webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · Sejarah
Peringkat tidak cukup
240 Chs

40. Ch40s

'GOOOOOOOONGG.....!'

Pertemuan mingguan sedang berlangsung. Para pejabat yang hadir telah bersiap memasang telinga untuk mendengar sabda Sang Prabu.

"Para abdiku sekalian. Kita semua tahu bahwa Dewata telah memberikan anugerah kepada kita yang tiada terkira. Anugerah itu adalah bahan mentah yang baru bisa disebut bernilai ketika kita mampu menggunakannya untuk keperluan yang bermanfaat. Layaknya perhiasan emas yang kalian kenakan itu yang merupakan hasil kerasnya penyepuhan dari yang semula hanya bongkahan batu berbentuk tak beraturan. Kita harus bisa menyadari bagaimana hadirnya kita dalam dunia mampu memberikan sumbangsih untuk kebaikan alam dan lingkungan kita. Namun setiap Anugerah itu memiliki batasan, misalnya adalah umur. Tidak terasa umurku sudah setua ini. Ternyata sudah cukup lama aku menggenggam kuasaku sebagai seorang raja di Galuh Raya. Untuk itu aku memanggil putraku dari pengembaraannya di Swarnabumi. Dialah Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikanku sebagai Prabu kalian selanjutnya. Pangeran Ragasuci."

Sang Pangeran kemudian berdiri dari duduknya dan memberi hormat kepada semua yang hadir. Para pejabat bertepuk tangan menyambutnya. Kemudian Pangeran Ragasuci duduk kembali dan Sang Prabu melanjutkan sabdanya.

"Sebagaimana yang sudah diamanatkan. Seharusnya putra sulungku yang bernama Rakryan Jayadharma yang menggantikanku duduk di singgahsana ini. Tetapi sayang sekali dia wafat di usia muda. Sedangkan putranya yang bernama Sanggrama Wijaya yang seharusnya menjadi penerusnya, lebih memilih pindah ke Singhasari di bagian timur jawa. Dan sekarang setelah Singhasari runtuh, dia mendirikan kerajaan baru yang bernama Majapahit yang sudah berdiri dua tahun ini. Dia menjadi raja pertama di sana meneruskan dinasti wangsa Rajasa yang sebelumnya menguasai Singhasari. Untuk itu kekuasaan Raja Galuh selanjutnya diamanatkan kepada putra keduaku, Pangeran Ragasuci. Dia sengaja ku suruh pulang untuk dinobatkan sebagai Pangeran Mahkota. Selain itu, dia juga akan membantu menangani beberapa permasalahan kriminal yang belakangan ini sering terjadi. Sebagaimana kita tahu, Ragasuci sudah banyak berpengalaman dalam pertempuran laut. Dia pernah dipercaya oleh Raja Pamalayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, untuk memimpin armada lautnya di perairan Aru ketika menghadapi kawanan perompak. Tentunya menangkap kawanan rampok darat akan dirasa lebih mudah baginya. Silakan bagi Patih Adimukti dan Tumenggung Aria untuk melibatkan Pangeran Ragasuci dalam operasi pembersihan pelaku kriminal di tanah Galuh. Bagaimanapun nama baik negara ini bergantung pada tingkat keamanan wilayahnya dari para pengacau."

Pangeran Ragasuci saat ini berumur sekitar 35 tahun. Umur yang sebenarnya sudah cukup terlambat untuk dinobatkan sebagai Pangeran Mahkota.

Sang Prabu kemudian melirik ke arah Patih Adimukti seraya berkata, "Silakan laporanmu, Patih!" Mahapatih pun memberi hormat kepada Sang Prabu sebelum menyampaikan laporannya.

"Mohon ampun, Gusti Prabu. Masalah kriminal akan hamba bahas pada laporan selanjutnya. ada hal yang lebih genting daripada itu, yaitu kebutuhan mendasar manusia. Hamba dan Mahamantri Empu Handaya mendapat banyak sekali laporan dari para Kepala Kuwu dan Lurah bahwa sebagian besar warganya mengalami kelaparan. Musim paceklik yang telah lama melanda desa mereka membuat hasil pertanian basah mereka gagal panen. Mereka sudah tidak bisa lagi mengandalkan pertanian basah seperti padi dan gandum. Untuk sementara ini mereka beralih ke pertanian kering, dengan media tanah tegalan yang tidak terlalu banyak membutuhkan pengairan. Itupun masih membutuhkan waktu beberapa bulan lagi untuk musim panen. Jalur irigasi benar-benar kering, Gusti," kata Sang Patih menyampaikan laporan.

"Bukankah paceklik sudah cukup lama melanda? Bukankah selama ini masyarakat selalu tepat membayar pajak? Kenapa baru sekarang mereka melaporkan berita kelaparan? Pastikan para Demang tidak menarik pajak secara paksa, Patih!" berondong Sang Prabu berusaha mengulik keterangan lebih dari Sang Patih.

Kemudian Empu Handaya berdiri dan memberi hormat kepada Sang Prabu dan Mahapatih.

"Ampun, Gusti Prabu. Mohon maaf, Mahapatih, bolehkah saya memotong sedikit?"

"Silakan, Mahamantri...," ucap Patih mengizinkan.

"Mohon Ampun, Gusti. Hamba sudah perintahkan kepada para Demang untuk meliburkan sementara penarikan pajak terhadap desa yang terdampak bencana kelaparan akibat paceklik. Namun perihal kenapa mereka baru melaporkan, hamba juga heran. Tetapi menurut pengakuan salah satu dari mereka, ada kejadian aneh yang cukup membuat hamba tercengang. Secara bergiliran pada pagi buta, biasanya di depan pintu rumah warga desa mereka terdapat sekantung beras dan beberapa buah-buahan. Terkadang juga kepingan emas dan perak. Tetapi dua pekan belakangan ini sudah tidak ada lagi. Jadi selama ini kelangkaan bahan pangan mereka tertolong oleh pemberian misterius ini. Dan mereka pun baru benar-benar merasakan dampak paceklik setelah pemberian misterius itu sudah tidak ada lagi."

Sang Prabu terdiam menghela nafas sejenak. Kemudian mempersilakan Patih kembali bicara. "Lanjutkan, Patih!"

"Hamba sangat paham kepada semua yang hadir di sini pasti memiliki dugaan yang sama tentang siapa yang menaruh pemberian misterius di depan pintu warga, mengingat peristiwa tersebut terjadi di beberapa desa seperti Panembong, Cigandi, dan Limbangan. Desa itu dekat dengan Gunung Cikuray dan Gunung Guntur yang tempo hari menjadi operasi kita dalam penangkapan kawanan begal. Tetapi hamba tidak ingin terlalu larut tentang hal itu, yang terpenting saat ini adalah masalah kelaparan rakyat kita harus segera ditangani. Kita perlu tindakan solusi kilat, Segera hamba akan mengutus para Adipati dan Wiyasa untuk mengirim beberapa bantuan pangan menuju ke desa-desa terdampak. Tak lupa meminta para Rakryan Rangga agar turut mengatur pengawalan. Sedangkan solusi jangka panjangnya, hamba akan meminta bantuan para Juru Anala untuk segera membicarakan rencana pembangunan waduk dan bendungan di Galunggung supaya kita mempunyai kanal-kanal tambahan untuk pengairan sawah dan ladang di wilayah barat. Sebab selama ini kita hanya memiliki satu jalur kanal di wilayah selatan sampai Pangandaran. Sehingga jika paceklik akan terjadi lagi, rakyat di wilayah barat sudah tidak perlu khawatir."

"Lalu bagaimana dengan laporan tentang pencarian buronan yang bernama Saga Winata itu?" tanya Sang Prabu kepada Mahapatih. "Kita seharusnya malu kepada Mahaguru Sutaredja. Bagaimanapun beliau sangat berjasa kepada benih-benih kekuatan militer negara ini. Tetapi pencapaian kita cenderung mengecewakannya, karena terlalu lama untuk bisa menangkap seorang rampok, jangankan menangkap, setitik kepastian tentang lokasi buronan itu saja tidak ada," lanjut Sang Prabu.

"Maaf, Gusti Prabu. Hamba sudah percayakan segala pengaturan siasat ini kepada Tumenggung Aria Laksam," ujar Mahapatih yang kemudian menoleh ke arah Tumenggung.

Mendengar itu, Tumenggung Aria langsung tertunduk dalam diam. Jiwanya sudah tidak sesemangat hari-hari sebelumnya. Biasanya semangat tempurnya akan terbakar ketika telinganya mendengar nama buronan pimpinan rampok itu. Namun kali ini hatinya yang terbakar. setelah mengetahui Saga Winata adalah darah dagingnya, tentu perlakuannya terhadap buronan itu sudah tak lagi sama.

"Silakan dijawab, Tumenggung!" gugah Sang Prabu.

"Eh..., Ampun Gusti Prabu." Tumenggung Aria berdiri dan memberi salam hormat. "Maaf jika penangkapan buronan ini terkesan terlalu lama. Tetapi sejujurnya kami tidak diam, Gusti. Siasat hamba telah berhasil membuat kawanan perampok di Lembah Gampit tempo hari tertangkap. Meskipun menurut beberapa anggotanya mengaku bahwa mereka bukanlah kelompok Saga Winata melainkan pesaingnya, Ki Menyawak. Mereka berusaha memanfaatkan kekosongan kekuasaan begal pada jalur perdagangan di Lembah Gampit untuk menghadang iring-iringan pedagang yang sebenarnya pancingan kami untuk kelompok Saga Winata. Namun ternyata dugaan hamba meleset, Saga Winata sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu. Paling tidak hamba telah berhasil menangkap perampok lain yang tentu saja sama-sama meresahkan. Hamba yakin kelompok Saga Winata yang sebenarnya sudah meninggalkan persembunyiannya dari Gunung Guntur. Kemungkinan mereka pergi ke barat arah Pakuan kemudian menuju Bandar Labuh Sunda Kelapa untuk lari meninggalkan Tanah Jawa."

"Kenapa seyakin itu, Tumenggung?" tanya Sang Prabu.

"Eh... Sebenarnya hamba sudah menyebarkan banyak Telik Sandi ke arah barat. Beberapa dari Telik Sandi hamba memang sempat melihat kawanan itu di Pakuan," jawab Tumenggung gugup.

Seorang Juru Pangalasan (Mantri urusan mancanegara), Empu Lembu Bodas berdiri dan memberi hormat. "Ampun, Gusti Prabu. Izinkan hamba turut bicara," ucapnya.

"Silakan, Empu." Sang Prabu mengizinkan.

"Maaf, Tumenggung. Saya rasa tidak bijak kalau membuat kesimpulan terlalu tergesa-gesa. Mengira-ngira Saga Winata akan meninggalkan Tanah Jawa hanya akan mengendurkan semangat para prajurit sehingga membuat kita semua menyerah dan mulai berpikir untuk menghentikan pencarian."

"Dalam strategi militer, mengira-ngira adalah termasuk modal untuk melakukan siasat, Empu Lembu," ujar Tumenggung.

"Tetapi mengira-ngira juga harus mempunyai dasar yang kuat, Tumenggung. Bukankah sampeyan baru hanya mendengarnya dari satu orang Telik Sandi?"

"Meskipun satu, Telik Sandi ku adalah orang-orang terpilih yang sangat bisa dipercaya."

"Bukan masalah bisa dipercaya atau tidak, paling tidak kita harus mengumpulkan banyak kemungkinan dahulu sebelum mengambil kesimpulan. Bukan hanya dari satu atau dua penyebab," ujar Empu Lembu Bodas dengan tenang.

"Bagaimana jika kenyataannya memang seperti itu, Empu Lembu?" tanya Tumenggung sambil matanya menatap tajam ke arah Empu Lembu Bodas.

"Seorang Ksatria tidak boleh memiliki pilihan menyerah, apalagi seorang perwira."

"Bukan pangkatmu untuk turut campur urusan militer. Aku lebih paham strategi perang daripada kamu yang hanya pejabat bolak balik salam sapa dengan para raja tetangga...!" jengkel Tumenggung meninggikan nada bicaranya.

Para pejabat yang hadir mulai merasa tidak nyaman dengan perdebatan mereka yang menumbuhkan emosi.

"Kenapa sampeyan marah-marah kepada saya? Sebagai seorang Juru Pangalasan, saya tentu terpancing untuk bicara, sebab sampeyan menyinggung-nyinggung tentang daerah lain yang belum tentu sampeyan kenali situasinya," ujar Empu Lembu Bodas dengan tenang berusaha tidak terpancing emosi. "Bagaimana kalau saya katakan bahwa arah jalan tercepat ke Sunda Kelapa bukanlah melalui Pakuan? Melainkan melalui Jayagiri. Sebagai buronan, tentu saja mereka akan memilih jalan tercepat melalui Kota Jayagiri jika memang mau melarikan diri ke sebrang melalui Bandar Labuh Sunda Kelapa," lanjut Empu Lembu Bodas menjelaskan.

"Kamu sengaja ingin mempermalukan aku di hadapan Gusti Prabu, Lembu Bodas!?" murka Tumenggung.

"Apa apaan ini? Beginikah sikap seorang Tumenggung ketika diberi sedikit masukan oleh rekan kerjanya? Kenapa sampeyan seolah bersikeras ingin menghentikan pencarian? Dimana kebuasan Tumenggung Aria Laksam yang tersohor ini? Dimana nyali yang biasa sampeyan gembar-gemborkan? menghadapi kepala rampok saja sudah ciut?" berondong Empu Lembu Bodas yang sudah mulai tersulut.

"Kamu mau lihat kebuasanku? Kamu mau lihat nyaliku? Ayo...! Aku tunggu di luar. Aku tantang kamu...! Kita tentukan kulit siapa yang lebih keras!" Tumenggung pun pergi meninggalkan aula pertemuan. Seluruh pejabat yang hadir hanya bisa diam tercengang sejak sulutan pertama terjadi. Sebagian besar tertegun dalam diam karena merasa tidak ingin mencampuri urusan antara kedua pejabat tinggi itu. Empu Lembu Bodas pun memohon izin, "Maaf Gusti Prabu, Tumenggung Aria telah menginjak-injak harga diri hamba. Terpaksa hamba harus melayaninya." Kemudian Empu Lembu Bodas menyusul Tumenggung Aria Laksam keluar Aula Pertemuan.

Prabu Dharmasiksa setengah murka melihat tingkah para pejabatnya itu, namun Sang Prabu memilih untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka. Mahapatih yang melihat kekacauan ini meminta izin kepada Sang Prabu untuk bergegas menyusul mereka berdua yang sudah terlanjur meninggalkan Aula Pertemuan. "Mohon izin, Gusti Prabu. Hamba akan melerai mereka dan menghentikan kesalahanpahaman ini. Kemungkinan kondisi hati Tumenggung Aria sedang terganggu, sehingga tidak sebaik biasanya."

Sang Prabu berdiri dengan wajah merahnya, lalu menunjukan jarinya yang bergetar ke arah mereka berdua yang sudah meninggalkan ruangan. "Katakan kepada mereka, aku masih bisa mengampuni kelancangannya jika mereka mau saling memaafkan...!" murka Sang Prabu dengan suara meninggi.

***

"Seorang Ksatria tidak boleh memiliki pilihan menyerah, apalagi seorang perwira."

Keterangan:

Dulu = Sekarang

Mahapatih = Perdana Menteri

Mahamantri = Menteri Koordinator

Juru Pangalasan = Menteri Luar negeri

Juru Anala = Badan Pembangunan Infrastruktur

Demang = Dewan Pajak

Rakryan Rangga = Pihak Keamanan

Telik Sandi = Mata-mata

Adipati = Bupati

Wiyasa = Camat

Lurah = Kepala Desa

Kuwu = Kepala Dusun

Pakuan = Bogor

Jayagiri = Bekasi

Sunda Kelapa = Jakarta

Sigit_Irawancreators' thoughts