webnovel

Genggaman Tangan Cilik

Tidak ada lagi rona bahagia yang tampak dari wajah mereka. Semua kegembiraan seolah terisap habis dalam sekejap. Kini mereka semua diam seolah mematung, menggenggam tangan-tangan orang di dekatnya seolah mencari perlindungan.

Suasana hari itu benar-benar mencekam. Walaupun matahari masih bersinar dengan teriknya, semilir angin masih menerpa tubuh dengan sejuknya. Tapi itu semua tidak berhasil menepis ketakutan dan kecemasan dari hati-hati mereka.

Dalam keriuhan, banyak dari mereka yang mulai meninggalkan tempat. Kepanikan seketika mulai merajai wilayah itu. Langkah kaki dari mereka yang terbirit-birit seraya menarik lengan orang tersayang terdengar begitu nyaring. Banyak dari mereka yang histeris memanggil nama-nama orang terkasih yang luput dari pandangan. Mereka berusaha berlari menjauh, meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

***

Cuaca hari ini benar-benar terang benderang, tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu dirundung awan gelap dan angin kencang. Matahari pun cukup terik, membaca sedikit cahayanya masuk ke dalam celah-celah jendela.

Semangat Ragil pun seketika membuncah. Ia tertawa riang sembari berloncat-loncat. Ia sangat tidak sabar untuk menagih janji sang kakek yang sudah diucapkannya beberapa hari yang lalu. Sang kakek menjanjikan akan membawa Ragil bermain di pantai sembari mencari kerang-kerang kecil seperti yang selalu dilakukan oleh mendiang sang nenek.

Tentulah hari ini sangat di nanti-nanti Ragil. Setelah sebelumnya ia selalu diam di dalam rumah tanpa sekali pun diperbolehkan keluar untuk bermain oleh sang kakek. Dengan riang, Ragil menghampiri sang kakek yang kala itu sedang berada di dapur rumahnya.

"Kakek, Kakek, hari ini ada matahari, ayo ke pantai kita cari kerang-kerang." ajak Ragil.

Mendengar suara cucu laki-lakinya membuat sang kakek sontak melirik ke arahnya.

Usia sang kakek sudah memasuki kepala enam, tapi tubuhnya yang tinggi besar selalu berhasil menutupi usianya yang renta.

"Panas" ujar sang kakek

"Gak pa-apa, kalau gak sekarang nanti keburu ujan lagi" rengek Ragil

Melihat polah cucu kecil kesayangannya, sang kakek pun tidak lagi bisa menolak keinginannya. Segera ia tinggalkan apa yang sedang ia kerjakan tadi. Sang kakek segera meraih kunci motor dan topi koboi kesayangannya. Ia pun meraih tangan kecil cucu kesayangannya.

Hati Ragil begitu senang karena penantiannya selama berhari-hari akhirnya terwujud. Sepanjang jalan Ragil yang duduk di muka selalu bernyanyi riang. Berulang kali ia menyanyikan lagu Anak Gembala walaupun apa yang diucapkannya tidaklah fasih.

Mendengar cucu satu-satunya ini bernyanyi tanpa henti, membuat kedua ujung bibir sang kakek terangkat. Sejak kematian sang istri, Ragil adalah satu-satunya keluarga yang kakek miliki. Anak-anaknya tidak ada lagi yang mau mengunjunginya. Serindu apapun kakek kepada kelima anaknya, tetap tidak akan ada satupun dari mereka yang mengobati kerinduan pada sang kakek.

Hanya butuh lima menit berkendara dengan motor tuanya, akhirnya mereka tiba di pantai yang pasir hitamnya terbentang luas. Air laut yang berwarna cokelat tidak menyurutkan semangat Ragil sedikit pun.

"Gak boleh berenang, airnya kotor. Di pinggir aja cari kerang." ujar sang kakek.

Walau air laut itu bersih sekalipun, sang kakek tetap tidak akan mengizinkan Ragil untuk berenang. Sang kakek akan mengucapkan seribu alasan agar cucunya tidak sampai menceburkan diri ke dalam air laut. Tapi sebenarnya, alasan di balik itu semua hanyalah ketakutan sang kakek jika sewaktu-waktu ombak menelan tubuh mungil cucunya, maka ia akan kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

Ragil yang baru berusia enam tahun pun sudah mengerti dengan betul larangan sang kakek. Ia tidak akan pernah mencoba-coba untuk menceburkan diri di ke dalam air laut. Cukup baginya berada di tepian, dengan sedikit air laut yang mengenai kakinya.

Ragil akan berlari-lari menghindari ombak kecil yang mendekati dirinya. Atau, ia menggali pasir yang terkena ombak terakhir sebesar ukuran tubuhnya agar ia bisa masuk dan berendam di dalamnya.

Sementara Ragil sibuk dengan dunia yang sudah didamba-dambakannya, sang kakek hanya diam memperhatikan sembari terus menggali lubang buatan untuk tempat cucunya berendam air laut. Kegiatan sederhana ini begitu mengasikkan bagi keduanya. Melihat bagaimana Ragil tertawa karena terkena ombak kecil, sudah cukup memberikan kebagaiaan yang berlimpah pada sang kakek.

Akan tetapi, keceriaan mereka hari itu seketika menguap ketika tiba-tiba saja tubuh mereka bergoyang cukup keras. Bukan, bukan karena mereka sengaja menggoyang-goyangkan tubuh mereka. Tapi tanah yang mereka pijak saat ini bergoyang cukup kuat hingga membuat siapapun yang berdiri di atasnya turut bergoyang.

Gempa sedang terjadi. Bumi bergerak cukup lama menggoyang-goyangkan tubuh setiap orang.

Sang kakek segera beranjak dari tempatnya meraih tangan Ragil yang tengah terdiam mematung. Ragil yang sebelumnya tidak membiarkan mata kakinya tersentuh ombak, kini sudah tidak lagi merasakan air laut itu menyentuh kedua mata kakinya.

Setelah berhasil meraih tangan Ragil dan menggenggamnya erat, keduanya tampak kembali mematung. Merasakan dengan sebaik-baiknya gerakan bumi yang belum juga usai.

Suara pekikan seketika terdengar di berbagai penjuru. Banyak orang yang tengah bermain di pantai berlarian tunggang langgang tak tentu arah. Mereka berusaha untuk melarikan diri secepatnya. Tidak lama berselang, bumi pun kembali tenang. Walaupun demikian, orang-orang masih berlarian ke sana-ke mari.

Aura mencekam dan penuh kekhawatiran dengan cepat menyergap hati sang kakek. Nalurinya untuk segera melarikan diri sudah mulai memanggilnya. Segera ia pun menarik tangan Ragil untuk meninggalkan pantai.

Suasana ramai akibat orang-orang yang berlarian tunggang langgang, berubah menjadi ketakutan dalam waktu yang singkat. Tiba-tiba saja ribuan burung-burung terbang di atas kepala mereka. Burung-burung tersebut tampak panik dan mengeluarkan suara yang begitu memekakan telinga. Ditambah pula suara sirine yang juga ikut menggaung secara tiba-tiba menambah derajat ketakutan di hati.

Kekacauan semakin terjadi. Tubuh kakek dan Ragil yang saling berdiri bersisian pun mulai merangsek maju akibat terdorong orang-orang yang ingin segera meninggalkan pantai.

Benar-benar kacau keadaan saat itu. Sementara kakek berusaha tenang guna mencari jalan keluar untuk segera meninggalkan pantai, wajah Ragil tampak membeku. Ada sedikit ketakutan di wajahnya melihat orang-orang berteriak dan berlari. Tapi ada ketenangan yang ia rasakan menjalar dari sang kakek. Oleh karenanya, Ragil masih mampu mengimbangi ketenangan sang kakek yang sejak tadi tidak melepaskan tangannya.

Matanya terus saja memperhatikan bagaimana orang-orang itu berlari, berteriak, mendorong, menyikut, bahkan tak segan memukul orang-orang untuk memberikan jalan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi pada mereka.

Teriakan semakin menggaung dari mulut mereka secara tiba-tiba. Saling susul menyusul. Menyadari perbedaan tinggi suara itu, membuat sang kakek yang sebelumnya berusaha meninggalkan pantai seketika melirik kembali ke arah pantai.

Tepat di belakangnya gelombang air laut sudah serupa tembok raksasa yang semakin mendekat ke arah mereka. Walaupun ada begitu banyak orang di belakangnya, tapi kakek masih bisa melihat dengan jelas betapa tingginya tembok air tersebut.

Melihat sang kakek yang menatap dengan begitu terpukau ke arah pantai, membuat Ragil pun merasa tertarik untuk melihat apa yang sedang dilihat sang kakek. Kedua matanya segera menemukan tembok raksasa yang begitu dekat dengan dirinya. Berjalan mendekati dirinya. Melihat hal itu ketakutan yang sebelumnya tidak ada di dalam hati Ragil seketika muncul. Tubuhnya mulai merasakan ketakutan hingga tidak ada sepatah kata pun yang berhasil diucapkannya.

Sang kakek sadar, apapun yang dilakukannya saat ini tidak akan bisa membawa dirinya dan cucu tercintanya keluar dari pantai. Apapun yang sudah berhasil ia lakukan untuk keluar dari pantai tidak akan bisa membuat tubuhnya yang renta dan tubuh kecil cucunya selamat dari terjangan air laut itu.

Segera sang kakek pun melirik ke arah Ragil yang pada saat itu sedang menatapnya pula. Tampak jelas di wajah cucunya rasa takut dengan apa yang sedang terjadi. Sang kakek berusaha untuk tersenyum dan merekan ketakutan di hati sang cucu. Digenggamnya semakin erat tangan Ragil, cucu tersayang dan satu-satunya. Pelipur laranya, cinta dan kasih, serta segala kerinduan tercurah. Ditatapnya dalam mata bocah kecil yang berkaca-kaca dengan ketegaran terakhir yang dimilikinya.

"Gak pa-pa, yah?" ungkap sang kakek sesaat sebelum ombak besar menghempas tubuh keduanya.