Setelah pertengkaran dua hari yang lalu ternyata Mas Fatir benar-benar membuktikan untuk menjual rumah yang sudah tujuh tahun ini kami huni bersama ke dua anak-anak kami.
Hari ini, Bapak yang mengantarku untuk pulang. Mungkin Bapak was-was jika keluarga suamiku datang lagi. Ternyata benar!! mereka datang dengan seorang yang asing buatku.
"Assalamualaikum. Pak Bagus...." ucap salam Ayah mertua pada Bapakku yang kebetulan duduk si teras rumah sambil meminum kopi.
"Wa'alaikum salam. Pak Hanif...mari silahkan masuk..!!!" jawab Bapak!! kemudian menyuruh kedua mertua untuk masuk tanpa memperdulikan keberadaan Mas Fatir dan seorang temannya.
"Neng... buatin minum buat tamu nak..!!" ucap bapak padaku. Akupun beranjak ke dapur. Setelah selesai, lalu ku sajikan pada ke empat tamuku malam ini.
"Langsung saja Vi... kedatangan kami kesini yaitu untuk menjual rumah ini, seperti kataku sebelumnya.???" ucap Mas Fatir tanpa basa-basi dan begitu percaya diri.
"Apa???!!!" pekik Bapak. Bapak sangat terkejut dengan keinginan Mas Fatir. Tapi Aku sama sekali tak bergeming. Aku tahu ini pasti terjadi. Entah apa yang dipikirkan oleh Mas Fatir, sehingga Ia tega menjual rumah yang ku tinggali bersama anak-anak kami.
"Lho...bapak jangan terkejut seperti itu, Bapak kan tahu, rumah ini adalah pembelian anakku uangnya adalah hasil dari usaha anakku, jadi wajar jika Fatir ingin menjualnya. Lagian Viana kan saat ini sudah punya usaha sendiri, jadi dia bisa lah membeli rumah sendiri...!!"Jelas Ayah mertua dengan begitu lancar, tak ada sedikitpun keraguan yang Ia rasakan.
"Benar kata suami saya Pak Bagus, lagian kan mereka sebentar lagi mau cerai, jadi lebih baik rumah ini di jual. Ini semua juga karena Viana, coba dia ngga ngamuk dan marah-marah sama Fatir, pasti Vidio itu tak akan tersebar, Fatir pun tak akan turun jabatan. Tapi apa yang terjadi...Viana malah berontak dan memarahi anak saya di depan banyak orang. Fatir jelas malu. Jadi, anggaplah rumah ini di jual sebagai bentuk tanggung jawab Viana karena gara-gara dia Fatir diturunkan dari jabatannya." Sela Ibu Mertua menimpali ucapan suaminya. Sungguh Aku takut melihat reaksi Bapak. Raut wajah bapak tak bisa ku tebak, tatapannya begitu dingin. Aku takut terjadi sesuatu.
"Apa kalian sudah selesai dengan ocehan sampah kalian????" tanya Bapak terlihat begitu dingin. Sungguh ini yang ku takutkan. Aku takut darah tinggi Bapak kumat.
"Apa maksud Pak Bagus...???" tanya Ayah mertua yang terkejut mendengar bapak melontarkan kata "ocehan sampah".
"Dengarkan baik-baik. Sebagai seorang suami, Fatir wajib bertanggung jawab lahir batin pada Viana dan anak-anak mereka. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal yang nyaman untuk mereka. Lalu...apa ini???? Kalian datang ingin menjual rumah ini???? apa yang kalian gunakan untuk berpikir??? otak???? atau dengkul???" ucap bapak yang terlihat begitu tenang namun kata-katanya menusuk.
"Jaga ucapan Bapak....!!!" pekik bapak mertua dengan lantang.
"Apa yang dijaga Pak Hanif???? bukannya kalian tak menghargai anak saya????" Bapak terlihat semakin geram dengan keluarga suamiku, rahangnya mengeras menahan emosi.
"Dengar baik-baik, rumah ini tak akan di jual. Ingat ya Fatir, yang salah disini bukan Viana tapi kau.!!" tunjuk bapak pada Mas Fatir. Melihat bapak yang sudah berdiri membuatnya kalang kabut.
"Lho kenapa menyalahkan anak saya Pak Bagus..,???" tanya Ibu mertua.
"Kalian pikir semua ini tanggung jawab Viana??? anakmu yang selingkuh lalu anakku yang harus menerima dengan lapang dada??? anakmu yang kalian banggakan ini tak memenuhi kewajibannya menafkahi Viana,apa itu juga salah Viana??? Jabatannya pun di turunkan karena Vidio yang tersebar itu juga harus Viana yang bertanggung jawab???" Tanya bapak tanpa memberi celah pada keluarga suamiku.
"Jika seorang suami sudah tidak bisa menjaga aib istrinya dengan baik, bagaimana bisa sang istri masih mau berbakti??? Kau jadikan anakku sebagai bahan gunjingan bersama kawan-kawan mu agar menjadi sebuah lelucon, apa itu dikatakan suami yang baik.???? Justru aku salut dengan tindakan Viana yang memarahimu, karena kau pantas mendapatkannya. Laki-laki tapi bermulut lembek.!!!!" ucap bapak dengan tegas dan sedikit mencibir.
" jaga ucapan Bapak....!!!" ucap ayah mertua yang tak terima jika mas Fatir disudutkan oleh Bapak.
" Pantas saja jika Fatir memiliki sikap tak bertanggung jawab seperti ini, karena orang tuanya juga sama. !!" Dengar ya apa yang terjadi pada Fatir bukan tanggung jawab Viana...!!! bukannya kalian yang lebih menikmati hasil keringat Fatir??? dari gaji yang di dapatkan seorang Mandor yang jumlahnya cukup banyak, Viana hanya dapat satu juta rupiah satu bulan, bahkan Viana harus banting tulang untuk menutupi kekurangan yang ada. Jadi jangan coba menuntut anak saya untuk bertanggung jawab.!!!!" Tegas bapak pada mereka.
"Rumah ini tidak akan pernah di jual. Dan jika kalian memaksa maka saya sebagai bapaknya Viana, akan membela hak Viana dan cucu-cucuku...!!!! sekarang kalian pergi dari sini...!!!" bapak pun mengusir mereka dari rumah.
"Oh tidak bisa Pak Bagus....rumah ini harus di jual...karena ini hasil jerih payahnya Fatir...!!! bagaimana Pak Anton???" Ayah Mertua masih berkeras. Ia pun mencari pembelaan dari orang yang mereka bawa menemui Aku dan Ayah. Sepertinya orang itu yang akan membeli rumah kami.
"Maaf pak Hanif, tapi apa yang di katakan oleh besan bapak itu semua benar. Fatir tidak berhak dengan rumah ini. Karena dia punya anak dan istrinya dan memang sudah tanggung jawabnya untuk memberikan rumah pada keluarganya. Jika seorang suami memilih meninggalkan istri dan Anaknya, maka ia tidak berhak mengambil apapun yang sudah ia tinggalkan. " Akhirnya Pak Anton membenarkan ucapan Bapak. " Jadi maaf, saya tidak mau berurusan dengan hukum hanya karena membeli rumah ini...! sebaiknya kalian selesaikan dulu permasalahan ini!!!! jika selesai maka datanglah padaku. Kalau begitu saya permisi pulang Pak-Bu.." ucap pak Anton lalu pergi lebih dulu meninggalkan rumah.
"Jadi apa lagi yang kalian tunggu...cepat pergi dari sini...!!!!" Bapak tak bisa lagi menahan emosinya. Sebelum darah tinggi Bapak kumat lagi akupun mulai berbicara.
"Sudahlah pak, jika mereka menginginkan rumah ini untuk di jual....tak apa. Tapi Mas Fatir harus memenuhi syarat yang Aku berikan!!" Ucapku tegas. Sudah cukup Aku melihat berdebat dengan keluarga yang tak memiliki perasaan, buang-buang waktu dan tenaga.
"Apa syaratnya..." tanya Mas Fatir tak sabar.
"Neng, tapi kalian berhak atas rumah ini....ini untuk anak-anak Neng!!" ucap ayah tak terima dengan keputusan ku.
"Sudahlah Pak Bagus...terima saja apa keputusan Viana...!!" ucap Ayah mertua yang terlihat senang mendengar aku menyetujui jika rumah ini harus di jual.
" Syaratnya pertama....berikan aku surat cerai dan syarat kedua...jangan pernah datang menemui Widya dan Kifli, apapun yang terjadi padaku atau padamu Mas...dan jangan pernah muntah untuk kembali...!!! Itu syaratnya.
"Hanya itu..????? hmmmmm baiklah...itu mudah..!!!" ucapnya dengan senyum menyeringai. " Ayo Pak-Bu, kita temui Pak Anton agar Ia langsung membeli rumah ini." ucap Mas Fatir. Mereka pun pergi meninggalkan Aku dan Bapak.
"Neng...kenapa harus menyetujui rumah ini dijual???" tanya bapak lagi.
"Pak..semakin kita berkeras maka mereka semakin tak mau kalah...!!! Daripada kita hanya terus berdebat, lebih baik mengalah demi menang Pak....!!!" jelasku pada Bapak.
"Hmmmm....ya sudah Neng...jika itu keputusanmu. Sekarang....lebih baik kemas semua barang-barangmu nanti bapak cari mobil pickup..!!! pinta bapak.
Akhirnya semua barang-barang milikku dan juga anak-anak telah ku bereskan. Tinggal barang-barang Mas Fatir yang tersisa. Tepat pukul dua belas malam Aku dan Bapak sampai di rumah.