Positif.
Berjalan bersama orang yang dikasihi menjadi salah satu hal yang dinantikan oleh Pramodawardhani. Sebuah kesempatan langka dimana ia bisa berjalan menyusuri petak – petak perumahan rakyat Prambanan bersama sang permaisuri dan adiknya. Kecuali adiknya itu memang dipaksa oleh sang ayah untuk berjalan bersama mereka. Muka masam hadir dari muka Taradyahwardhani, namun orang yang memiliki nama sama di sampingnya tersenyum kecil. Hal inilah yang membuat hati Pramoda senang.
Ratu Dewi Taradyahwardhani sudah berumur dasa lima pada waktu ini. Kerutan di pipinya menandakan bahwa ia sudah makan asam garam kehidupan. Namun ketenangan yang tampak di wajahnya menyatakan bahwa ia adalah seorang yang memiliki keanggunan kalangan istana. Putri Pramoda tidak menampik bahwa ia sangat menghormati ibunya tersebut. Selain masih menampilkan kecantikan alaminya, tidak jarang keputusan yang ia buat benar dan berdampak baik bagi orang – orang sekitarnya. Bahkan sarannya untuk Pramoda ketika akan menentukan pasangan dirasa oleh sang tuan putri sebagai salah satu keputusan terbaik dalam hidupnya.
Langit dengan malu – malu menghadirkan warna merah di sore hari itu. Hanya beberapa langkah di hadapan mereka tersaji sebuah suasana yang merakyat. Alun – alun kotaraja Prambanan merupakan tempat dimana seluruh rakyat berkumpul di sore hari untuk melepas lelah dan bercengkerama bersama. Dengan luas hampir menyerupai kompleks Candi Prambanan, lapangan alun – alun Prambanan terlihat lebih sepi jika dibandingkan dengan alun – alun lainnya. Namun Pramoda yakin hal ini disebabkan oleh luasnya lapangan alun – alun sehingga suasana terlihat lebih lengang.
Sebuah pertunjukkan sendratari baru saja akan dimulai di atas panggung di sebuah sisi lapangan. Para pemain terlihat bersiap – siap di samping panggung. Khalayak pun mulai merangsek ke depan panggung, namun adapula yang tetap pada kegiatannya. Hari ini memang akhir pekan, namun bukanlah hari peringatan khusus sehingga rakyat yang menyaksikan tidaklah banyak. Pramoda dan kedua kompatriotnya setuju untuk menyaksikan sendratari tersebut dan mendekat ke depan panggung.
Berbeda dengan panggung di kompleks Candi Prambanan, panggung pada alun – alun tersebut memiliki ukuran lebih kecil. Panggung Candi Prambanan digunakan hanya untuk peringatan khusus, dan pertunjukkan yang dihadirkan membutuhkan persiapan khusus, seperti permainan Ramayana. Pada hari ini di alun – alun sendratari yang ditampilkan diberi judul "Titisan Dewi." Pramoda memperhatikan ibunya tersenyum simpul ketika judul sendratari dibacakan.
"Aku merasa lucu ketika namaku disebut." ujar sang permaisuri. Aduh ibu, bukan itu yang dimaksud. Hahaha.
Bunyi gamelan dan nyanyian pesinden mengawali sendratari yang mengambil lakon pada petang itu. Nada pentatonik yang didendangkan membuat Pramoda mengetahui bahwa sendratari akan bercerita tentang kehidupan sekitar. Seorang wanita cantik berpakaian kebaya bercorak batik dengan selendang berwarna biru muda di pundaknya berlari kecil memasuki panggung. Terlihat bahwa dirinya merupakan putri kerajaan, ditandai dengan dayang – dayang yang berkejar - kejaran di belakangnya. Ia mengitari panggung dan duduk berlutut di salah satu pojok panggung.
Kini seorang laki – laki bertubuh gemuk memasuki panggung. Ia mengenakan kalung emas serta pakaian kebesaran. Nampaklah kini bahwa ia adalah seorang raja. Ia berjalan mondar – mandir layaknya raja yang pemalas serta angkuh. Pramoda tidak dapat menghitung berapa kali sang raja mengelus jenggotnya yang tebal dan panjang. Seorang pemuda tampan bertelanjang dada memakai sarung dengan corak batik memasuki panggung. Begitu sang pemuda memasuki panggung, sang wanita segera menghampiri sang pemuda. Berdua mereka mengitari panggung, menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tiba saatnya mereka berhadapan dengan sang raja, mereka segera bersujud dengan muka menghadap ke tanah.
Mereka meminta restu, Pramoda mencoba memahami. Namun kejadian selanjutnya berada di luar bayangan Pramoda. Raja menampar sang putri, menariknya dari sang pemuda, dan membawanya keluar panggung. Suara pesinden yang melengking suram menandakan bahwa hal buruk telah terjadi. Selesainya babak pertama ditandai dengan keluarnya pemuda dari atas panggung dan dentingan gamelan yang berhenti. Lembayung senja mulai menampakkan wujudnya di langit Jawa pada waktu itu. Lampu – lampu minyak mulai dinyalakan untuk menerangi panggung.
Pramoda tahu bahwa bukanlah akibat dari sinar lampu – lampu minyak yang menerangi panggung ia berhalusinasi pada petang itu. Seorang pemuda lain memasuki panggung dengan memakai pakaian dan celana berwarna kuning, lengkap dengan hiasan kepala dan rompinya. Badannya kekar dan berotot. Di pinggangnya melekat badik di dalam sarungnya. Lagu yang didendangkan pesinden berbeda dengan lagu sebelumnya, kini corak nada melayu mengalun kental. Pemuda tersebut menampilkan muka garang tanda siap bertarung, dan kini di depannya telah hadir perahu berlayar dengan corak kuning menghiasi sisi – sisi kapal. Tentu saja kapal itu tidak benar – benar berlayar, di samping – sampingnya beberapa orang terlihat menopang kapal.
Orang awam pun akan mengerti maksud dari adegan ini.
Ketika sang pemuda akan menaiki kapal, ia dikejutkan dengan kehadiran sang raja ke atas panggung beserta putrinya. Berdua mereka mengitari panggung sebelum berhadapan dengan sang pemuda. Terlihat bahwa sang raja menawarkan putrinya untuk dijadikan pendamping sang pemuda. Sang pemuda tertawa terkekeh – kekeh, berjalan ke tengah panggung, dan menyuruh tuan putri untuk sujud di hadapannya. Dengan muka sendu dan menahan tangis, sang putri mengikuti suruhan sang pemuda. Setelah bersujud, sang pemuda menyeret sang tuan putri ke dalam kapal. Seperti ditandu, kapal tersebut bergerak mengitari panggung disertai dengan tarian dayang – dayang di depannya. Babak kedua ditandai dengan keluarnya kapal tersebut beserta dayang – dayang.
Pramoda mengernyitkan dahi ketika mengikuti sendratari tersebut. Semua terasa tidak asing baginya, namun ia tidak memahami makna dari adegan tersebut. Ia tercekat ketika ia menoleh ke sampingnya, ia melihat ibunya menitikkan air mata. Terlihat bahwa ia menahan kesedihan.
Sesedih itukah cerita yang ditampilkan? Memang sedih, namun aku yang sensitif saja tidak menangis. Mengapa ibu menangis?
"Adakah sesuatu dari pertunjukkan ini yang membuat ibu sedih?" Pramoda bertanya dengan hati – hati.
Dewi Tara menatap putrinya, "Tidak, sayang, tidak apa – apa."
Babak ketiga baru akan dimulai ketika ibunya akhirnya menyerah dan membisikkan sesuatu ke telinga Pramoda. Suara ibunya terdengar sangat pelan, bahkan Pramoda harus meletakkan tangannya di samping telinga agar lebih jelas.
"Sendratari ini bercerita tentang diriku, Pramoda."
Pramoda terkejut, sementara ibunya kini hanya tersenyum kecil dengan mata yang basah. Kini panggung terlihat lebih ramai. Dari ilustrasi yang ditampilkan terlihat bahwa pemuda telah sampai pada suatu tempat beserta pasukannya, lengkap dengan pakaian kulit dan pakaian besi tanda siap perang. Namun mereka tidak sendirian, di depannya selusin prajurit lengkap dengan peralatan perang telah siap menyambutnya. Bunyi gamelan kini ibarat pelontar yang berdentum, nada – nada yang didengungkan membakar semangat untuk bergelora. Sang pemuda berserta pasukannya turun dari kapal, mengambil posisi bertarung, masing – masing mencari lawannya, mengarahkan senjata, dan mengitari orang di hadapannya. Tepat ketika pesinden mengucapkan kata pertama dalam lagu, kedua kubu yang berhadapan menerjang menuju lawannya. Masing – masing mengeluarkan jurus saktinya. Di hadapan Pramoda ini merupakan penampilan yang menghibur, bahwa masing – masing pemain baginya lebih terlihat seperti menari daripada bertempur.
Pertempuran selesai dengan kemenangan di pihak sang pemuda. Di akhir pertempuran terlihat bahwa seseorang bersujud di hadapannya mengakui kemenangan sang pemuda. Kini dari samping panggung sang tuan putri terlihat menghampiri sang pemuda. Ia berjalan dengan kikuk, namun mukanya kini tidak menunjukkan adanya paksaan diri. Sang pemuda merangkul tuan putri dan mengacungkan badiknya tinggi – tinggi ke atas. Pada saat itu pula obor – obor yang berada di keempat penjuru panggung menyala seperti terbakar. Dayang – dayang naik ke atas panggung dan melemparkan hiasan pernak – pernik menandai akhir sendratari pada petang itu. Para pemain berkumpul di atas panggung dan membungkuk ke arah penonton. Tepuk tangan mengalir dengan riuh rendah dari arah penonton, walaupun Pramoda tahu bahwa tidak banyak insan yang hadir pada malam itu. Perlahan – lahan orang – orang mulai meninggalkan panggung itu, termasuk Pramoda beserta ibu dan adiknya yang bersiap – siap untuk untuk beranjak.
Ketika akan meninggalkan area panggung, seseorang bertubuh gemuk mendatangi Pramoda beserta ibu dan adiknya. Ia memakai rompi berwarna hitam, kepalanya botak, dan berkumis tebal. Selain itu ia tampak ramah, ceria, dan bermuka cerah. Pramoda tidak mengenalnya namun langsung menyukainya.
"Selamat malam permaisuri dan tuan putri, senang kalian telah datang ke pertunjukanku yang sederhana ini. Terima kasih. Kuharap kalian menyukainya."
Ratu Dewi Tara memperkenalkan lawan bicaranya. "Selamat malam, Hyang Bajangkara. Pramoda, Tara, perkenalkan Hyang Bajangkara, pengarah peran dari sendratari tadi."
"Dan juga salah seorang teman baikku."
"Hanya seorang teman masa kecil, permaisuri."
"Aku benar – benar tidak beruntung, Hyang Bajangkara, hanya sekali aku datang kesini, dan aku menemukan bahwa diriku digambarkan dengan sangat apik olehmu. Luar biasa dan terima kasih, handai taulan."
"Bukan apa – apa permaisuri, bukankah lebih penting bagi rakyat untuk mengenal pemimpinnya langsung. Walaupun aku tahu bahwa aku harus menyingkap masa lalu seseorang. Lagipula, tidak semua penontonku disini mengetahui bahwa engkaulah tokoh utama dari sendratariku tadi. Hahaha."
Dewi Tara ikut tersenyum.
Giliran Tara berkomentar, "Sendratari tadi bercerita tentang ibu?" Tara berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Sendratari tadi menggambarkan sosok ayah juga?"
Sang permaisuri menatap putrinya, "Benar, anakku, pertunjukkan Hyang Bajangkara tadi bercerita tentang ibu. Kau harus memberi pujian kepada orang tua ini, ia berhasil menggambarkan diriku dengan sangat anggun. Tentang ayah, tentu saja tidak terjadi seperti di atas panggung tadi. Ayahmu tidak seburuk yang digambarkan olehnya. Ambil sisi positifnya saja, ia sangat kuat dalam pertarungan dan belum pernah kalah seumur hidupnya."
Tara menatap ibunya tanda mengerti. Nampaknya ibu berhasil menenangkan adikku. Aku sendiri tidak ingin membayangkan ayah seperti tadi.
Dewi Tara kembali menatap Hyang Bajangkara, "Aku harap kau berumur panjang, teman, kedua anakku ini akan menjadi sebuah legenda di kerajaan ini. Kami butuh seorang bernilai seni tinggi untuk menceritakan kehidupan mereka."
Hyang Bajangkara menjawab, "Dewa sudah menentukan siapa – siapa yang akan menjadi legenda, permaisuri. Aku hanya seorang penerjemah, dari atas bumi menuju atas panggung. Tapi aku benar – benar berharap, permaisuri, bahwa hamba akan berumur panjang."
Sebuah senyuman kecut mengakhiri kalimat Hyang Bajangkara. Pramoda tidak perlu mencerna maksud dari ucapan itu. Ia memahaminya. Dewi Tara beserta kedua anaknya lalu meminta diri untuk meninggalkan panggung dan kembali menuju istana. Dalam perjalanan mereka berbincang – bincang kecil.
Pramoda memulai perbincangan, "Bu, aku sampai melupakan bahwa ibu juga berasal dari tanah Sumatera. Benarkah segala sesuatu yang terjadi pada sendratari tadi, Bu?"
Tara yang biasanya tidak memperhatikan kini menyigapkan diri kepada perkataan ibunya. Keduanya meminta pertanggungjawaban sang permaisuri dari Kerajaan Medang. Dewi Tara melenguh dan tersenyum kecil sebelum menjawab.
"Hyang Bajangkara adalah teman masa kecil ibu. Kini ia berada di sini. Tentunya sudah bisa menjawab pertanyaan kalian, bukan?"
Pramoda mengangguk tanda mengerti, namun adiknya tetap mengernyit.
Akhirnya sang permaisuri menjelaskan, "Iya anakku, semuanya terjadi persis seperti yang ia gambarkan. Jangan khawatir, ayahmu sudah jauh berubah dari beberapa puluh tahun yang lalu."
Tara tetap menatap ibunya seperti orang yang baru saja tertiban pohon runtuh. Beberapa langkah dalam keheningan, sesuatu menyeruak dalam benak Pramoda. Tidak dapat menahan diri, ia memaksa bertanya kepada ibunya.
"Bu, jika yang digambarkan tadi adalah ayah, mengapa aku tidak melihat keberadaan paman atau kakek?"
Ratu Dewi Tara dengan tenang menatap putrinya, "Wahai putriku yang cantik, aku pikir kau sudah mengetahui sejarah kerajaan ini. Bagaimana pelajaranmu dari Mpu Galuh terdahulu?"
Pramoda tercekat dan berusaha mengingat – ingat, "Sejauh yang aku ingat mereka bertempur bersama, menyatukan kerajaan – kerajaan kecil hingga menjadi sebuah kerajaan bernama Medang."
"Aku tidak ingin merendahkan Mpu Galuh yang merupakan ajudan setia Rakai Warak, tapi ia memang terkadang berlebihan dalam bercerita. Aku berada di sisi ayahmu ketika kami mulai menyatukan kerajaan – kerajaan kecil di tanah Jawa ini. Kalian tentu tidak ingin percaya bahwa sebenarnya ia seorang diri saja bersama pasukannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa."
"Samagrawira dan Balaputradewa datang ketika mereka mendapat kabar bahwa Samaratungga telah menaklukkan dataran Kedu dan sekitarnya. Padahal kalian tahu sendiri, Kedu dikelilingi oleh suku pedalaman yang dikenal tidak mudah menyerah. Ayah kalian berpikir, untuk menaklukkan kerajaan – kerajaan sekitarnya, dataran Kedu yang berada di tengah – tengah Pulau Jawa harus terlebih dahulu dikuasai. Setelah itu barulah mereka bergerak melakukan perluasan seperti Mataram, Dieng, Mamrati, Wanagiri, hingga Kalingga. Ada suatu ingatan yang menurutku cukup lucu untuk diceritakan. Kalingga tadinya adalah tempat berlabuh Samaratungga sebelum menuju Kedu. Diiming – iming biji kayu pala gratis saat ayahmu berlabuh, mereka melewatkan ayah beserta pasukannya. Mereka tidak mengetahui kenyataan bahwa Kerajaan Sriwijaya melakukan perluasan, bahkan ketika Samagrawira dan Balaputradewa telah datang berlabuh. Ketika Dieng dan Mamrati takluk baru mereka meningkatkan pengawasan. Sungguh lucu."
Sang permaisuri tersenyum kecil saat mengakhiri ceritanya. Pramoda tersenyum mendengar cerita tersebut. Ia sangat menghargai waktu – waktu seperti ini. Berkumpul bersama keluarga merupakan sesuatu yang jarang ia dapatkan.
Kini Tara bertanya kepada ibunya, "Bu, jika Sriwijaya pada saat itu melakukan perluasan, mengapa kerajaan ini dinamakan Medang, Bu? Mengapa kita tidak menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya?"
Pramoda tertegun. Adiknya bertanya sesuatu yang sangat penting yang ia lewatkan, yang tidak pernah terpikir di kepalanya. Namun sang ibu kembali menjawabnya dengan tenang.
"Wahai putriku yang kecantikannya menandingi kakaknya, kau tentu telah melewatkan pelajaran dari Mpu Galuh terdahulu. Coba kau bertanya pada kakakmu, ia tentu mengetahuinya."
Tara menatap pada Pramoda meminta jawaban, namun anggukan bahu adalah sesuatu yang ia dapatkan. Kini ibunya tertegun, "Luar biasa. Apa saja yang diajarkan oleh musang tua itu? Hmm, baiklah aku akan menceritakan sesuai dengan apa yang terjadi di masa itu."
"Ketika seluruh daerah di tengah Jawa ini menyerah dan mengakui kekuatan Rakai Warak, mereka berkembang hingga menjadi kabupaten. Melihat potensi yang dimiliki kabupaten – kabupaten ini Samaratungga selaku seseorang yang berjasa secara pribadi dalam menaklukkan Mataram meminta ijin kepada ayahnya Samagrawira dan kakeknya Dharanindra, Raja Sriwijaya ketika saat itu. Ia berpikir bahwa ketika Dharanindra mangkat pun masih ada Samagrawira yang akan menggantikannya, masih lama waktu ia akan memegang kekuasaan sendiri. Ia meminta ijin untuk mendirikan kerajaan sendiri, hitung – hitung sebagai latihan ketika ia mewarisi tampuk Sriwijaya kelak. Dengan diangkatnya ia menjadi raja muda serta pengakuan dari sepuluh kabupaten, maka lahirlah Kerajaan Medang. Sebuah surat dari Dharanindra membuat Samagrawira dan Balaputradewa lekas bergerak menuju Palembang, meninggalkan Rakai Garung sebagai pimpinan Kerajaan Medang. Bisa kalian lihat sendiri semenjak kalian lahir, ia kini telah jatuh cinta dengan rakyat Medang dan melupakan Kerajaan Sriwijaya. Oh, hal ini mengingatkanku akan masa – masa manis ketika Kerajaan Medang awal berdiri. Semua orang menyanjung kekuatan dan kebijakan yang dimiliki oleh Samaratungga. Kalian tahu, bukanlah ia yang beruntung, melainkan diriku yang beruntung karena telah menikah dengan dirinya."
Penjelasan panjang lebar yang diberikan ibunya benar – benar membuka wawasan yang dimiliki oleh Pramoda. Ke mana saja aku selama ini, mengapa aku baru mengetahui hal ini?
Dan kini mereka akan mencoba menghancurkan kerajaan ini.
Tidak sadar melangkah, Pramoda dan kedua kompatriotnya telah sampai di depan pelataran istana. Mereka melangkah memasuki pintu gerbang dan menuju halaman istana. Tepat ketika akan memasuki pintu masuk istana, seorang pemuda dengan baju lusuh dan obor di tangan kanannya melangkah masuk pintu gerbang istana. Mukanya sedikit lebam, ia terlihat murung dan menatap tanah. Pramoda mengenalinya. Rakai Pikatan.
Pramoda segera berlari mendapatkan Rakai Pikatan. Tara dan ibunya mengikuti di belakangnya.
"Apa yang terjadi, Rakai Pikatan? Mengapa mukamu lebam dan bajumu kotor? Apa yang terjadi dengan Balaputra dan Udayaditya?" Pramoda memberondongnya dengan pertanyaan.
Rakai Pikatan tidak segera menjawab. Ia terduduk di tanah, merenung, dan menampilkan muka murung. Beberapa saat kemudian ia tak kuasa menahan tangis.
"Aku tidak akan bisa melindungi kerajaan ini. Kedua orang itu benar – benar jahat. Kerajaan Medang akan lenyap."
"Apa yang kedua orang itu lakukan terhadap dirimu? Mereka melukai dirimu?"
Rakai Pikatan terdiam dan menggeleng, namun Pramoda tetap mencari jika ada sumber luka dari pasangannya tersebut. Kini sang permaisuri bertindak. Ia menampar Rakai Pikatan dengan marah dan menarik tangan Rakai Pikatan sehingga ia berdiri. Sebuah bentakan keras hadir di muka Rakai Pikatan.
"Hina sekali lagi martabat kerajaan ini dan Pramoda tidak akan menjadi istrimu!"
Sebuah kalimat yang singkat, tegas, dan jelas di depan muka Rakai Pikatan membuatnya tersentak kaget. Tidak hanya hanya Rakai Pikatan, Pramoda dan adiknya dibuat kaget oleh tindakan ibunya. Rakai Pikatan menghentikan tangis dan menatap tanah.
"Aku tahu kita ada dalam tekanan besar. Aku tahu beban yang ditanggung oleh raja. Tapi menyerah sebelum bertarung bukanlah mental yang dimiliki oleh seorang penghuni Kerajaan Medang. Apalagi calon penerus kerajaan."
"Sekarang yang terpenting beristirahatlah dulu. Kau tampak lelah dari segi mental dan fisik. Aku dapat melihatnya. Tenangkan dirimu dulu. Kita mempunyai beban yang sama."
Masih dengan muka murung, Pramoda membantu Rakai Pikatan menuju pondok tidurnya. Mereka memohon diri dari sang permaisuri. Ia melihat calon pasangannya itu sambil bertanya dalam hati kira – kira apa yang sudah dilakukan oleh kedua orang Sumatera tersebut hingga ia menjadi seperti ini. Tindakan ibunya membuat ia merenungkan sesuatu.
Ibuku sangat kuat. Aku belum bisa menyamai ibu untuk menjadi seorang permaisuri. Namun kurasa ada satu pelajaran yang dapat kupetik saat ini dari ibu: tetap positif.