webnovel

NODA GELAP

Gubahan_Z05 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
16 Chs

kota hujan kita

"Esok aku harus pergi bersama si Amin, yang pasti mungkin kami akan mencari peruntungan dengan cara berdagang disana."

"Kenapa?" tanya Adelia membesarkan hati. Lantaran tak rela jika salah satu sahabatnya harus pergi dengan waktu yang cukup lama, bukan takut lantaran tidak ada lagi kawan, tapi ada juga, melainkan setidaknya jika ada lelaki itu ia tidak pernah merasa kesepian meskipun setiap hari, setiap malam tak lekas harus membicarakan hujan, mendung kadang juga kemarau, yang membuatnya bosan dan berpikir apa tidak ada pembahasan lain. "Tolong berikan aku alasan yang jelas!" ancamnya sembari tangan mengepal kesal.

"Untuk kau aku, dan kota kita!" balas Kelvin, berusaha memicingkan telinganya rapat-rapat. Lantaran diwaktu berkala seperti ini ia paling malas untuk berdebat meski harus mempermasalahkan hal hal yang kecil sekalipun. "Jika kau bertanya mengenai alasannya lagi, maka aku akan langsung menjawab untuk kau aku, dan kota kita!"

"Sudah cukup, lebih baik sekarang aku tanya. Memangnya seberapa besar dan seberapa pentingnya sih niat mu itu untuk memiliki ku?" katanya sambil menatap lurus.

"Entahlah...

yang pasti aku tidak pernah mengenal seorang perempuan mana pun selain kau sendiri yang pernah memberiku tiga potong roti."

Kelvin terdiam sejenak sambil memalingkan muka dan pergi keluar pintu berjalan menembus lail secara angkuhnya, hingga datanglah pagi hari. Kilauan cahaya lingsir membakar cakrawala, menembus awan kabut yang tersamarkan kelabu biru, merobek hawa dingin yang merasuk menghangatkan jiwa. Tampak pagi ini ia tengah mendaki menaiki sebuah mobil pembawa barang, duduk di atas tumpukan rempah hasil bumi untuk mereka jajakan ke luar negeri, meski pandangannya tak lekas ia paling–kan ke sebuah petakan rumah tempat tinggal seorang gadis yang amat pernah ia kasihi.

Menggenggam erat kepal tangan, menengadah keatas puncak perbukitan, maka sesaat teringat beberapa hari lalu Adelia juga pernah mengatakan permasalahannya mengenai ibu, menyaksikan kerapuhan uraian air mata jatuh seketika dari pelupuk pipinya hingga membeku, membatu kristal dalam ingatan. Mungkin tabiat setiap kata ibu itu berbeda-beda maknanya, berbeda pula cara mengasihinya, tak terperi seberapa keras kata ibu itu menghidupi anak-anaknya hingga gadis itupun luluh lantaran hanya mengatakan sepatah kata yang membuatnya kembali terurai air mata. Entahlah sejujurnya Kelvin begitu amat penasaran karena tidak pernah merasakan seberapa bahagianya mendapatkan kekayaan itu.

Hanya kata yang mengandung sebuah nama yakni, Nazma yang menjadi prioritas utamanya. Lantaran, Nazma sendiri pula yang sudah memaksakan kehendak putrinya untuk berbicara, lalu menyampaikan sepatah permohonan kepada Kelv yang sejujurnya ia merasa amat keberatan. 'Entah ada dimana Nazma! tolong bantu aku menemuinya, agar aku bisa menikahi putrinya dengan leluasa'.

Ironinya hari ini mungkin Kelv akan kembali mengunjungi sebuah tempat yang paling ia benci karena di negeri itu pula bersemayam masa-masa kelam yang penuh akan cermin kesuraman, berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Jika bukan karena hidup mungkin Kelv sudah tidak ingin mendatangi tempat itu. "Arrggghhh!! berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya nya tidak sabaran.

"Ai, masih lama lah kawan. Ngomong-ngomong pagi ini kau tampak begitu pucat, jika kau lapar silahkan makan saja bekal ku ini!" kata si Amin meracau bercampu dengan deru suara mesin mobil, akan tetapi tampak tangan-tangannya tengah memberikan satu bungkus nasi putih seadanya.

***

Dilihatnya arloji jam tangan milik Kelv sudah terpampang sebuah jarum yang berhenti ditengah-tengah ukiran angka sepuluh, bersamaan dengan pemberhentiannya didepan kompleks perumahan yang tak jauh dari lokasi terminal Kelv tinggal dahulu. "Turun!" kata sang supir, dan Kelv pun menurutinya. Lalu berjalan menelusuri keindahan gedung-gedung kota hujan, melihat-lihat kegagahan sebuah layar papan iklan disebuah dinding halte bis, tonggak lampu jalanan, lalu lintas, stasiun kereta bawah tanah, begitu pula dengan puluhan gedung-gedung bertingkat tinggi sejauh mata memandang. Riuh rendah suara puluhan para pejalan kaki ikut terdengar nyaring bercampu dengan suara kendaraan yang kadang meracau tidak karuan, hingga mengganggu pendengaran si Amin yang tidak pernah mengenal apa itu negeri perkotaan. Tampak pandangannya ia dongakan ke atas selintas matanya terkagum-kagum kala melihat benda besar mengapung di angkasa lepas, tambahkan saja dengan sebuah benda melingkar tajam berputar menyerupai baling-baling diatasnya.

"Cih, apa dia benar-benar tidak pernah sekalipun melihat helikopter..." pikir Kelvin merasa heran.

"Tuan, kita akan memulai peruntungan kita dimana?" tanya si Amin tersenyum lepas amat antusias.

"Ikuti saja aku." Kelvin balas menjawab, lalu meneriaki kedua mantan anak buahnya dari kejauhan. "Bang, Sat!!!"

Maka sontak saja kedua anak buah itu menoleh kearahnya, berjalan menghampiri dengan gagahnya sambil melemparkan senyuman dan sepatah kata sapaan akrab mereka. "Hey bos, apa kabar, lama kita tak jumpa?" kata mereka antusias saat bersilat lidah dengan mantan majikannya.

"Aku oke. Oh ya tolong carikan dia kios yang kosong dekat terminal ya!" seru Kelvin menunjuk pada si Amin.

"Baiklah, mari pak saya antar menuju tempatnya!" pungkas bang rada serius menatap lekat-lekat dari ujung pangkal kaki hingga ujung rambut tak lepas ia arahkan pada si Amin yang tidak tahu siapa Kelv sebenarnya, yang pasti Kelv berniat membalas budi kebaikannya selama di negeri perbukitan dahulu.

Maka langsung saja kedua preman itu pergi sambil membawakan barang-barang peruntungan milik si Amin ke sebuah gerai yang menghadap bibir tepian jalan, tampak beberapa kendaraan tertata rapi di sana, sementara mereka sibuk menata barang-barang dagangannya di atas hamparan meja-meja yang terpampang leluasa. "Bagaimana apa semuanya sudah selesai?" tanya bang menatap lurus padanya tanpa memberikan ekspresi apapun, ditambah dengan terkaan Kelvin yang bahkan tidak merasa yakin kalau mereka bertiga akan dengan mudahnya akrab begitu cepat.

"Alhamdulilah, sudah bang," sahut si Amin tersenyum simpul. Sudi atau tidak kiranya beruntung tatkala terselang beberapa menit seorang pelanggan tertarik tampak orang itu hendak akan membeli sebagian barang dagangannya. Ah lagipula Tak heran lantaran kualitas barang-barang dagangannya yang memang terbilang tak lagi mengecewakan.

Suatu sore disalah satu depan gerai toko, saat Kelv tengah mengamati terminal dengan seksama, selintas datang segerombolan para pria berjas hitam, dasi merah serta mengenakan balutan sepatu mewah menambah kearifan dengan segala pengetahuan yang seringkali didambakan setiap orang. Namun ada satu hal yang membuatnya tak henti-hentinya terperangah saat melihat satu orang pemuda yang berwajah serupa dengannya, matanya, hidungnya, begitupula dengan warna kulit, sungguh semuanya amat sama persis, hanya saja pangkat yang membedakan keduanya. Lantas membuatnya sedikit bertanya-tanya dan heran mengenai siapa sebenarnya lelaki itu?. Tampak begitu sangat berwibawa sehingga mampu menggiring puluhan orang-orang lainnya dibelakang lelaki itu berjalan.

Satu detik setelahnya, Kelv tersengal sedikit terbatuk-batuk sambil menyapukan pandangannya saat lelaki berjas hitam itu beralih menatap ke arahnya.