mengenali suaraku saat itu. Teriakan yang cukup keras hingga mengubah suaraku seluruhnya hingga tidak kukenali lagi suara itu.

Kemarahan yang sudah lama bersarang di dalam hatiku benar-benar keluar saat itu pula. Aku tidak menyia-nyiakan meluapkan segala bentuk kemarahanku atas semua hal ini kepada ibuku. Hatiku mengatakan jika ia adalah orang yang berperan besar dalam masalah ini.

Bagaimana ibuku selalu mengeluh tentang ayahku, bagaimana ibuku menjelek-jelekkan ayahku semua itu berkelebat begitu saja di dalam kepalaku, menambah kemarahanku saat itu.

Sesekali kulirik mata ibuku yang sudah sembab karena tangis yang tidak kunjung usai. Aku menyadari betapa pilu hatinya mendapat perlakuan kasar dariku. Aku bahkan bisa merasakan betapa sedih hatinya ketika berulang kali ia berusaha meraihku ke dalam pelukannya tapi selalu kutepis.

Kebencianku pada ibuku benar-benar meraja saat itu. Aku sendiri bahkan tidak bisa mengendalikan diriku yang sudah dikuasai amarah dengan sedemikian rupa.

Ada begitu banyak penyesalan dan keterkejutan dalam wajah ibuku. Mungkin saja ia tidak menyangka jika aku bisa melakukan hal yang demikian. Bisa saja ibuku berpikiran jika aku bukanlah anak yang bisa memaki dengan cara yang memalukan terutama padanya.

Akan tetapi, karena hal itu sudah terjadi ibuku hanya mampu menerima dan mengurut dada. Sudah pasti pula ibuku begitu khawatir dengan keadaanku yang begitu tidak biasa. Ia berusaha menenangkanku, ia memanggil-manggil namaku dengan begitu lirih, tapi tidak pernah sekalipun kugubris.

Aku sadar, apa yang kulakukan kali ini pada ibuku sudah benar-benar kelewat batas. Bahkan karena tindakanku ini kedua adikku semakin meraung dalam tangisnya. Aku yakin selain karena keterkejutan dengan apa yang baru saja dikatakan ayahku,  mereka pun terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan.

Keadaan benar-benar di luar kendali. Walaupun tidak ada adegan baku hantam ataupun sampai menyakiti diri sendiri, tapi sudah cukup membuat suasana rumah berubah mencekam selama beberapa lama. Aku sadar, diriku sudah tidak lagi mampu mengendalikan emosi yang membumbung, karenanya aku putuskan untuk meninggalkan mereka semua yang sedang tertunduk.

Tapi sebelumnya aku melampiaskan emosiku untuk terakhir kali di hadapan mereka. Kubanting benda yang mampu kuraih hingga hancur tepat di hadapan mereka. Kubanting pula pintu kamarku sebelum akhirnya aku kembali mengurung diriku di dalam kamar.

Sebisa mungkin aku berusaha mengendalikan diriku. Kemarahan yang masih tersisa di dalam diriku benar-benar membuat tubuhku bergetar. Begitu hebat getaran yang ditimbulkan oleh kemarahanku. Begitu keras usaha yang kulakukan untuk mengendalikan emosiku. Kuhembuskan napasku berkali-kali. Kutarik-tarik tepi ranjangku untuk menyalurkan amarah yang tersisa.