webnovel

NODA GELAP

Gubahan_Z05 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
16 Chs

Restu

Untuk seluruh waktu, sedemikian rupa ia sudah menemuinya dengan segala keraguan dan pergi, tidak ada yang bisa ia lakukan disini. Hanya cahaya minyak lampu yang mengiringi setiap erangan kepergiannya, biarkan gadis itu sendirian, tatkala Kelvin berusaha menerka mengenai kemungkinan yang tidak pernah selamanya benar, bisa saja dia tengah merindukan keindahan tanah kelahirannya sendiri dirumah.

Maka lingsir sang fajar, memahami kesendirian Kelvin dengan dekapan kehangatannya kala menengadah keatas puncak perbukitan sana. Seperti biasa ia terbangun di atas hamparan yang dipenuhi oleh rumput, mencuci mukanya dengan air timba dari bawah sumur, begitu pula dengan si Amin yang mengajaknya kembali beranjak ke sawah. Namun kali ini Kelvin tampak tidak berselera untuk bekerja. Ia hanya ingin menikmati kesendiriannya sambil menyapa setiap orang yang lalu lalang, cukup dengan melihat senyumannya, mendengar bisikan mereka, sudah membuat hatinya kembali senang. Ditambah bukankah orang-orang sering berkata menggunakan bahasa langit, lengkap dengan dalil-dalilnya yang tertulis didalam kitab suci. 'Bahwa rezeki tidak selamanya harus dicari.' Hari ini Kelvin sangat percaya dengan perkataan perkataan yang menggunakan bahasa langit, mengimankan seluruh ajaran-ajaran agama yang pernah ia dengar dari orang-orang.

Lima belas menit berlalu saat suasana sudah begitu amat hening, orang-orang disibukan dengan pekerjaannya kala siang, lalu pulang jika sudah malam. Sepanjang waktu laki-laki yang berada di atas tataan kursi-kursi taman itu tampak tengah duduk-duduk saja, mengamati sang gadis dari kejauhan, tangannya begitu asik melemparkan roti-roti kering itu sebagai bahan makanan burung-burung. Demikian pula ia hanya bisa memperhatikannya saja, bukan lantaran sombong. Melainkan ia hanya ingin gadis itu yang lebih dulu menghampirinya, setidaknya jika Adelia yang paling awal menghampiri Kelvin, ia tidak akan pernah merasa terganggu akan kehadirannya kala bertemu. Namun tetap saja, terkadang seorang gadis sering kali bersikap malu-malu, atau juga sering menghindar jika sudah merasa terganggu.

Belasan kali ia hampir terbangun lalu terduduk kembali setelah ketakutannya terbang seperti kejadian pada kemarin malam. Tidak ada gunanya jika hanya berdiam diri terbenam dalam penyesalan, lantaran seberapa keras si lelaki berteriak merutuk dalam hati, tetap saja Adelia tidak akan pernah menjangkau suara itu, seakan-akan ada sekat mentari yang menjadi pemisah diantara keduanya.

Sekali-kali gadis itu melirik kearahnya, maka saat itu juga Kelvin tersenyum-senyum sendiri memandanginya sambil melambaikan tangan sebagai isyarat dari sebuah ajakannya untuk datang. Namun Adelia hanya menggeleng pelan sambil tersenyum manis hanya untuk kelvin seorang. Satu dua sepasang burung dara saling mengepakkan sayapnya seolah terkesima, terbang ke angkasa menambah kesan keindahan yang melampaui batas kekayaan guratan alam beserta isinya. Sudahlah lagi pula setidaknya gadis itu tidak terlalu sombong.

Kelvin mengibaskan rambutnya kebelakang sambil berjalan selangkah demi selangkah hingga mendekatinya, tersenyum ramah sebagai pengganti sapaan pagi hari dan berkata sepatah atau dua patah kata yang membuat Adelia merasa senang. "Berikan aku kesempatan untuk mendapatkan restu dari ibu mu." Kelvin berkata tiba-tiba, sorot matanya kian tajam seakan menambah kesan keseriusannya kepada seorang gadis yang kini tengah berhadapan. Akan tetapi hanya lengang tiada menerima sebuah jawaban, mungkin Adelia ragu dengan keputusannya yang terburu-buru, terlebih ibunya masih berada dalam situasi yang tidak memungkinkan.

"Maaf Kelv, mungkin aku sendiri bisa saja menerima mu, akan tetapi ibu ku masih tetap dalam tahanan."

"Maksudnya?"

"Aku akan memberikan mu syarat yang telah aku nazarkan seumur hidup. Tolong bantu aku melakukannya...

Keluarkan ibuku kembali!" Adelia balas menjawab, padahal gadis itu ialah seorang putri dari keluarga terpandang di negeri hujan, memiliki kekayaan yang hampir sederajat dengan wali kota. Namun sayang ibunya kian ditahan lantaran tuduhan yang mungkin hanya sekedar kecemburuan dari orang ketiga, ya orang yang tidak suka padanya.

Pertama-tama ia bermaksud menemui Kelvin ialah hanya sebuah alasan atas kepentingan pribadinya saja. Lantaran Kelvin sendiri juga berhak atas ketidak adilan-nya sedari kecil, mengingat ia juga adalah anak dari seorang wali kota yang paling terhormat, berkedudukan tinggi serta mampu melipatgandakan kekayaannya dengan seluruh hasrat yang Kelv miliki, namun sayang, sudi atau terbuang kiranya orang-orang berkata ia adalah anak yang tidak diinginkan. Ah mungkin suatu hari, lelaki itu akan mengerti mengenai siapa dirinya dan kenapa gadis itu menemui Kelvin sampai rela tinggal di negeri perbukitan.

Seorang putra dari seorang wali kota hujan?. Bahkan Kelvin sendiri pun tidak tahu ia anak siapa. Mana kala setiap hari setiap minggu, maka terlewatkan juga menjadi satu bulan dalam peruntungannya di negeri orang. Sejujurnya Kelvin merasa senang, ditambah dengan adanya seorang gadis tiga potong roti sebagai cinta pertamanya kala sama-sama berusia 10 tahunan.

"Aku pasti akan melakukannya!" Kelvin balas menjawab.

Diwaktu berkala hanya kata ibu yang gadis itu pinta, lagipula tidak ada kekayaan paling indah selain ibu, bahkan Kelvin pun ingin memiliki kekayaan itu menggayuti hati kecilnya dan berusaha mengingat kapan hari asing itu menimpanya di masa lalu. Sudi atau terbuang kiranya orang-orang berkata ia anak yang tidak diinginkan serta rela ditelantarkan oleh kemanusiaan, lantas mengapa ia masih saja sampai terlahir, tuan?.

Barangkali dalam relung hati, Kelv tidak pernah iri dengan kekayaan itu, tidak terpikir juga ingin memilikinya. Lebih baik ia berpikir hari ini akan makan apa?, mengerjakan apa?, dari pada mengingat hal yang dibuatnya menjadi gelisah. Tentunya ia berhasil melupakan semua itu, didorong oleh rasa lapar lalu mulai memikirkan kelezatan dengan segala kecenderungan dari sebuah makanan hingga ia lupa akan apa dan mengapa yang bersangkutan dengan masalah hari ini.

Meski tetap saja tak surut Kelv lupakan, mengenai kesuraman bayang-bayang hitam yang penuh kenestapaan itu terus saja hadir dalam ingatannya di masa lalu.

Usia ke enam tahun, Kelv baru bisa menyadari kekosongan hatinya tatkala bila melihat puluhan teman-teman yang berumur sebaya dengannya tampak tengah membanggakan orang tuanya sendiri, tapi tidak dengan seorang bocah kumuh seperti dirinya, selintas dalam relung hati, Kelv merasa dirinya memang telah ditakdirkan untuk terus berdiri di atas panggung sandiwara dimana drama kesedihan lah yang tengah dimainkannya.

Usia ke sepuluh tahun, bertepatan dengan kejadian yang menimpanya pada dua puluh tahun silam, setelah menemukan satu-satunya sosok yang peduli terhadapnya, bahkan sosok itu menerima keburukan apa saja yang terikat dengannya, yakni seorang gadis manis nan lugu menatap lurus padanya. Akan tetapi sayang si gadis malah meninggalkannya begitu saja ditengah-tengah lebatnya curahan titik hujan. Mana kala pada saat hari itu juga, kelv menyadari tidak ada seorangpun yang mengasihaninya, dan sadar bahwa hidup begitu amat kejam untuk orang-orang kumuh seperti dirinya, oleh karena itu maka timbullah perlahan rasa kebencian itu terhadap orang yang sering kali disebut-sebut dengan kata ibu yang malah sudah menelantarkan dirinya selayaknya bocah terbuang.

"Kelv, hey kelv!!" Adelia menyeringai tipis, memutuskan lamunan laki-laki itu saat mengerlingkan pandangannya pada senja yang semakin membenamkan dirinya di ufuk barat, se-sore ini orang-orang masih juga belum kembali pulang, hanya ada anak-anak, orang tua dan si gadis yang tengah berhadapan dengan lelaki tadi. Tatkala gadis itupun berusaha menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran Kelvin, mungkin saja ia tengah terbuai oleh keindahan alam hingga jatuh kedalam lamunan.

Sesaat si lelaki pun tersinggung setelah tersadar, mendengus kesal sambil menyapu pandang, lantaran merasa bodoh dan berpikir, 'kenapa juga aku harus melamun–kan hal-hal yang tidak penting?'. Sialnya gadis itu malah menatap lamat-lamat dari ujung kaki hingga ujung rambut yang membuat Kelv merasa tidak nyaman dan bertanya apa ada yang salah? kata si laki-laki merasa risih. Namun Adelia hanya tertawa lepas mendengarkannya. "Dasar, ternyata preman seperti mu bisa melamun-kan hal yang tidak penting juga ya!" tuturnya yang lebih tepatnya seperti sebuah cacian, tapi beruntung kelv tidak terlalu tersinggung, lantaran kemarahannya pun ikut meredam setelah melihat gadis itu merasa senang. Ya kurang lebih seperti itu juga saat Kelv hendak menepuk bahu Adelia dan pergi sambil melambaikan tangan seakan seperti orang yang tidak memiliki masalah apa-apa. Lagipula lihatlah sudah tidak ada lagi yang harus ia bicarakan disini, bahkan ia juga lupa sudah berbicara dengannya sampai mana? entah itu persoalan mengenai restu atau ibu. Ah entahlah keduanya sama-sama tidak mudah untuk kelv bisa mendapati gadis itu sepenuhnya.

Matahari semakin condong jatuh membenamkan diri, disusul oleh semburat merah api menyala disetiap ujung lereng perbukitan sana. Kau tahu! kata orang dengan menyaksikan senja dan menikmati jingga dapat menghilangkan rasa penat pascaaktivitas seharian. Maka hal itu pula yang tengah dilakukan Kelvin setelah usai membersihkan setiap petakan keramik-keramik yang semula tampak begitu lusuh sebagai salah satu ciri pekerjaannya dari pada harus terdiam tanpa melakukan apapun yang membuat orang-orang merasa bosan melihatnya, tatkala tanpa harus diharapkan kehadirannya tampak seorang gadis muda membawakan sebungkus nasi beserta lauk didalamnya dan tidak lupa juga ia membawakan segelas air putih hanya untuk Kelv seorang. "Terimakasih." Kelvin tersenyum simpul setelah mendapati makanan itu.

"Sama-sama, tapi seharusnya saya yang lebih pantas mengatakan kalimat itu, lantaran tuan sendiri yang sudah rela menjaga seluruh keamanan rumah Allah yang tampak begitu amat mulia ini!" kata gadis muda itu balas menjawab meski jari jemari beserta tangannya tengah disibukan dengan minyak lampu lentera yang akan ia pasang di atas tonggak Mushola. Lalu berlalu meninggalkan lelaki itu yang sedang menikmati makanan sambil mengangguk pelan dan menampakan senyuman sebagai isyarat dari pengganti kata 'silahkan', kepada gadis muda itu yang kini kian berjalan menelusuri gang gang perumahan sepanjang tepian aliran sungai, menemukan beberapa anak anak yang tengah mandi disana sambil memunguti ikan-ikan kecil bersembunyi dibalik batu-batu pualam yang unik bermacam-macam bentuknya. Terdengar riuh suara mereka tertawa ria meski kadang orang tuanya berekspresi acuh lantaran tidak suka. Satu dua dari arah gerbang gapura puluhan petani pulang sambil membawakan barang-barang bawaan mereka, begitu pula dengan si Amin yang sudah menampakan ujung batang hidungnya kembali.

"Nah, ada apa lagi?" tanya Kelvin acuh.

"Hehe, jangan marah lah... Aku hanya ingin mengajak mu untuk menjual barang peruntungan ku ke negeri perkotaan saja. Tenang saja nanti hasilnya aku bagi dua karena kau juga sering bekerja dengan ku!"

"Oke aku terima." Kelvin menyeringai tak kalah antusias, lalu melanjutkan kembali perkataannya. "Kau mau menjualnya kemana?"

"Alamak, bukannya kau dari negeri hujan, jadi bawalah saya ke sana!" pintanya setengah memohon.

"Oh, baiklah aku tunggu esok jam 8 pagi ya!"

"Siiyyyyaaaap."

****

Sudah hampir tengah malam, tapi pikiran Kelvin masih saja berkelana pada gadis itu, entah apa yang harus dikatakannya jika esok hari ia tidak lagi bisa menemui Adelia kembali seperti biasa. Lantaran tujuannya esok pergi bukan dimaksudkan untuk mencari kesenangannya semata sebagaimana lazimnya jiwa seorang remaja. Melainkan hal ini pula ia lakukan demi mencari peruntungannya agar bisa menikahi gadis itu secepatnya, alhasil peduli setan jika persoalannya tentang wanita tua dalam penjara yang ia sebut-sebutkan dengan panggilan ibu itu, lantaran selintas dalam otak kanannya Kelv berpikir 'toh aku juga tidak punya ibu, jadi apa masalahnya!'