webnovel

11. Jangan terlalu keras, okay?

🍁🍁🍁

Begitu memarkirkan mobil merahnya, Mayash merapikan rambutnya sebentar, ia tersenyum tipis melihat pantulan dirinya di kaca spion. Langkahnya yang santai menyusuri lorong fakultas sesekali menyapa teman-teman satu jurusannya itu. Ia masuk ke kelasnya dan segera membuka buku-buku yang ia bawa, gadis itu sudah melakukan penelitian untuk skripsinya dibantu Harsa yang dengan senang hati menemaninya.

Ngomong-ngomong soal pemuda itu, Mayash belum melihatnya siang ini. Gadis dengan rambut panjang terurai itu mengetikkan pesan untuk Harsa.

"Permisi, sebelah lo kosong kan?"

Mayash menolehkan kepalanya saat merasa ada yang berbicara dengannya, gadis itu menganggukkan kepalanya sejenak sebelum kembali mengetikkan beberapa kata lagi.

Dosen paruh baya itu masuk membuat semua atensi mahasiswa tertuju padanya, termasuk Mayash yang hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika dosen itu datang. Untungnya pemuda asing itu berhasil menangkap ponsel miliknya.

"Thanks yaa," ucapnya lega, bukan masalah harga tapi ponsel itu amat penting baginya walaupun layarnya retak sedikit, ponsel itu berisi foto-foto kenangan keluarga kecilnya

"Eh, lo yang dulu jualan cake di base bukan? Masih jualan gak?"

Mayash menganggukkan kepalanya, tahun lalu ia memang sempat berjualan karena iseng menempati apartemen barunya namun gadis itu tak punya tenaga lagi karena pesanan yang membludak saat PO pertama kalinya dan itu karena ulah Harsa yang mempromosikan dagangannya di base kampus serta akun Twitter milik pemuda itu.

"Udah enggak sih."

Melihat raut kecewa pemuda yang tak ia kenal itu membuat Mayash sedikit tak enak hati.

"Padahal enak loh, tadinya gue mau pesan lagi tapi kata akunnya udah nggak mood jualan, kalo boleh tau kenapa?"

Mayash melirik sang dosen yang tengah menjelaskan, ia kembali menatap pemuda itu. "Capek aja sih ngejalaninnya, sekarang berasa sibuk banget, kapan-kapan aja lah gue open lagi,"

"Bener ya. Gue mau jadi pembeli pertama pokoknya," pemuda berambut merah dengan setelan jeans itu tersenyum senang membuat Mayash tanpa sadar juga ikut tersenyum

Kelas hari ini sudah selesai dan Mayash memutuskan untuk segera ke mushola yang ada di fakultasnya, ia merogoh Tote bag yang ia pakai untuk mengambil mukena yang ia bawa tanpa melihat sekitar dan tanpa ia ketahui dari arah yang berlawanan ada seorang pemuda yang juga tengah merogoh tasnya untuk mengambil tws miliknya. Keduanya bertabrakan yang membuat tas mereka jatuh termasuk pouch kecil berisi mukena milik Mayash.

Brukk

"Eh."

"Anjirr, ehh lo gakpapa? Sorry gue nggak liat jalan," panik Mayash kelabakan sendiri, si pemuda hanya terkekeh melihat wajahnya yang tampak lucu

"Enggak kok, gakpapa."

"Maaf ya, sorry banget karena gue lagi buru-buru,"

Mayash mengambil Tote bag nya serta pouch tersebut kemudian berlari menuju ke mushola, buru-buru wudhu karena hampir saja tertinggal sholat ashar berjamaah.

Setelah selesai melaksanakan kewajibannya Mayash berjalan ke parkiran untuk pulang ke apartemennya, hari ini ia akan lembur untuk mengerjakan tugas-tugas yang membuatnya frustasi itu.

"NAYANIKA!"

Mayash menolehkan kepalanya mendapati tiga teman satu kelasnya itu. "Why?"

"Why why nenek lo laki, kita ada tugas kelompok anjirr maen pulang aja lo!"

"Hah? Tugas apaan buset?"

"Gini nih kalo ada kelas cuma mikirin mau magang di mana. Dari ibu Dena yang terhormat ye anjirr, ngadi-ngadi lo lupain tugas istimewa penuh teriakan itu!" Jelas Frissy yang juga temannya saat SMA, gadis berpenampilan tomboy itu paling heboh di kelasnya. Keduanya juga cukup dekat karena dulu berada di ekskul yang sama

"Udeh ayo! Lu bertiga ngikutin motor gue aja, jangan ribet pliss idup gue udah ribet soalnya,"

Mayash hanya manggut-manggut segera masuk ke mobil untuk mengikuti ketiga motor itu sesekali mengingat tugas apa saja yang belum ia kerjakan.

Keempat kendaraan itu berhenti di sebuah kedai Cafe milik Mayash, gadis itu mengelus tengkuknya seraya menutup pintu mobil.

"Harus banget di sini ya?" Tanyanya melirik sekitar, ia berharap tak bertemu Gama atau adiknya yang lain. Bukannya apa-apa hanya saja tak ada yang mengetahui jika Cafe tersebut milik sang ayah, apalagi Mayash bukan tipe yang segampang itu menceritakan tentang keluarganya

"Cafe ini bagus banget, sangat kekinian buat anak muda macam kita dan pemiliknya juga ganteng banget, sering ikut turun melayani pembeli. Kali aja ye kan kepincut gue gitu," gadis dengan dress putih selutut itu tersenyum genit pada pelayan Cafe yang membuat satu-satunya pemuda itu mengusap kasar wajahnya "APA SIH? TANGAN LO BAU YE ANJIRR!"

Frissy hanya menggelengkan kepalanya menggandeng lengan Mayash untuk masuk lebih dulu. "Biarin mereka aja udah lah, berantem mulu kerjaannya kalo jadian gue ledekin paling kenceng sih,"

"Ih, gara-gara lo ya gue ditinggalin mereka!"

"Eh, Chintia! Tungguin kek!"

Keempat remaja itu mencari meje kosong untuk mengerjakan tugas, di samping taman dengan kaca sebagai pembatasnya. Gama yang langsung menangani mereka begitu melihat sang putri ada di sana, ia langsung paham saat anak itu memberinya isyarat untuk tidak saling mengenal.

"Ini nih orangnya, ganteng kan! Gue mau jadi calonnya," bisik Chintia pada Mayash yang hanya tersenyum saja

'Enggak mau gue punya mama tiri modelan begini,' batin Mayash menjerit

"Kalian mau pesan apa aja? Untuk mengerjakan tugas ada beberapa rekomendasi menu supaya pikiran kalian jadi terbuka,"

'Dad, yang bener aja..'

"Apa aja rekomendasinya mas, ehh om." Ralat Chintia hampir membuat Mayash mengumpat apalagi Warren yang sudah ingin mencubit pipi gadis itu

Gama menunjukkan beberapa rekomendasi menu andalan yang biasa di pesan mahasiswa ketika mengerjakan tugas, keempat remaja itu tampak berunding dengan serius membuat Gama tersenyum melihatnya.

"Okay, saya ulangi yaa yang kalian pesan, dua cappuccino, coffee latte, lemon tea, lumpia mini seafood, onion ring, spageti carbonara, churros sama omlete keju,"

Keempatnya menganggukkan kepalanya, sembari menunggu pesanan mereka membahas tugas kali ini walaupun dibumbui perdebatan antara Chintia dan Warren.

"Loh kok ada pancake?" Tanya Frissy

"Bonus untuk kalian, semangat mengerjakan tugas yaa," ucap Gama mengepalkan tangannya ke udara membuat Mayash memejamkan matanya

'Bapak gue ada-ada aja dah,'

Sembari mengerjakan tugas bagiannya Mayash juga sesekali memperhatikan Gama yang diam-diam memberinya semangat atau sekedar berlalu lalang di sekitar mejanya.

"Minggu besok ada event gak sih? Ulang tahun kampus yang ke 15? Pada ikut nyumbang gak?" Tanya Warren meminum coffe latte pesanannya

"Nggak ada duit sih gue," ucap Frissy

"Bukan itu! Bakat lo gitu disumbangin."

"Kalo bakat gue disumbangin otomatis gue nggak ada bakat dong."

Warren hampir saja melempar sendok jika Mayash tak menghentikannya. "Temen lu ngeselin banget kek si Harsa,"

"Bukannya pacaran ya? Iya gak sih?" Chintia menyenggol lengan Mayash meminta penjelasan

"Terserah kalian lah anggapnya gimana," jawab Mayash santai

"Ini kalo beneran nggak nikah gue protes ke bapak lu sih, udah cocok gitu masa iya cuma jagain jodoh orang," kata Warren

"Enggak tau, jangan tanya gue," ucap Mayash fokus mengetik keyboard. "Bagian lu aja lah yang edit,"

Warren mengambil alih laptop milik Frissy, "Mau pake efek gak?"

"Request efek rumah kaca dong," celetuk Mayash memakan pancake strawberry itu

"Efek kebanyakan tugas boleh juga tuh,"

Keempatnya tertawa karena keasbunan masing-masing, setidaknya tugas mereka selesai dengan cepat walaupun adzan Maghrib sudah berkumandang. Kini sisa Yasha sendiri yang tengah duduk sembari mengerjakan skripsi yang tengah ia susun dari beberapa bulan yang lalu.

Gama menyodorkan susu jahe dan beef bowl untuk sang putri kemudian menarik satu kursi untuk ia duduki. "Kakak mau Daddy antar pulangnya? Mau balik ke rumah atau apartemen?"

"Apart Dad, hari ini mau nugas lagi. Kalo di rumah males digangguin Seanne atau dengar si kembar ribut," jawab Mayash meminum susu jahe tersebut, tidak ada di daftar menu itu berarti Gama membuatnya sendiri

"Jangan terlalu keras ya nak, Daddy nggak menuntut apa-apa dari Kak Yash, pelan-pelan aja okay? Nikmati semuanya dulu,"

Tangan Mayash berhenti mengetik, ia menatap Gama yang juga menatapnya dengan tatapan lembut yang selalu Gama berikan pada anak-anaknya. 22 tahun ia hidup tak pernah sekalipun ketulusan itu hilang dari mata sang ayah, justru yang ia lihat makin banyak untuk ia dan adik-adiknya. Gama tak pernah marah sekalipun mereka berbuat ulah, hanya helaan napas yang menandakan sang ayah lelah menghadapi kesembilannya.

"Dad, kalo ada awards Daddy paling terbaik di dunia Yash yakin Daddy akan menempati peringkat satu selama 22 tahun ini,"

"Kenapa 22 tahun?"

"Karena 22 tahun Yash hidup Daddy selalu melakukan yang terbaik buat Yash dan adik-adik,"

Gama mengacak-acak rambut sang putri, gadis kecil yang dulu selalu menggenggam tangannya ketika berpergian itu kini sudah berani kemana-mana sendiri. "Bisa aja, anak siapa sih lu?"

"Anak Daddy sih jelas bukan anak tetangga apalagi anakonda,"

Gama tertawa mendengarnya, untung suasana Cafe lumayan sepi jadi Mayash tak perlu menutupi wajahnya karena tawa nyaring sang ayah.

"Dad, kalo Yash magang gimana? Diizinkan gak nih?"

"Kakak nggak capek kah? Fokus dulu aja sama kuliah, nggak usah buru-buru,"

"Nggak buru-buru kok, Daddy. Kemaren Yash ditawarin jadi designer di sebuah butik dekat kampus, lumayan dapat duit buat beli jajan,"

"Uang jajan Kakak Daddy yang tanggung, mau apa nak? Bilang Daddy atau mau kita beli bareng?"

Mayash menggelengkan kepalanya dengan heboh, "Enggak gitu.. Yash cuma pengen cari pengalaman aja sebelum wisuda, siapa tau nanti berkembang dan punya butik sendiri, Daddy bayangin deh kalo adik-adik nikah terus Yash yang desain baju mereka.. pasti istimewa,"

Melihat binar ceria di mata sang putri membuat Gama tak sanggup untuk mengatakan tidak, "Okay, tapi Daddy tetap pantau yaa, bilang sama Daddy kalo ada masalah di tempat kamu magang,"

"Yes! Dad.. love you." Mayash

***

Mayash mencepol rambutnya dengan asal-asalan, matanya fokus pada laptop di depannya, hari ini ia memutuskan pulang ke apartemen yang Gama belikan karena dekat dari kampus. Beberapa tugas sangat membuatnya frustasi hari ini bahkan ia sampai tak mood makan.

Sudah memasuki semester lima dan Masyash tak mau membuang-buang banyak waktu, dengen gerakan cepat jarinya mengetikan beberapa kata pada keyboard sesekali menjangkau es Americano yang ia pesan ketika keluar tadi. Tangannya bergerak membenarkan letak kacamatanya yang turun sembari berpikir dengan cepat.

Mayash menghela nafas panjang setelahnya. "Fiks otak gue ngebul!"

Ia bergerak mengambil kipas angin kecil yang biasa ia bawa ke kampus, padahal AC sudah ia nyalakan namun masih terasa panas disini.

"Ini gue simulasi neraka kah? Panas banget hueeee,"

Akhir-akhir ini walaupun pulang ke rumah porsi makannya kian sedikit, Gifya juga mengeluhkan hal yang sama setiap kali ia berada di rumah, bahkan si kembar tiga juga kerap protes ketika seharian ia tak keluar dari kamar.

Masalah kuliah adalah yang terpenting bagi Mayash saat ini, ia tak mau mengecewakan sang ayah yang sudah berjuang untuk dirinya. Juga semua hal yang sudah ia lewati untuk sampai di titik ini, tinggal sedikit lagi perjuangannya.

Mata yang semula terfokus pada deretan kalimat kini teralih saat ponselnya menyala, sebuah notifikasi dari Gama muncul di layar.

My Dad🤍

Kak Yash keren udah sampai di titik ini, Daddy selalu bangga sama Kakak apapun yang Kakak lakukan, semangat ya sayangku, cintaku, belahan hatiku, Daddy akan selalu terbuka untuk Kakak cerita anything, selalu bahagia ya nak, bahagianya Kakak adalah bahagianya Daddy

Daddy selalu beruntung karena Kakak memilih Daddy sebagai ayahnya Kakak, Daddy selalu bersyukur ketika Kakak lahir, ketika Kakak pertama kali panggil Daddy, I'm very very lucky to have you, terimakasih ya nak sudah mau berjuang sedikit lagi

Mayash menghapus air matanya saat seseorang memencet bel rumah, ia makin menangis saat tau Gama ada di depan. Gadis itu langsung memeluk sang ayah begitu pintu terbuka.

Gama mengelus rambut putri sulungnya dengan penuh sayang. "Berat sekali ya jadi anak pertama? Gakpapa ya nak, ada Daddy kok di belakangnya Kakak. Anak Daddy keren sudah berjuang sampai detik ini, kita jalani sama-sama ya? Daddy disini,"

"Bilang sama Daddy bagian mana yang sakit, bagian mana yang sekiranya bisa Daddy obati dan bagian mana yang bisa bantu supaya anak Daddy kuat kembali? Tolong bilang sama Daddy apa yang Kakak rasakan,"

"Kalo Yash ngeluh capek gakpapa?"

Gama membawa sang putri untuk masuk dan mendudukkannya ke sofa, ia mengambil segelas air putih untuk Mayash kemudian menepuk-nepuk pundaknya seakan-akan menyalurkan kekuatan yang ia punya untuk sang putri.

"Justru Daddy bangga ketika Kakak mau mengeluhkan capek yang Kak Yash alami,"

"Mau Daddy temani malam ini?"

Mayash menggelengkan kepalanya, "Masih ada adik-adik yang harus Daddy temani,"

Gama terkekeh mendengarnya, ia menghapus sisa air mata sang putri dan mencubit hidung mancungnya. "Kamu juga anak Daddy kalo Yash lupa,"

"Iya tau, tapi Kakak udah 22 tahun Dad, udah dewasa untuk tinggal sendirian sementara adik-adik kan masih kecil, mending Daddy pulang deh,"

"Jadi ceritanya Kakak ngusir Daddy gitu? Are you seriously?"

Mayash menghembuskan napas jengah, ia benar-benar tau darimana sifat drama si kembar muncul sekarang. "Udah deh, Daddy pulang aja, istirahat yang bener abis itu besok kerja lagi kan? Yash juga masih ada tugas yang harus dikerjain abis ini,"

"Okay.. tetap kabari Daddy okay? Ngeluh capeknya ke Daddy aja jangan ke cowok lain,"

"Kan udah almarhum Dad."

"Oh iya, bener.."

***

Mayash meregangkan otot-otot tubuhnya setelah sinar matahari masuk ke tirai jendela kamarnya, menyelesaikan tugasnya semalaman membuat kepalanya pusing bukan main dan badannya yang pegal karena ketiduran di depan laptop.

Gadis itu merapikan rambutnya yang berantakan dengan mengaca lewat layar laptop sebelum meraih ponselnya. Ia mengernyitkan keningnya ketika banyak pesan masuk terutama dari organisasi yang ia ikuti, gadis itu hanya manggut-manggut sembari menyimak.

"Tugas belum kelar udah ada aja event yang lain.. ini gue kalo bisa membelah bakal jadi 1000 sih,"

Mayash hampir saja melempar ponselnya saat Harsa meneleponnya. Dengan jantung yang berdebar gadis itu menekan tombol hijau.

"Ap--apa?"

📞 Lah si anjirr malah gagap, elu dimana? Free gak? Free dong yaa, kan jomblo

Yasha memutar bola matanya dengan malas. "To the point deh, perasaan gue dah nggak enak ini,"

📞 Nape?

"Ini kalo gue matiin lu ngambek gak?"

📞 Eitsss buru-buru banget nyonya, btw temenin gue dong.. males banget diajak ngedate sama anak FK

Mayash menghela napasnya, berhubungan dengan laki-laki bernama Harsa memang selalu membuat hidupnya jungkir balik. "Enggak ya! Bulan kemaren gue sampe dilabrak anak hukum gara-gara lu bawa pas ketemuan, ngeri-ngeri sedap kalo gue di suntik mati ini mah,"

📞 Yash.. lu kok tega banget sama gue sih? Cuma nemenin gue sarapan kok, entar kalo dia liat gue sama elo juga pasti bakal mundur, percaya deh sama gue

"Lu tau mager? Nah.. itu gue!"

Mayash menutup sambungan telepon secara sepihak, gadis itu pindah ke kasur setelah melempar ponselnya ke sofa. Baru saja merebahkan diri suara bel membuatnya berdecak malas.

"BABI LU YE! LU TUH---"

Mayash mengerjapkan matanya saat sadar bukan Harsa yang memencet bel melainkan seorang pemuda dengan rambut merah layaknya anime yang berdiri di depannya. Pemuda itu mengulurkan tangannya membuat Mayash segera tersadar dan segera berjabat tangan dengannya.

"Kenalin gue Yolanda Salvatory, unit kita saling berhadapan dan gue liat lo juga anak kampus Neo, siapa tau kita bisa berteman," pemuda itu tersenyum dengan ramah membuat Mayash ikut tersenyum

"Gue Nayanika, panggil aja Nayan, salam kenal yaa,"

Yolan menganggukkan kepalanya dengan masih menjaga senyumnya, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal setelah berpikir harus berbicara apa kali ini. "Gue denger juga lo anak musik ya? Mau join event nggak siapa tau lo berminat gabung sama gue yang lagi nyari teman band ini,"

Ah, Mayash baru mengingatnya, tentang event ulang tahun kampus yang ke 15 tahun itu ia belum memikirkannya sama sekali. "Entar deh gue pikir-pikir lagi, lagi hectic banget sama tugas soalnya,"

Yolan terkekeh, "Bener juga, tapi jangan terlalu keras sama diri sendiri ya? Kasih waktu tubuh lo untuk istirahat dan nikmati masa-masa di kampus,"

Mayash hanya tersenyum sebagai jawaban, karena ada benarnya juga ia terlalu memaksakan diri. Pemuda itu memilih pamit undur diri, masuk ke dalam unit yang berada tepat di depan Mayash.

Hari ini tidak ada kelas yang membuat Mayash dengan semangat 45 goleran di lantai dengan camilan berceceran, sesekali bersikap bandel itu perlu. Ia merindukan masa-masa bebas menjadi anak tunggal seperti ini.

"Kalo sendirian kaya gini makin berasa sedihnya, kek alone gitu tapi emang alone.. Halah mbuh lah,"

"Ini gue mau ngapain ya abis ini? Tidur sampai sore keknya sabi sih.."

Baru akan memejamkan matanya suara ponsel membuatnya meraih benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Panggilan video dari Rheana, ia mengernyitkan keningnya.

"Kakak semangat! We love you.."

Ucapan kompak dari kedelapan adiknya yang membuat simbol hati dengan kedua tangan itu membuat Mayash tak bisa berkata-kata, bahkan matanya sudah berkaca-kaca sekarang.

"Kalian... Ngapain?" Sebisa mungkin Mayash menahan air matanya agar tak jatuh

"Mau bikin kue.. kakak jangan lupa makan yaa nanti sakit, kita gak mau kakak sakit," ucap Assel yang kini memegang ponsel milik Rheana, gadis itu agak menunduk agar semua saudaranya bisa terlihat di kamera

"Kiyowokkk.." gemas Mayash menggigit boneka Doraemon yang ia peluk, ia jadi rindu rumah

🍁🍁🍁